Sedang Membaca
Menilik Manuskrip Kuno Peninggalan Kiai Ibrahim Ghozali Polorejo, Babadan, Ponorogo
Akmal Khafifudin
Penulis Kolom

Menempuh pendidikan di UIN KH. Achmad Shiddiq Jember prodi Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah. Kini ia mengajar di Ponpes Darul Amien Gambiran, Banyuwangi. Penulis bisa disapa di akun Instagram @akmalkh_313

Menilik Manuskrip Kuno Peninggalan Kiai Ibrahim Ghozali Polorejo, Babadan, Ponorogo

Makam Kh. Ibrahim & Istri

Pada tanggal 04 Maret 2023 lalu, ketika bermukim di Ponorogo, kami menyempatkan diri berziarah ke makam KH. Ibrahim Ghozali Polorejo, sosok ulama’ alumnus Pesantren Tegalsari, Ponorogo yang menyebarkan agama Islam serta mendirikan pesantren di Dusun Bedi, Desa Polorejo, Kecamatan Babadan, Kabupaten Ponorogo.

Kiai Ibrahim yang merupakan putra dari KH. Ghozali Cokromenggalan ini dilahirkan di tahun 1802 M. Pada tahun 1849 Kiai Ibrahim mulai membabat alas Desa Bedi guna dijadikan sebagai lahan dakwah penyebaran agama Islam atas permintaan Bupati Polorejo (dahulu Ponorogo dan Polorejo terpisah menjadi suatu kabupaten tersendiri) yakni Raden Tumenggung Brotonegoro.

Seiring berjalannya waktu, pesantren Bedi menjadi jujugan para santri menimba ilmu agama. Namun sejak tahun 1882, pemerintah kolonial Belanda membatasi dan mengawasi dengan ketat kegiatan belajar mengajar seluruh lembaga pendidikan Islam di Pulau Jawa, sehingga jumlah santri pesantren Bedi mengalami penurunan.

Puncaknya pada tahun 1940 pesantren Bedi hanya tinggal kenangan dikarenakan kekosongan penerus estafet kepemipinan pesantren dan kini hanya sebuah masjid tua yang menjadi saksi bisu akan kemegahan pesantren Bedi tempo dulu.[1]

Dari masjid peninggalannya yang bercorak joglo tersebut terdapat sudut masjid yang menyita perhatian kami. Pada sisi selatan pojok serambi masjid, terdapat sebuah lemari kayu berkaca yang menyimpan beberapa manuskrip kitab kuning dan mushaf Al-Qur’an peninggalan Kiai Ibrahim Ghozali.

Bagian Pertama Manuskrip Kitab Fathul Mu'inn
Bagian Pertama Manuskrip Kitab Fathul Mu’in. Dok. Penulis.

Dalam lemari tersebut, kami mengamati berbagai kitab yang kondisinya ada yang utuh dalam satu jilid dan ada yang jilidnya terlepas. Kami sempat menemui serta mewawancarai Pak Ardi, salah satu dzurriyah KH. Ibrahim Ghozali yang kediamannya terletak disebelah selatan masjid. Beliau bertutur kepada kami bahwa memang dahulu leluhurnya memiliki ketekunan menyalin berbagai kitab kuning, mengingat kitab yang diterbitkan oleh sebuah percetakan pada masa itu sangat mahal harganya.

Baca juga:  Wisata Religi, Bukan Sekadar Rekreasi

Keahlian Kiai Ibrahim Ghozali tersebut menurut Pak Ardi sudah terasah semenjak leluhurnya tersebut nyantri di Pesantren Tegalsari, ketika menimba ilmu di Mekkah pun beliau masih aktif menyalin berbagai kitab dengan ragam corak khat yang berbeda.

Di masa mengasuh pesantren Bedi pun, Kiai Ibrahim tercatat pernah menulis beragam mushaf al-Qur’an dengan gaya penulisan khat yang berbeda-beda, ada mushaf yang beliau tulis menggunakan khat Farisi dan adapula mushaf yang beliau tulis menggunakan khat Naskhi.

Al-Qur’an tulisan tangan Kiai Ibrahim pertama kali dikerjakan seusai beliau mengajar para santri. Mushaf tersebut mampu beliau rampungkan lengkap 30 juz dalam waktu satu tahun lamanya. Ketika salah seorang santri melihat mushaf karya gurunya tersebut, ia berniat membeli mushaf tersebut. Namun Kiai Ibrahim tidak mengabulkan permohonan santrinya, setelah memohon untuk kedua kalinya.

Akhirnya Kiai Ibrahim berkenan menuliskan kembali mushaf Al-Qur’an untuk santrinya itu dengan syarat harus bersabar. Pada akhirnya, mushaf tersebut mampu beliau rampungkan dalam waktu enam bulan dan santri itu memberikan imbalan kepada gurunya berupa dua ekor sapi yang kemudian beliau jual dan uang hasil penjualannya digunakan sebagai biaya pembangunan pesantrennya.

Selain itu Kiai Ibrahim pernah mendapat pesanan penulisan mushaf Al-Qur’an dari luar daerah, tepatnya dari seorang asal Banyuwangi dan seorang asal Jawa Tengah. Atas jasa penulisan mushaf Al-Qur’an tersebut, Kiai Ibrahim pernah mendapat imbalan berupa uang tunai sebesar 50 Rupiah yang masa itu nominal tersebut setara dengan membeli lima ekor sapi. Berdasarkan keterangan dari Pak Ardi, tercatat Kiai Ibrahim semasa hidupnya berhasil menulis mushaf Al-Qur’an 30 Juz sebanyak 11 buah. Adapun di Ponorogo, diketahui bahwa mushaf autentik tulisan tangan beliau terdapat 4 buah.

Baca juga:  Jejak Nabi Khidir di Negeri Persia

Dalam penulisan kitab kuning, kami mengamati dari kumpulan manuskrip – manuskrip tersebut bahwa Kiai Ibrahim menulis kitab kuning dalam beragam fan keilmuan yang terdiri atas ilmu alat (Jurumiyah & Alfiyah), ilmu hadits (shohih Bukhari), ilmu fiqih / hukum Islam (Fathul Mu’in bi Syarh Qurrotal Ain, Hasyiyah Bajuri, dan Fathul Qorib), aqidah, dan teologi / ilmu kalam (Ummul Barahin).

Bagian Akhir Manuskrip Kitab Fathul Mu'inn
Bagian Akhir Manuskrip Kitab Fathul Mu’in. Dok. Penulis

Dari kitab kuning yang kami amati tersebut, didapati bahwa media kertas yang beliau gunakan dalam penulisan kitab tersebut menggunakan jenis kertas Eropa. Hal ini terlihat dari watermark dan countermark yang kami dektesikan pada cap kertas yang ada di dalamnya.  Selain kitab – kitab tersebut terdapat manuskrip kitab lain yang kondisinya cukup memprihatinkan, disebabkan karena terlepas dari jilidnya dan disebabkan karena dimakan oleh rayap.

Terdapat kisah menarik yang kami terima dari Pak Sudarto (buyut dari salah satu santrinya Kiai Ibrahim) bahwa dahulu ada sesorang yang mengambil manuskrip kitab milik Kiai Ibrahim tanpa izin / mencuri. Alhasil orang ini menjadi tidak waras ketika berada di rumah. Berbagai pengobatan telah dilakukan oleh keluarga namun tidak berhasil. Hingga pada suatu malam, salah satu anggota keluarga dibisiki ketika tidur bahwa jika ingin orang tersebut kembali sembuh. Maka kembalikan manuskrip kitab milik Kiai Ibrahim yang dahulu ia curi. Keesokan harinya salah satu anggota keluarga tersebut mencari manuskrip kitab milik Kiai Ibrahim yang dimaksud dan mengembalikannya ke Pesantren Bedi.

Baca juga:  Al Aminah, Masjid Terapung di Teluk Lampung

Akhirnya orang pencuri manuskrip tersebut yang dulunya tidak waras kemudian sembuh seperti sedia kala. Sebagai penutup catatan perjalanan kami, seyogyanya instansi pemerintah setempat, para filolog, dan akademisi hendaknya memperhatikan keberadaan manuskrip – manuskrip ini yang kondisinya cukup memprihatinkan. Sehingga kita sebagai generasi penerus tidak kepaten obor, mengingat keberadaan manuskrip ini menunjukkan akan kebesaran dan kemasyhuran seorang tokoh KH. Ibrahim Ghozali di masa lampau yang memiliki peran besar dalam penyebaran Islam di bumi Reog. Wallahu ‘alam.

[1] Atsna Zakiyah Arifah, “KH. Ibrahim Ghozali dan Islamisasi Desa Polorejo, Kecamatan Babadan, Kabupaten Ponorogo 1849 – 1917 M,”, (Skripsi, UIN Sunan Ampel Surabaya, Juni : 2022), hal. 42 – 46.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
2
Ingin Tahu
1
Senang
2
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Scroll To Top