Peradaban Barat selama abad-abad terakhir ini semakin gencar mengambil dan menguras energi, tanpa sanggup mengembalikan lagi. Pada taraf tertentu, siklus ini akan runtuh dengan sendirinya. Saat ini, kita saksikan sendiri, begitu banyak di antaranya yang sudah rontok dan berjatuhan.
Kebudayaan modern meniscayakan perang terhadap alam. Perjuangan untuk menjinakkan yang liar telah dikerahkan manusia selama berabad-abad. Agama Samawi memerangi animisme, polytheisme, dan mitos-mitos leluhur. Aristokrasi memagari kita dari rakyat jelata. Para industrialis menyeret kita dari sawah-ladang menuju pabrik-pabrik. Bangkitnya rasionalitas dan ilmu pengetahuan menyingkirkan emosi serta pengalaman subyektif dari tanah yang dijunjung-tinggi. Saat ini, kebutuhan manusia untuk menaklukkan alam semakin dipercepat. Lihat saja proyek-proyek rekayasa genetika, nanoteknologi, dan pembolehan (pembiaran) memproyeksikan zat-zat yang dapat mengubah kondisi kesadaran manusia.
Sementara, bangunan sistem ekonomi moneter mensyaratkan manusia agar tercerai-berai satu sama lain. Konsep divide et impera tetap dipertahankan sebagai tipuan muslihat yang meniscayakan adanya chaos, seakan-akan sanggup dikendalikan secara rasional tulen. Tetapi, seberapa sanggup manusia menaklukkan itu? Berapa banyak di antara kita yang memandang optimistis dari rusaknya tatanan mikro dan makrokosmos ini? Berapa banyak di antara kita yang sanggup mengubah sikap skeptis, lalu merayakan kehidupan yang katanya anugerah yang indah ini?
Berapa banyak di antara Anda yang sanggup hidup, di mana kejujuran dan kreativitas membangun peradaban lebih diutamakan, ketimbang sibuk mengurusi detak jam dan membayar tagihan utang?
Kemudian, masuklah kita ke tema kesusastraan Indonesia. Sebarapa banyak peminat karya sastra yang sanggup menjunjung tinggi, menyuarakan nilai-nilai kebenaran dan keadilan, ketimbang tema-tema aktual yang menyangkut pembangunan fisik dan materi, dan membuat orang merasa puas diri, walaupun hanya sesaat?
Hafis Azhari boleh-boleh saja berkarya tentang budaya dan peradaban Banten yang berjalan dalam konteks kekinian dan keindonesiaan. Namun, siapa yang sanggup melawan kekuatan sistem, ketika mesin-mesin bergemuruh dengan tambang-tambang emas yang diproyeksikan untuk mengejar target ekonomi moneter, sementara kita menyaksikan gema rintihan pilu lantaran tradisi dan kebudayaan – yang dilestarikan berabad-abad – terpaksa harus runtuh dan menyingkir?
Kita barangkali tak mendengar rintihan pilu dari robohnya kebudayaan itu, karena kita – yang tinggal di perkotaan – memang tidak diprogram untuk itu. Kebutaan dan ketulian memang diperlukan oleh mereka yang memelihara sistem moneter berbasis globalisasi. Tetapi, bagi mereka yang hidup tanpa uang, mereka akan memerlukan satu batang pohon yang tergeletak pada musim panas, untuk memanfaatkannya sebagai tungku pemasak atau kayu bakar di musim dingin. Koran Kompas yang tergeletak di selokan juga akan berguna sebagai penyulut api. Segala sesuatu antara bekas dipakai atau dipakai ulang, termasuk buangan yang asalnya dari tubuh kita sendiri, bisa dimanfaatkan untuk bertahan hidup.
Ketika selesai menulis dan keluar kamar, kita harus waspada mengenai energi di balik saklar lampu yang kian berkurang. Ketika menemukan bolpoin di jalan, tak segan kita memungutnya, ketimbang harus mengeluarkan 5000 rupiah untuk mendatangi toko ATK. Uang membuat kita menggantungkan segalanya pada barang dan jasa yang harus dibayar dengannya. Pemutusan hubungan dengan uang, membuat kita merasa terasingkan dari pola kehidupan yang – sadar atau tak sadar – semua kita sudah kadung mengikatkan diri terhadapnya.
Ketika para ekonom dan pengusaha melihat, misalnya pada hasil-hasil produksi berupa plastik, pestisida, bahan bakar, hingga mainan anak-anak setiap hari, mereka tidak memersepsikannya sebagai penghamburan. Karena kegunaannya dianggap efisien, meskipun pada waktunya kelak mengubah perspektif pada kekayaan finansial dan material bagi hajat hidup manusia di muka bumi ini. Dalam konteks ini, pengendalian sumber daya dapat diberlakukan melalui harga-harga monerter semata.
Ekonomi berbagi
Ekonomi berbagi – entah apapun Anda menamakannya – adalah ancaman serius bagi keberlangsungan ekonomi moneter saat ini. Pola hidup yang meniscayakan adanya teknologi tinggi, seakan mendesak agar kita tidak bisa saling berbagi antar sesama. Di rumah-tangga, kita harus memiliki segalanya, yang konsekuensinya semua saling berlomba untuk menimbun barang-barang di lemari dan gudang, yang barangkali hanya dipakai setahun sekali, atau hanya dipergunakan sekali saja seumur hidup.
Tentunya, saudara atau tetangga kita pun menimbun barang yang sama. Padahal, jika kita perlu berbagi antara satu dengan yang lainnya, maka sistem ekonomi moneter dengan sendirinya akan ambruk di tengah jalan. Selama ini, seakan kita hidup dengan menganut ideologi pembangunan yang meninabobokan dan mencelakakan. Kecanduan untuk memiliki barang dapat menguasai serta melemahkan mentalitas bangsa. Kini, kita menyadari bahwa pertumbuhan ekonomi yang tiada henti menjadikan planet bumi tidak layak huni bagi 73.000 spesies setiap tahunnya. Itu berarti, spesies manusia bisa mengorbankan 150 sampai 200 spesies setiap harinya.
Untuk berusaha meminimalisir kerusakan itu, lagi-lagi kita berpikir dangkal, seolah-olah uang yang dapat menyelesaikan segala hal. Kalau pola pikir ini terus dipertahankan, boleh jadi kita pun akan termasuk ke dalam jenis spesies yang akan punah dalam waktu dekat.
Jika ketergantungan manusia pada urusan perut dan uang, apakah bedanaya kita ini dengan spesies yang sudah punah akhir-akhir ini, seperti macan Tazmania, burung Pouli, badak hitam Afrika, merpati Penumpang, dan boleh jadi, badak bercula satu di Banten akan menyusul. Apakah kita lebih mulia dari ciptaan Tuhan lainnya, manakala kita menyandarkan diri pada segala bentuk persaingan yang tidak etis, merusak dan meluluhlantakkan peradaban lainnya? Jangan-jangan kita malah dianugerahi sebagai khalifah yang gagal di permukaan bumi, karena keteledoran kita sendiri? (baca: Manusia Sebagai Makhluk Teledor di Muka Bumi, www.nu.or.id).
Kita cenderung memahami rizki dan keberkahan hidup hanya pada perkara yang lebih banyak, lebih besar, lebih cepat, serta pada tingginya kedudukan dan status sosial. Tanpa disadari, kita sedang membunuh diri secara egosentris, dan tampaknya kita tidak menemukan cara yang baik untuk mengobati itu. Kita cenderung menggunakan obat-obat yang sama sekali tak pernah menyembuhkan penyakit fisik maupun delusi kejiwaan dalam kita sendiri.
Sebagai manusia modern, kita seakan terjerat dengan kebiasaan atau kecanduan yang tak bisa kita lepaskan. Kita terus saja mengulanginya walaupun menyadari itu berbahaya. Ketika mengalami hal itu, kita begitu terikat oleh tabiat itu, sehingga walaupun kita ingin berubah, kita akan merasa kesulitan. Perilaku konsumerisme dianggap sebagai tingkat konsumsi yang dianggap normal. Kini, kita mencapai titik ketika selera kita terhadap sumber daya telah menimbulkan bencana ekologis yang sangat masif.
Kecanduan pada perilaku konsumerisme bukan hanya masalah individu. Kecanduan juga terjadi pada taraf organisasi, partai politik dan lembaga sosial kemasyarakatan. Sistem ekonomi yang kita bangun justru mengokohkan pola budaya yang menganggap pengeluaran uang sebagai cara untuk memenuhi kebutuhan, seakan kita sudah kadung terbelenggu pada pola pikir itu. Ketika minyak goreng raib di pasaran, jutaan rakyat merasa kelimpungan dan bertengkar sana-sini, ketimbang berpikir kreatif untuk menciptakan dan memanfaatkan produk alternatif lain.
Masyarakat kita belum mampu membedakan pengaruh jangka pendek dan jangka panjang, yang dapat menjadi solusi dan membantu penyembuhan. Seorang perokok mungkin menggunakan rokok untuk menenangkan diri, namun ketergantungan nikotin menjadikan orang gampang stres dan cemas. Sebagian orang berpaling pada alkohol untuk menghibur diri, namun minum banyak-banyak tentu akan membuat seseorang lebih menderita.
Perilaku adiktif seringkali dianggap sebagai solusi bagi penyelesaian masalah, meskipun dalam jangka panjang akan menimbulkan malapetaka yang merugikan diri dan orang lain. Hal ini merupakan lingkaran setan, ketika seseorang bergantung pada sesuatu, semakin ia merasa membutuhkannya. Demikian juga dengan konsumerisme. Semakin kita mengandalkan belanja sebagai cara memenuhi kebutuhan, semakin jarang kita mengembangkan cara-cara lain untuk mencukupi kebutuhan hidup.
Hidup tanpa uang
Orang-orang bijak mengatakan, bahwa tragedi dalam kebudayaan masakini adalah begitu banyak orang yang takut mati, sehingga mereka tidak pernah benar-benar merasa hidup. Saat ini, kebanyakan kita bergantung pada alat likuid yang bernama uang. Semakin kuat ketergantungan itu, semakin kita kesulitan untuk keluar dan meraih kemerdekaan jiwa.
Dalam adegan-adegan film “Nomadland”, kita bisa saksikan kantong-kantong pemukiman tanpa uang di tengah masyarakat industri yang hiper modern saat ini. Cukup banyak orang yang berani hidup tanpa uang, berkelana sejauh ribuan kilometer tanpa berbekal uang. Mereka berjalan kaki atau menggunakan kendaraan apapun yang bisa digunakan, baik di lingkungan perkotaan, pedesaan, hingga di tengah padang sahara dan hutan belantara.
Seumumnya, mereka memiliki pandangan hidup yang sama, karena menyaksikan berbagai penyimpangan dalam taraf kehidupan manusia, sehingga mereka memilih cara hidup baru yang menolak memperbudak jiwa mereka. Ya, mereka menginginkan hidup yang berdasarkan pada hubungan dan kepercayaan daripada impersonalitas dan kecurigaan.
Kita mengenal Peace Pilgrim yang menulis buku “Step toward Inner Peace”. Buku itu dibagikan secara cuma-cuma, baik dalam bentuk cetak maupun digital. Setelah selesai ditulis, buku itu segera dilempar ke publik (bukan ke pasaran), mengingatkan kita pada novel Pikiran Orang Indonesia di negeri “beradab” ini. Jika Pilgrim menghendaki kekayaan dari buku yang diterjemahkan ke dalam lebih dari 30 bahasa itu, dia tentu meraihnya.
Tetapi, penulis itu tetap konsekuen “memilih miskin” dan melanglang buana dengan berjalan kaki selama 28 tahun hingga wafatnya (1981). Selama ribuan kilometer perjalanannya menyusuri sepanjang Amerika Serikat, Pilgrim hanya berbekal baju yang menempel di tubuhnya.
Kita juga mengenal Daniel Suelo yang memutuskan memulai hidup tanpa uang sejak tahun 2000-an. Dalam buku “The Man Who Quit Money” ia menyatakan dirinya tak memiliki tempat tinggal, dan menetap di gua-gua di daratan ngarai Utah. Di situlah ia mencari makan dari alam liar dan tempat pembuangan sampah dari perkotaan, serta mandi dari sungai ke sungai. Selain itu, Sonja Kruse dari Afrika Selatan, yang dikenal sebagai gadis muda dari Ubuntu. Filosofi Ubuntu adalah bahwa tiap-tiap manusia dapat bertahan hidup dengan saling membantu, yang merupakan hukum kodrat kemanusiaan. Ia ingin membuktikan kebenaran filosofi itu dalam perjalanan selama satu tahun, tinggal di 9 provinsi dan 114 kota, menetap di 150 keluarga, serta bergabung dalam 16 jenis kebudayaan masyarakat yang berbeda-beda.
Filosofi Ubuntu dibuktikan kembali oleh seorang pemuda bernama Adin Ryneveld, juga dari Afrika Selatan. Ia melakukan perjalanan selama lima tahun tanpa uang. Meski pada akhirnya, ia merasa berempati melihat nasib orang-orang Afrika yang miskin dan terbelakang, hingga kemudian ia memutuskan mencari uang untuk membantu orang-orang yang membutuhkan. Hal ini tentu berbeda dengan filosofi Sartre (Prancis) yang mengatakan bahwa neraka ialah orang lain. Ajaran Ubuntu justru menegaskan bahwa “aku ada karena keberadaan dirimu”.
Filosofi yang sama dipraktikkan oleh Elf Pavlik dan Julez Edward yang hidup mengelilingi benua Eropa tanpa uang, bahkan tanpa kartu identitas sebagai penduduk dari warganegara manapun. Mereka menyatakan dirinya sebagai penduduk dari warga dunia ini. Mereka juga menghimpun sesama saudara yang berani menjalani hidup tanpa uang, serta membentuk suatu program yang membantu orang-orang yang memutuskan menjalani hidup tanpa uang.
Ketika dipancing oleh pertanyaan wartawan, bagaimana mungkin mereka menjalani hidup tanpa uang, sementara kita berkeliling dunia menggunakan pesawat dan bahan bakar, yang justru bertolak-belakang dengan filosofi hidup tanpa uang? Dengan demikian, Julez Edward menjawab, bahwa program yang sedang dikerjakannya adalah, bagaimana menemukan cara untuk hidup tanpa fasilitas umum, dan hanya menggunakan fasilitas yang disediakan oleh alam.
Menurut pendirian mereka yang menjalani hidup tanpa uang, kehidupan berbagi itu mencerahkan dan menentramkan jiwa. Sementara, konsep ekonomi moneter berpendapat, manusia tak ubahnya dengan binatang yang terus-menerus diempani makanan, bahkan semakin lama semakin banyak porsi yang disodorkan kaum politikus yang terus berambisi ingin berkuasa.
Melawan arus
Bagi mereka yang sibuk menimbun harta (ekonomi), filosofi berbagi merupakan musuh dan pesaing utamanya. Dalam film “All the Money in the World” yang diangkat dari kisah nyata (sutradara Ridley Scott), dibuktikan bahwa orang yang besar rekening banknya justru sangat bergantung pada pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian akan menjadi dilema, karena bagaimanapun pihak aparat tak bisa menjadikan tindakan berbagi sebagai sesuatu yang melanggar hukum.
Dalam akal sehat dan nurani mereka juga diakui, bahwa sulit membangun ideologi baru di mana kehidupan berbagi adalah suatu tindakan yang ilegal. Tetapi, menurut para pelaku ekonomi moneter, tindakan semacam itu seakan bertentangan, bahkan dianggap menghambat laju pembangunan.
Dalam konsep perusahaan multinasional, pikiran orang normal akan mengebor terus, bagaimana mungkin kita mau repot-repot bekerja keras dan berbagi hasil dengan orang-orang yang boleh jadi kinerjanya tidak sekeras kita? Bahkan, tidak sedikit orang yang hanya uncang-uncang kaki, namun memiliki pendapatan dan penghasilan yang lebih banyak dan melimpah dari hasil usaha dan kerja keras kita.
Kita patut mengakui dengan jujur, bahwa sebagian norma dan budaya kita tak lebih seperti apa yang dinyatakan Bung Karno dalam pidato Konferensi Asia-Afrika di Bandung (1955), bahwa kita harus berani membebaskan diri dari dikotomi manusia penindas dan tertindas. Kita bukanlah landasan di mana hanya orang-orang berduit yang mampu naik pesawat dan tinggal landas.
Bung Karno dan para bapak bangsa kita, paham betul perihal budaya dan peradaban Barat kala itu, ketika status sosial disematkan lebih unggul pada mereka yang memiliki banyak uang, rumah mewah, karier yang tinggi serta merk barang yang digunakan. Karena itu, jika Anda berani mengambil risiko untuk menjalani hidup tanpa uang, atau hidup sederhana dan berjiwa sosial, maka niscaya Anda akan terbebas dari indikator kesuksesan yang digaungkan oleh peradaban mereka.
Banyak orang yang telah berenang melawan arus mengatakan, bahwa mengambil langkah nekat demikian akan membesarkan rasa percaya diri serta meraih kemerdekaan. Mereka akan terbebas dari perbudakan zaman modern dan hipermodern yang membelenggu jiwa-jiwa manusia.
Sebagaimana yang dinyatakan seorang musisi dan peraih nobel kesusastraan (2016), Bob Dylan: “Manusia yang sukses adalah mereka yang bangun di pagi hari dan tidur di malam hari, dan di antara kedua waktu itu ia berhasil melakukan hal-hal yang ia cintai.” ***