Sekian informasi dan cerita tutur terkait asal usul nasab Sunan Muria yang merupakan putra dari Sunan Kalijaga juga terlihat dari beragam tradisi dan laku spiritual yang diajarkan dan diamalkan oleh Sunan Muria, yang ternyata memiliki kesamaan dalam gerakan dakwahnya Sunan Kalijaga.
Sang Sunan yang hidup pada dua masa kesultanan Islam di Jawa, yaitu Kesultanan Demak yang berakhir dengan wafatnya Sultan Trenggana pada tahun 1946 M dan Kesultanan Pajang yang dipimpin oleh Sultan Hadiwijaya yang wafat pada tahun 1987 M ini banyak meninggalkan berbagai warisan kesenian adi luhung berupa tembang macapat, sinom, dan sejenisnya serta menggunakan gamelan. Di antara ciptaan Sunan Muria adalah tembang pangkur yang berarti pembirat atau pembasmi hati yang jahat. Selain Pangkur, Sunan Muria juga dikenal sebagai pencipta tembang-tembang cilik (sekar alit) jenis Sinom dan Kinanthi (Agus Sunyoto: 2017 dan Sutejo dkk: 2014).
Karena kedekatan Sunan Muria dengan Sunan Kalijaga baik secara biologis sebagai seorang anak maupun secara ideologis sebagai seorang santri. Sunan Muria juga mewarisi laku spiritual sebagaimana yang diamalkan oleh Sunan Kalijaga. Laku suluk tersebut adalah Tapa Ngeli yang oleh banyak orang dimaknai sebagai olah jiwa dengan melakukan pengasingan diri (semedi atau uzlah) dengan menghanyutkan diri di sungai.
Laku suluk ini juga masyhur diamalkan oleh Sunan Kalijaga atas titah Sunan Bonang sebagai bentuk suluk dalam menggapai ketenangan batin dan penyucian jiwa. Jadi, jika ditarik dari aspek mata rantai intelektual dapat dikatakan bahwa baik Sunan Kalijaga maupun Sunan Muria, keduanya merupakan murid sejati Sunan Bonang. Bahkan oleh Habib Luthfi bin Yahya dinyatakan bahwa Sunan Muria adalah mursyid pengganti (badal) dari tarekat yang dianut oleh Sunan Bonang dan mendapatkan julukan sebagai al-Mursyid al-Kamil (Pembimbing Spiritual Paripurna) (Anasom dkk: 2018).
Selanjutnya, jejak laku Tapa Ngeli secara jelas terekam baik dalam cerita tutur masyarakat Desa Ternadi yang terletak di lereng Gunung Muria. Meski keyakinan yang berkembang di masyarakat bahwa laku Tapa Ngeli yang berada di Kaliyetno Desa Ternadi adalah dilakukan oleh Sunan Kalijaga saat masih dikenal dengan nama Bandar Lokajaya dan saat ini masih bisa kita saksikan keberadaan situs Kaliyetno tersebut, Namun tidak bisa dipungkiri pula bahwa masyarakat lereng Gunung Muria juga meyakini bahwa ajaran Tapa Ngeli juga erat kaitannya dengan ajaran mistik yang diamalkan oleh Sunan Muria dan para pengikutnya.
Setidaknya ada tiga pengertian terkait istilah Tapa Ngeli yang diamalkan oleh Sunan Muria maupun Sunan Kalijaga. Pertama, Tapa Ngeli dimaksudkan sebagai bagian dari laku tirakatan yang bersifat jasmani dengan cara menghanyutkan badan atau wadak di aliran sungai. Lelakon ini dapat diartikan sebagai bentu pengasingan diri serta pengosongan batin guna mendapatkan ilham atau pengetahuan sejati. Hal tersebut dimaknai agar pancaran nur ilahiyah dapat masuk ke dalam hati nurani sehingga gerak langkah badan dan jiwa ini selaras dengan kehendak Allah.
Laku ini juga bisa saja ditafsirkan sebagai wujud ekspresi pemaknaan akan usaha penyucian jiwa sebagaimana permisalan dalam hadis Nabi Muhammad atas mereka-mereka yang taat dalam beribadah (salat lima waktu) yang bagaikan seorang yang mandi lima kali sehari di aliran sungai yang mengalir sehingga tidak ada satupun dosa yang melekat di jiwa.
Makna kedua yang dapat kita serap dari laku Tapa Ngeli adalah bahwa laku ini mensiratkan adanya ajaran akan totalitas dalam mengabdi di masyarakat, berbaur serta berakulturasi di dalamnya tanpa harus terseret arus dinamika sosial yang terjadi di dalamnya. Ngeli adalah menghanyutkan diri dan keli adalah terbawa arus dan tidak mampu mengontrol dan menguasi diri. Jelas dua penamaan yang sangat berbeda makna substansinya.
Oleh karenanya, modal utama dalam menjalani pengabdian di masyarakat (ngeli) adalah dengan pengekangan diri (tapa) agar nafsu yang cenderung selalu mengajak pada dimensi negatif dan merusak dapat dikontrol dengan bijak sehingga ikhtiar menata masyarakat untuk menjadi lebih baik dapat terwujud.
Selain itu, ketiga, laku tirakatan ini juga dapat diartikan sebagai laku batin guna melatih jiwa agar mudah menerima segala kehendak Yang Kuasa (nerima ing pandum) dan selalu mawas diri dalam menghadapi ragam perubahan zaman tanpa harus hanyut terseret di dalamnya. Laku ini membimbing manusia untuk menyadari dirinya bahwa ia adalah mahluk yang lemah, mengalir mengikuti irama kehendak Tuhan, lembah manah (rendah hati), dan ora kemaki (tidak sombong).