Mungkin sudah banyak yang berjumpa dengan sosok Gus Dur, baik secara fisik maupun pemikiran dan keteladanannya. Tidak sedikit pula yang mengagumi beliau, termasuk saya sendiri yang sebenarnya belum pernah bertemu dengan beliau. Namun satu hal, saya cinta akan pemikiran-pemikiran beliau. Bagi saya beliau adalah Indonesia itu sendiri. Sosok manusia yang lebih besar dari negaranya. Demi mengenal beliau lebih lanjut, saya membeli novel biografi, “Peci Miring”, yang merupakan salah satu buah manis karya Aguk Irawan yang diterbitkan oleh Javanica pada tahun 2015.
Dedikasi Gus Dur yang tulus ia berikan kepada semua orang, tak terkecuali orang-orang minoritas di negeri sendiri, telah membuat jatuh cinta, walaupun juga sebenarnya ada yang membencinya. Terlepas dari itu, banyak sekali yang mengagumi sosok Gus Dur yang basah akan pujian, serta doa-doa hingga saat ini. Dalam akun Instagram Habib Husein Ja’far Al Hadar, @husein_hadar, pada 26 September 2022 lalu, ia memposting kiriman video tiktok dari @mustafa.bisri. Dalam video tersebut tampak Habib Husein sedang bertemu dengan salah satu pengelola kotak amal lembaga sosial Pesantren Tebuireng (LSPT) makam Gus Dur dan mbah Hasyim Asy’ari, serta para masayikh lainnya di Tebuireng.
Dan setiap tahunnya saja, kotak amal tersebut ditaksir mencapai 2.5 milyar yang kesemuanya itu murni di alokasikan kepada masyarakat, bukan untuk pembangunan pondok. Angka tersebut bukanlah angka yang sedikit tentunya. Pertanyaannya, siapa yang hidup dan siapa yang mati? Jika yang sudah mati saja masih memberikan kemanfaatan bagi yang hidup, sedangkan yang masih hidup terkadang tidak memberi kemanfaatan bagi yang lainnya. Salah satu pesan ustadz saya ketika masih di pondok dulu yakni “wujuduhu kaadamihi”. Artinya, jangan sampai ketika kita sudah berada dimasyarakat nanti seperti wujuduhu kaadamihi atau adanya seperti tidak adanya.
Jadi jika di balik, Gus Dur itu seperti adamuhu kawujudihi; tidak adanya seperti adanya. Inilah yang seharusnya kita tiru dari keteladanan beliau, yakni “bertemu sejak dalam pikiran dan mengabdi dalam praktik kehidupan.” Keteladanan beliau yang masih saya tiru sampai sekarang adalah menulis yang seharusnya ditulis dan menghapus apa yang seharusnya dihapus. Menapaki jalan pikiran atau pemikiran beliau sebenarnya tidaklah sulit, tinggal kita mau atau tidak, itu saja.
Ada beberapa tulisan sebenarnya yang sudah saya tulis hasil dari adaptasi pemikiran-pemikiran beliau yang salah dua diantaranya adalah “Membumikan Islam Pribumi bag. 1-3 (ibtimes.id)” dan “Ketika Ketauhidan Berada Ditangan Gus Dur (gusdurian.net)”, serta tulisan-tulisan lainnya yang sedikit banyak terinspirasi dari pemikiran Gus Dur. Selain itu, kebiasaan yang masih saya jalani hingga sekarang adalah menjelajahi setiap toko buku, sebagaimana gus dur dulu ketika masih di Yogyakarta. Ia menelusuri lorong-lorong, menjelajahi pusat-pusat buku, baik toko buku besar, maupun toko buku kecil dipinggir jalan. Ia juga menyambangi setiap perpustakaan, baik milik negara, swasta, maupun personal.
Selain pemikiran-pemikiran Gus Dur, saya juga selalu terpikat oleh humor Gus Dur yang kaya akan serat. Ibarat minuman, humor gusdur itu sudah seperti juz buah yang kaya vitamin dan menyegarkan dahaga di siang bolong. Ibarat makanan, humor Gus Dur itu daging semua. Salah satu humor gus dur yang masih membekas adalah ketika Gus Dur menjadi senior untuk angkatan baru di asrama Bu’uts, Mesir. Beberapa calon mahasiswa Indonesia yang ingin tinggal di asrama tersebut diharuskan mengikuti orientasi pendidikan (ospek) yang sebenarnya tidak ada sangkut pautnya dengan kampus.
Akhirnya, beberapa calon mahasiswa itupun mendaftarkan diri karena mereka ingin tinggal dan belajar dengan para senior sebelum hidup mandiri selama menempuh pendidikan di Mesir. Singkat cerita, tibalah tanggal pelaksanaan ospek dan Gus Dur di tunjuk sebagai ketua panitianya. Tema yang di usung adalah “Reformulasi Paradigma”. Jadi, calon mahasiswa diharuskan memiliki paradigma baru, pikiran yang terbuka, jiwa yang luas, dan sanggup menerima semua ragam pengetahuan. Mengingat, Mesir adalah pusat ilmu pengetahuan, sehingga apabila jiwa dan pikiran tidak sanggup menampung itu semua, maka yang akan diperoleh hanyalah kesia-siaan itu sendiri.
Ospek berjalan dengan lacar, hingga tibalah saatnya makan-makan yang sudah disiapkan oleh panitia di atas meja. Setelah para peserta makan, ada salah satu peserta bernama Zarkasi yang meyadari bahwa tidak ada air minum yang disediakan oleh panitia. Sengaja memang panitia tidak menyedikan air minum dan sengaja pula menyediakan makan-makanan yang membuat kerongkongan terasa haus, seperti roti, mie goreng dan apa-apa yang membuat haus.
Gus Dur hanya tersenyum melihat tingkah para peserta itu yang mulai kehausan dan lantas memanggil Zarkasi karena yang pertama kali menanyakan air minum. Kemudian Gus Dur memberi aba-aba kepada panitia lainnya dan segeralah mereka membawakan galon air minum, beberapa gelas, dan satu keranjang plastik berwarna hitam. Gus dur mengeluarkan sesuatu didalamnya dan membuka bungkus celana dalam yang baru dibelinya itu. Kemudian ia bersihkan gelas-gelas itu bersama panitia lainnya dengan celana dalam tersebut.
Setelah itu dituangkanlah air galon tadi didalam gelas dan memberikannya kepada Zarkasi yang kelak menjadi salah satu trimurti pendiri pondok Gontor tersebut.
“Zarkasi, ayo minum,” ucap Gus Dur.
“Gus, kok saya?”
“Katamu tadi kamu haus, mau minum?”
“Iya, tapi…”
“Tapi kenapa? Ini air buat kamu minum.”
“Tapi, kan? Tapi, kan ini sempak…”
“Ini kain. Aku baru saja membelinya.”
“Tapi kan ini tetap sempak…”
“Ini sempak bentuknya saja. Aslinya ya tetap kain. Bagus lagi. Baru beli.” (lihat Aguk Irawan, 2015: 321).
Begitulah kejeniusan Gus Dur dalam memberikan wawasan dan pelajaran. Beliau memberikan suatu sudut pandang dari segi esensinya. Oleh karenanya, Gus Dur pun dalam kehidupan selalu memandang sesuatu dari sudut hakikat. Jika diteropong, pemikiran gusdur itu sebagaimana ungkapan Spinoza yang merupakan filosof Jerman, yakni melihat segala sesuatu itu dari sub specie aeternitatis atau melihat segala sesuatu dari sudut pandang keabadian. Jadi seolah-olah tidak ada yang harus dipermasalahkan dari segi perbedaan semata. Beliau selalu berpegang pada marwah dan amanat bangsa yang luhur, yakni bhineka tunggal ika, serta paradigma bangsa, yakni Pancasila.
Wallahu’alam Bishawab.