“Dengan kedua kaki yang menjuntai ke biru laut Mediterania, sepasang tangannya terus menjaga nyala Api Surga, dan bahunya yang bersandar ke keheningan purba gurun Sahara; Tripoli tertunduk menunggu takdirnya yang lain.”
Terdapat ironi yang begitu mendalam dari kalimat yang dituliskan oleh Mabel Loomis Todd dalam Tripoli the Mysterious (1912), setahun setelah deklarasi perang Italia-Ottoman di kota tersebut pada 29 September 1911. Satu abad sebelumnya terjerat dalam perang Tripolitania—Perang Berber pertama—antara Amerika Serikat-Swedia berhadapan dengan tiga kota Berber: Tripoli, Aljazair dan Tunisia. Satu abad setelahnya, 2011, tenggelam dalam perang saudara Libya antara pendukung dan penentang Moammar Gaddafi.
Suasana jalan-jalan di Tripoli mirip dengan Kota Fez, Tunis, atau Aleppo yang berlabirin, dan teratur seperti Yerusalem. Ketenangan gurun Sahara berpautan dengan mata-mata kecoklatan perempuan Tripoli. Laut Mediterania tergambar begitu jelas pada senyum-senyum perempuan yang menawarkan penjelajahan. Mereka mewarisi dan masih terikat dengan darah-darah jelita wanita Italia, Spanyol dan Arab.
Namun takdir kota teluk selalu sama: menjadi jajahan pertama untuk menaklukkan kota-kota yang jauh tersembunyi di padang gurun atau di pedalaman. Terlebih bagi Tripoli. Letaknya berada di barat laut Libya di tepi gurun Sahara yang menjulur ke laut Mediterania. Dikenal sebagai kota pelabuhan yang menghubungkan berbagai negara di belahan Afrika.
Tripoli telah ada semenjak sejarah pertama kali dituliskan. Sejak awal menjadi kota penting bagi dinasti Fenisia, Numidia, Romawi, Vandal, Bizantium, Arab-Islam, Berber, Normandia, Spanyol, Turki, Italia, pihak sekutu Perang Dunia II, dan akhirnya menjadi ibukota dan kota terbesar bagi Libya, baik sebagai monarki dan setelah menjadi negara jamahiriyyah pada 1977. Telah diperintah oleh seorang kaisar, raja (yang silih berganti), sultan, pasha, dan hari ini, dalam takdirnya dipimpin oleh al-qa’id jamahiriyyah Libya.
Kota ini dikenal sebagai Oea pada zaman kuno dan merupakan salah satu kota asli (bersama dengan Sabratha dan Leptis Magna) yang membentuk Tripolis Afrika, atau Tripolitania. Menempati tanjung berbatu yang menghadap ke laut dan terletak di selatan Sisilia, kota ini didirikan oleh orang Fenisia dan kemudian dikontrol oleh orang Romawi.
Di bawah kekuasaan Romawi, dari abad kelima SM hingga abad kedua SM, Tripoli menjadi kota pelabuhan dan kota perdagangan yang penting. Minyak zaitun, gandum, anggur, dan budak dikirim dalam jumlah besar melalui kota ini menuju Roma.
Pada pertengahan abad kelima M, kekaisaran Romawi berada pada ujung keruntuhannya akibat konflik dan perpecahan politik. Saat itulah, kaum Vandal, sebuah suku Jermania yang berdiam di Jutland (Denmark), mulai merajalela di seluruh Eropa. Di Spanyol, kaum Vandal yang mendapat perlawanan dari pe ngua sa Romawi dan Visigoth, memutuskan untuk menrebut provinsi makmur milik Romawi di Afrika Utara.
Pada tahun 429 M, Raja Gaiserik mengirimkan pasukan Vandal menyeberangi Selat Gibraltar. Satu per satu kota-kota Romawi di Afrika Utara dijarah. Vandal menguasai Tripolitania lebih dari 100 tahun sebelum akhirnya Kerajaan Romawi Timur atau Bizantium merebutnya kembali pada 533 M. Namun, Tripolitania sudah telanjur lumpuh dijarah Vandal hingga kemudian tentara Arab melintasi Afrika Utara pada abad ke-7.
Adalah panglima Amr Ibn al-Ash yang memimpin pasukan Arab menjelajahi Afrika Utara setelah sebelumnya merebut Mesir dari tangan Bizantium. Di bawah perintah Khalifah Umar Ibn al- Khattab di Madinah, pasukan Amr berhasil menguasai Sirenaika pada 642 M. Tripolitania ditaklukkan pada 647 M.
Menurut al-Baladhuri, Tripoli diambil alih oleh tentara Islam setelah menginvasi Alexandria, pada tahu 22 H, antara 30 November 642 dan 18 November 643 M. Tripoli lalu diperintah oleh dinasti yang berbasis di Kairo (pertama Fatimiyah dan kemudian Mamluk), dan Kairouan di Ifriqiyah (dinasti Fihriz, Muhallabi dan Aghlabiyyah). Setelahnya berada di bawah kerajaan Berber Almohan dan Hafsiyyah.
Tripoli berada dalam kekuasaan Islam sejak Amr sampai tahun 1146-1158 ketika diambil alih oleh Normandia Sisilia. Pada tahun 1510 diserbu oleh Spanyol, dan jatuh ke dalam kekuasaan Turki pada 1551 dan dijadikan sebagai ibukota koloni dinasti Ottoman. Dari tahun 1911 sampai 1943 diambil alih oleh Italia, dan dari tahun itu sampai kemerdekaan Libya pada tahun 1951 berada di bawah naungan Inggris.
Tripoli telah melewati sejarah yang sangat panjang. Sejarah ini telah menciptakan perpaduan antara budaya dan tradisi dari berbagai dinasti dan peradaban yang menciptakan perkotaan, lengkap dengan bangunan-bangunannya yang unik. Begitu juga dengan agama. Di kota inilah kita bisa melihat bagaimana sebuah gereja bisa berhadapan dengan masjid.
Kota ini dibagi dua, kota lama (Madinah) dan kota baru. Dua bagian ini seakan-akan dipisahkan oleh dua peradaban yang begitu jauh. Kota baru mulai bertumbuh pada tahun 1970-an, dengan bangunan-bangunan pemerintahan, universitas, perpustakaan, dan istana kerajaan.
Madinah adalah kota kuno yang berdiri dengan gaya Spanyol abad ke-16. Pada akhir abad ke-20 telah direnovasi ulang, namun berbagai konflik yang berada di kota itu hanya menyisakan sekitar 14 persen dari keseluruhan bangunan yang ditumbuhi berbagai peradaban. Peninggalan Marcus Aurelius dari Romawi berada di kota ini, berdampingan dengan masjid tua Gurgi (didirikan pada 1883) dan Karamanli (didirikan pada abad ke-18), dengan menara segi delapan yang khas.
Hingga kini, Tripoli masih ramai dikunjungi oleh para wisatawan. Bangunan-bangunan kesejarahan pun masih berdiri di sisi-sisi kota. Namun, setelah perang saudara, sepertinya akan sulit kita temui pertautan keagamaan yang beriringan secara harmonis. Perang Saudara yang melanda Libya sejak tahun 2011 terus berlangsung hingga hari ini. Ketegangan antara pendukung Fayez al-Sarraj dan Khalifa Haftar, antara kepentingan Italia, Turki dan Qatar berhadapan langsung dengan Rusia, Saudi Arabia dan Prancis, antara Sunni dan Syiah.
Di kota ini, apa lagi yang harus kita warisi? Setelah pada Maret (2020) peluru mortir ditembakkan ke rumah-rumah sipil di pinggiran kota. Apa lagi yang harus kita warisi dari kota yang menembak mati lima wanita dan seorang anak. Kematian mereka seakan mengabarkan keruntuhan seluruh kebijaksanaan dari peradaban-peradaban besar yang tersisa di tembok-tembok kusam kota.
Di dalam buku yang sama, Mabel Loomis Todd yang juga editor puisi-puisi Emily Dickinson melanjutkan, “Satu yang tak akan kita temukan lagi di kota ini, warisan peradaban-peradaban besar dari zaman Punisia, Romawi hingga Islam.”
Kini kita hanya bisa menyaksikan Tripoli sebagai kota yang tak henti-hentinya dirundung kesedihan.