Dia satu di antara tiga gadis Kauman (Yogyakarta) yang mengenyam pendidikan di Sekolah Netral (Neutrale Meisjes School). Bersama dua sahabatnya, ia berani menerobos tradisi, masuk sekolah netral yang dikelola oleh orang-orang Belanda.
Pada waktu itu, persepsi masyarakat Kauman tentang budaya orang-orang Belanda dianggap sebagai kekufuran. Siapa yang mengikuti atau menyerupai budaya orang-orang Belanda, maka ia dianggap termasuk bagian dari mereka (man tasyabaha bi qaumin, fa huwa min hum).
Ditambah lagi, masyarakat Kauman pada waktu itu juga masih beranggapan bahwa perempuan tidak boleh keluar rumah, tidak patut menuntut ilmu yang tinggi, karena ujung-ujungnya hanya akan mengurusi dapur.
Namun ia memberanikan diri menerobos tradisi, mengikuti arahan yang disampaikan seorang kiai kharismatik bernama KH. Ahmad Dahlan (Khatib Amin Masjid Agung Yogyakarta). Gadis berparas ayu itu bernama Siti Bariyah.
Ketua ’Aisyiyah Pertama
Bukan Siti Walidah atau Nyai Ahmad Dahlan ketua ’Aisyiyah pertama, tetapi Siti Bariyah, santriwati-ideologis KH. Ahmad Dahlan yang sejak awal telah dipersiapkan untuk menjadi kader Muhammadiyah. Tesis ini dipertegas untuk meluruskan kekeliruan beberapa hasil penelitian yang menyebutkan ketua ’Aisyiyah pertama adalah Nyai Ahmad Dahlan. Siapakah Siti Bariyah?
Dalam monograf ”Anak Cucu Lurah Hasyim Ismail Berhidmat kepada Muhammadiyah” (2009), Mu’tasimbillah Al-Ghozi mengutip catatan pribadi Haji Hasyim Ismail sebagai berikut:
“Tatkolo dhahiripun Bariyah amarengi ing dinten Jum’ah legi, kaping 21 wulan Shafar tahun be Sanat 1325” (Ketika lahir anak perempuan Bariyah bersamaan dengan hari Jum’at legi, tanggal 21 bulan Shafar tahun Be sanat 1325).
Manuskrip Haji Hasyim Ismail itulah satu-satunya sumber primer yang memberi informasi seputar tahun kelahiran Siti Bariyah.
Siti Bariyah adalah salah satu di antara putra-putri Haji Hasyim Ismail yang berjumlah delapan orang. Merujuk pada manuskrip Haji Hasyim Ismail, Bariyah bersaudara dengan Yasimah, Daniel, Jazuli, Hidayat, Zaini, Munjiyah, dan Walidah.
Mereka inilah yang dikenal sebagai “Bani Hasyim” Kauman—merujuk pada istilah yang digunakan Pak AR Fakhruddin untuk menyebut anak-anak Haji Hasyim Ismail yang semuanya mengabdi dan berjuang di Muhammadiyah. Siti Bariyah, Siti Munjiyah, dan Siti Walidah (bukan Nyai Ahmad Dahlan) adalah kader-kader ‘Aisyiyah generasi pertama.
Daniel—di kemudian hari berganti nama “Haji Syujak” (Ketua Pertama Penolong Kesengsaraan Oemoem/PKO), Jazuli—di kemudian hari berganti nama “Haji Fachrodin” (Ketua Pertama Bagian Tabligh Muhammadiyah (Bendahara Centraal Sarekat Islam, pemimpin redaksi Suara Muhammadiyah, Bintang Islam, Srie Diponegoro), Hidayat—di kemudian hari berganti nama “Ki Bagus Hadikusuma” (Ketua Hoofdbestuur Muhammadiyah pasca K.H. Mas Mansur), dan Zaini—muballigh dan pakar kristologi (dari silsilah ini menurunkan tokoh: Busyro Muqoddas, Muhammad Muqoddas, dan Fahmi Muqoddas).
Siti Bariyah binti Haji Hasyim Ismail yang lahir di Kauman, Yogyakarta pada tahun 1325 H, bersama Siti Wadingah dan Siti Dawimah pada tahun 1913 menuntut ilmu di Neutraal Meisjes School di Ngupasan atas arahan KH. Ahmad Dahlan (Ahmad Adaby Darban, 2000: 47).
Langkah KH. Ahmad Dahlan yang menganjurkan anak-anak perempuan di Kauman masuk sekolah umum merupakan gagasan baru yang sesungguhnya masih sangat sulit diterima oleh masyarakat setempat.
Gagasan Kiai Ahmad Dahlan ini sempat dianggap sebagai langkah kontroversial, karena masyarakat setempat memang masih beranggapan bahwa perempuan tidak boleh keluar rumah. Apalagi jika seorang perempuan harus ke luar kampung untuk masuk sekolah yang dipimpin oleh orang Belanda.
Langkah Kiai Dahlan tersebut jelas dianggap sebagai upaya menjerumuskan kaum perempuan dalam kekafiran.
Meskipun mendapat kecaman dari masyarakat setempat, Khatib Amin tetap mendidik dan menjaga anak-anak gadis yang dianjurkannya menuntut ilmu di sekolah Belanda. Lewat perkumpulan pengajian Sapa Tresna, mereka dibina dan dididik dengan materi pelajaran agama Islam. Perkumpulan pengajian perempuan Islam pertama di kampung Kauman bernama Sapa Tresna inilah yang di kemudian hari menjadi cikal-bakal organisasi ’Aisyiyah. Didirikan pada tahun 1914, Sapa Tresna beranggotakan murid-murid perempuan di Sekolah Netral (Neutrale Meisjes School) dan Sekolah Agama (Diniyah Ibtidaiyah) (Junus Anies, 1968: 20).
Siti Bariyah adalah adik kandung Siti Munjiyah, aktivis Sapa Tresna—cikal bakal ‘Aisyiyah. Dia gadis berparas ayu dengan kulit kuning langsat. Postur tubuhnya tidak terlalu tinggi, juga tidak terlalu pendek. Mata bulat lebar, tatapan matanya tajam.
Di antara santri-santri perempuan Kiai Dahlan, Bariyah paling sering diajak bertablig di kantor-kantor pejabat pemerintahan dan di sekolah-sekolah umum. Santri perempuan lain yang sering diajak bertabligh oleh Khatib Amin adalah Siti Wasilah (istri K.R.H. Hadjid).
Keduanya memang memiliki kemampuan dan wawasan yang melebihi santri-santri perempuan yang lain. Bariyah mahir berbahasa Belanda, juga bahasa Melayu, sedang Wasilah mahir melatunkan tilawatil quran. Sebelum pengajian dimulai, Khatib Amin menyuruh Wasilah untuk membacakan ayat-ayat suci Alqur’an sambil dilagukan dengan merdu. Bariyah mendapat giliran untuk menerjemahkan ayat-ayat Alquran ke dalam bahasa Melayu dan Belanda. Konon, dengan model pengajian seperti ini, banyak orang yang senang dan berlomba-lomba mengikuti pengajian.
Pada tahun 1917, setelah mendapatkan kader-kader perempuan yang dipandang memiliki kecakapan di bidang kepemimpinan, Hoofdbestuur (HB) Muhammadiyah menggelar rapat pembentukan organ sayap perempuan Muhammadiyah.
Pertemuan tersebut dihadiri oleh Kiai Ahmad Dahlan, H. Fachrodin, H. Mochtar, dan Ki Bagus Hadikusuma. Siti Bariyah, Siti Dawimah, Siti Dalalah, Siti Busyro (putri KH. Ahmad Dahlan), Siti Wadingah, dan Siti Badilah yang masing-masing masih berusia belasan tahun hadir mewakili kelompok Sapa Tresna.
Kiai Dahlan mendapat usulan agar Muhammadiyah membentuk organisasi yang secara khusus bertujuan untuk memajukan kaum perempuan.
Dalam pertemuan ini, mula-mula nama yang diajukan untuk perkumpulan yang akan dibentuk adalah ”Fatimah.” Nama ini tidak disepakati dalam pertemuan tersebut. Haji Fachrodin, kakak kandung Siti Bariyah, mengajukan nama ”Aisyiyah.” Pemberian nama ini dinisbatkan kepada istri Nabi SAW yang bernama Siti Aisyah. Para pengikut Siti Aisyah dinamakan ’Aisyiyah. Nama inilah yang berhasil disepakati dalam pertemuan tersebut. Akhirnya, pertemuan tersebut berhasil memutuskan pembentukan Muhammadiyah Bahagian Isteri (perempuan) yang diberi nama ’Aisyiyah (Darban, 2000: 48).
Dalam proses pembentukan Muhammadiyah Bahagian ‘Aisyiyah, Siti Bariyah, lulusan Sekolah Netral, dipercaya sebagai ketua (president) pertama (Pimpinan Pusat Aisyiyah, t.t.: 23). Dia sebagai lulusan Neutraal Meisjes School dan aktivis pengajian Sapa Tresna dipandang memiliki kecakapan khusus dalam memimpin salah satu orgaan di Persyarikatan Muhammadiyah ini.
Struktur pertama Hoofdbestuur (HB) Muhammadiyah bahagian ‘Aisyiyah adalah sebagai berikut: Ketua Siti Bariyah, Penulis Siti Badilah, Bendahari Siti Aminah Harowi, Pembantu Nj. H. Abdullah, Nj. Fatimah Wasool, Siti Dalalah, Siti Wadingah, Siti Dawimah, dan Siti Busyro (Lihat St. Ibanah Muchtar, “Pemandangan Umum ‘Aisjijah” dalam Soeara ’Aisjijah, no. 6/7 Ag/Sept 1953 Dz. Hidj/Muharam 1372 Th. XVIII).
Perempuan Pertama Penafsir Ideologi Muhammadiyah
Selain dikenal sebagai ketua ‘Aisyiyah pertama, Siti Bariyah adalah tokoh intelektual perempuan yang cukup menonjol pasca kepemimpinan K.H. Ahmad Dahlan, terutama pada masa kepemimpinan K.H. Ibrahim.
Jika selama ini pendapat bahwa pemikiran ideologis pertama di Muhammadiyah dicetuskan oleh KH Mas Mansur lewat Tafsir Langkah Muhammadiyah (1939), maka teori ini mungkin akan segera digeser, atau paling tidak direvisi, dalam narasi historiografi Muhammadiyah. Mengapa?