Sedang Membaca
Mengenal Tradisi Asyura: Sholawat Keliling dan Doa Bersama
Ahmad Zamzama
Penulis Kolom

Mahasiswa program studi Sejarah & Kebudayaan Islam UIN Sunan Kalijaga. Santri Pondok Pesantren Tambakberas. Sekarang bermukim di pondok pesantren Al-Munawwir, Krapyak, Yogyakarta.

Mengenal Tradisi Asyura: Sholawat Keliling dan Doa Bersama

Shalawat Keliling

Di dalam al-Qur’an, ada keterangan bahwa ada empat diantara dua belas bulan hijriyah yang dimuliakan oleh Allah. Keempat bulan itu disebut dengan asyhur al-hurum (bulan-bulan yang dimuliakan). Menurut Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya, salah satu dari 4 bulan tersebut adalah Muharram, bulan pertama dalam penanggalan hijriyah.

Untuk memuliakan Muharram, Allah mengharamkan umat Islam berperang dan melipatgandakan kebaikan juga keburukan di bulan Muharram. Lebih dari itu, karena di bulan ini ada hari Asyura (hari tanggal 10 Muharrom), Allah juga memuliakan 10 hari pertama bulan Muharram.

Di hari Asyura inilah banyak peristiwa-peristiwa besar yang dialami para nabi di zaman dahulu. Menurut Imam Al-Ghazali, seperti yang disampaikan KH M. Jamaluddin Ahmad, kejadian besar di hari itu berjumlah 18 peristiwa.

Menariknya, kejadian-kejadian besar yang dialami nabi-nabi di hari Asyura itu hampir selalu menunjukkan suatu keselamatan, kesejahteraan, atau semacamnya. Ambil contoh: selamatnya Nabi Ibrahim dari panasnya api Raja Namrud, keluarnya Nabi Yunus dari perut ikan, berlabuhnya kapal Nabi Nuh di Bukit Zuhdi dengan selamat, terbebasnya Nabi Yusuf dari penjara setelah terkena fitnah, Nabi Ayyub disembuhkan dari penyakit, Nabi Musa selamat dari kejaran Firaun di Laut Merah, dan lain sebagainya.

Jika ditarik di zaman sekarang, maka tak heran jika hari Asyura dijadikan momentum, khususnya oleh umat Islam Indonesia, untuk memohon keselamatan diri dan lingkungannya. Itulah mengapa orang Indonesia gemar berdoa bersama saat hari Asyura. Bisa jadi tabarrukan dengan selamatnya para Nabi dahulu di hari Asyuar.

Baca juga:  Tradisi Tahlilan: Identitas Islam Lokal

Bahkan di beberapa tempat, kegiatan berdoa bersama tersebut mewujud dalam sebuah tradisi yang telah berlangsung turun-temurun. Contohnya adalah apa yang terjadi di desa saya sendiri, di Sidoarjo, Jawa Timur.

Setiap hari Asyura tiba, kampung saya selalu menyelenggarakan apa yang mereka sebut dengan “Sholawat Keliling Hari Asyura”. Yaitu tradisi berjalan bersama mengelilingi sisi-sisi kampung, seraya memekikkan sholawat, serta mengumandangkan azan dan doa setiap kali berada di sudut kampung, perempatan atau pertigaan jalan. Dengan kata lain, “Sholawat Keliling” adalah sebentuk memagari kampung dengan sholawat. Menurut para tetua, tradisi ini di kampung saya telah berjalan berpuluh-puluh tahun lalu. Dan di tempat lain, saya yakin, banyak juga yang melakukannya.

Meskipun tampak sederhana, namun kegiatan ini sangat digemari masyarakat. Terbukti setiap tahun acara selalu semarak dan banyak yang mengikuti, mulai dari anak-anak sampai orang-orang tua, baik laki-laki maupun perempuan. Masyarakat juga antusias menyediakan konsumsi makanan atau minuman secara suka rela.

Nah, tradisi “Sholawat Keliling Hari Asyura” di kampung saya ini bisa dikatakan merupakan sebuah bentuk permohonan keselamatan, terutama jika melihat apa yang mereka baca dan bagaimana ulama-ulama memberika fadilah mengenai bacaan tersebut.

Pertama, azan. Meskipun pada mulanya azan diciptakan untuk panggilan sholat. Namun, menurut Ibnu Hajar al-Haitami dalam Tuhfat al-Muhtaj, azan juga bisa dilakukan untuk banyak hal di luar sholat, bahkan disunnahkan. Misalnya untuk keselamatan saat terjadi bencana, seperti ketika kebakaran melanda. Selain itu, azan juga dipercaya membuat setan menjauh terbirit-birit.

Baca juga:  Catatan Sufistik: Burung pun Berakal

Bacaan kedua adalah sholawat. Sudah tidak diragukan, sholawat memiliki banyak kandungan dan faedah. Salah satunya adalah pemenuhan keinginan dan harapan. Demikian menurut Sayyid Bakri Syatha ad-Dimyathi dalam Kifayat al-Atqiya’ wa Minhaj al-Ashfiya’. Selain itu, menurut saya, sholawat yang dibaca dalam tradisi di atas berfungsi juga untuk mengitari doa-doa. Sehingga bisa sejalan dengan pernyataan Abu Sulaiman ad-Daroni dalam kitab Ihya’ Ulum ad-Diin, bahwa doa yang terletak diantara sholawat tidak akan tertolak.

Lalu mengapa harus dilakukan sambil berkeliling desa dan berhenti di tempat-tempat tertentu? Saya kira, hal ini merupakan perayaan simbolik belaka. Bahwa dengan sholawat, doa dan azan yang dibaca secara merata ini, diharapkan keselamatan benar-benar menyelimuti seluruh kampung.

Demikianlah “Shalawat Keliling” di desa saya hanya salah satu contoh bentuk permohonan keselamatan di hari Asyuro. Di tempat-tempat lain tentu ada bentuk-bentuk yang berbeda, namun memiliki fungsi yang sama: berdoa untuk keselamatan bersama.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top