Ratusan puisi di Indonesia mencantumkan sorga ketimbang neraka. Orang membaca puisi-puisi gubahan Chairil Anwar menemu sorga. Di buku-buku puisi Rendra atau Subagio Sastrowardoyo, sorga pun ada. Puisi-puisi suguhan Emha Ainun Nadjib ada pula sorga. Masa demi masa, puisi mengenai sorga melebihi puisi-puisi mengantar ke imajinasi neraka. Sekian puisi digubah dengan keseriusan dan kemendalaman. Puisi-puisi pun terkadang mengandung kocak. Kita bisa mengacu ke puisi-puisi mbeling kadang bersinggungan sorga.
Sorga condong terbaca dalam puisi terasa doa. Di puisi-puisi menggugat, melawan, dan menagih, pembaca tetap merasakan ada geliat-geliat pengimajinasian sorga secara jauh dan dekat. Kita mampir ke puisi berjudul “Percakapan Diri” gubahan Raudal Tanjung Banua. Puisi digubah di Jogjakarta pada 2002. Puisi bukan terbaik atau memikat persembahan Raudal Tanjung Banua. Kita membaca mungkin puisi itu terhadirkan untuk membedakan dengan corak-corak sering tergarap. Puisi tak panjang tapi mengarah gamblang. Judul saja sederhana.
Kita mulai membaca: Karena Tuhan mengusir kita dari sorga/ maka kita pun menolak sorga/ dari Tuhan! Para pembaca buku-buku agama dan filsafat terbiasa dengan debat ketuhanan. Debat besar pun mengungkap sorga dan neraka. Di khazanah sastra sufi di pelbagai negeri, sorga dan neraka diceritakan dengan ungkapan-ungkapan kealaman atau diturunkan dari tafsir-tafsir menginduk kitab suci. Esai-esai garapan Muhammad Iqbal, pujangga dan filosof Pakistan, mengarahkan pembaca ke pengertian-pengertian membedakan sorga “awal” dan kesanggupan menafsir sorga itu “kelak” seperti sering disampaikan para penceramah dan buku-buku agama.
Sorga dalam doa terlalu berbeda dari babak-babak perdebatan keakhiratan. Raudal Tanjung Banua mungkin tergoda pula mengolah acuan-acuan agama dan filsafat bertaut pengalaman menghasilkan tanda seru. Kita menekankan pada “mengusir” dan “menolak”. Kekuasaan Tuhan ditanggapi sikap manusia ingin menggugat. “Menolak” itu ujung dari “dendam” atau keberanian mengingkari kewajiban patuh. Orang-orang membahasakan sebagai kebalikan dari keimanan.
Pada bait makin kukuh melawan, kita mengerti manusia memiliki keberanian ditopang ketabahan. Raudal Tanjung Banua menulis: Kekasih, tahankan segala derita/ hanya dengan ini kita bisa sempurna/ membangun sorga sendiri. Kita merasakan ada pengaruh-pengaruh dari membaca buku-buku filsafat atau biografi pemikir-pemikir berat abad XX dan XXI. Pembaca umum condong mengingat kalimat-kalimat Nietzsche dan Sartre. Masalah pelik itu terwariskan selama sekian abad, dibahasakan oleh para filosof setelah kecewa, marah, dan memusuhi lakon peradaban, dari masa ke masa. Sorga diperkarakan bertumpu filsafat ketuhanan dan tragedi-tragedi di dunia memunculkan pesimisme, kejatuhan, dan putus asa. Pada bait pendek, kita membaca ikhtiar melawan berkonsekuensi “tahankan segala derita”. Sejarah manusia selalu saja mengalami derita dari pasang-surut makna dalam lakon peradaban lama dan baru.
Penggubahan puisi pada abad XXI mungkin tanggapan atas situasi dunia belum kunjung bahagia dan terang. Dunia masih mencatat bobrok, dendam-kesumat, penghancuran, dan siksa. Selama di dunia, kita terus melihat derita-derita dan tragedi mengabadi, mengakibatkan manusia berada dalam situasi-situasi absurd dan dilematis. Di tuduhan kalangan “marah”, dunia tampak makin buruk, gawat, dan amburadul.
Kita masih membaca peningkatan gugatan dalam puisi gubahan Raudal Tanjung Banua. Puisi mendingan terbaca dengan ledakan atau percikan ketimbang ceramah-ceramah membasikan sorga-neraka. Kita membaca: Sorga kita kini harus dibangun/ dari duri. Lupakan taman/ imbalan doa. Hidup tak mengharap/ apa pun, kecuali balasan atas pengusiran/ Lepaskan Tuhan dari sorga ibadah,/ dan rangkul dalam kerja berserah/ Di taman-taman duri/ dari mahkota kita. Puisi penuh seruan melebihi tegang saat kita diceramahi dalam diksi-diksi menakutkan dan mengancam. Raudal Tanjung Banua justru ingin mencipta tegang dengan larik-larik seperti menantang seribu tanda seru. Begitu.