Sedang Membaca
Aktualisasi Nilai Moderasi Beragama di Dusun Klobotan, Desa Jajag, Banyuwangi
Akmal Khafifudin
Penulis Kolom

Menempuh pendidikan di UIN KH. Achmad Shiddiq Jember prodi Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah. Kini ia mengajar di Ponpes Darul Amien Gambiran, Banyuwangi. Penulis bisa disapa di akun Instagram @akmalkh_313

Aktualisasi Nilai Moderasi Beragama di Dusun Klobotan, Desa Jajag, Banyuwangi

Kegiatan karnaval Agustusan warga desa Jajag, Gambiran, Banyuwangi.

Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki beragam aneka suku, agama, budaya, dan kultur. Kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia tentunya tak luput dari peran Pancasila sebagai dasar negara yang telah mempererat bangsa kita.

Namun belakangan ini beberapa pihak ingin menggoyahkan rasa persatuan dan kesatuan bangsa kita dengan menggulirkan isu terorisme, radikalisme, ekstrimisme, rasisme, dan sikap intoleran. Melihat geliat ini, Kementrian Agama sejak tahun 2018 pada masa kepemimpinan H. Lukman Hakim Syaifuddin telah mencanangkan konsep moderasi beragama sebagai upaya menjaga rasa persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Hingga pada tahun 2019, trend Moderasi Beragama menjadi bagian dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020 – 2024 yang kemudian hal tersebut diatur dalam Perpres No. 18 tahun 2020.

Konsep Moderasi Beragama ini sejatinya sudah lama diruwat sejak zaman leluhur kita pada masa Majapahit. Isna Roikhatul Janah dan Luthfiyah Ayundasari dalam jurnalnya menuturkan bahwa adanya makam Islam Troloyo merupakan sebuah bukti bahwa Islam yang kala itu menjadi agama minoritas telah mendapat perlindungan kebebasan beragamanya dibawah kekuatan kerajaan besar non – Islam (Majapahit).[1]

Apa yang diterapkan oleh nenek moyang kita hendaknya dilestarikan demi mewujudkan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”. Sebagai bentuk aktualisasi dari 9 nilai Moderasi Beragama, yakni tengah – tengah (tawasuth), tegak – lurus (i’tidal), toleransi (tasamuh), musyawarah (syura), reformasi (islah), kepeloporan (qudwah), cinta tanah air (muwathanah), anti kekerasan (laa unf), dan ramah budaya (i’tibar al – ‘urf).

Salah satu daerah percontohan yang telah menerapkan praktik Moderasi Beragama adalah Dusun Klobotan yang terletak di Desa Jajag, Kecamatan Gambiran, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Dusun paling barat Desa Jajag yang berbatasan dengan Desa Trembelang, Kecamatan Cluring ini, tidak hanya dihuni oleh komunitas Islam saja.

Baca juga:  Menyebar Pesan Damai Melalui Media Digital

Namun juga dihuni oleh kalangan dari komunitas Kristen Protestan dan komunitas Baha’i. Sebagaimana yang dituturkan oleh ibu Pristiyaningsih, bahwa di dusunnya dihuni kira-kira sekitar 30 KK yang terdiri dari 6 KK beragama Katolik dan Protestan, 13 KK beragama Baha’i, dan 11 KK beragama Islam.

Sebagai salah satu responden yang kami temui, beliau menuturkan bahwa budaya toleransi beragama ini sudah berlangsung lama semenjak masa kecilnya. “Kami sebagai orang Muslim biasanya tidak langsung silaturrahmi kepada tetangga kami yang Non Muslim pas tanggal 25 Desember mas, karena pada tanggal itu biasanya di rumah mereka menggelar misa kebaktian pribadi dengan keluarganya. Jadi kita bertamu kepada mereka pas malam tahun baru”, ujar Bu Pristiyaningsih atau kerap disapa Bu Pris.[2]

Kegiatan serupa juga dilakukan oleh Ibu Theresia, seorang penganut Protestan dan pensiunan guru ASN yang kini berprofesi sebagai tutor bimbel Stella Duce serta merupakan warga Dusun Klobotan. “Kepada tetangga kami yang Islam, kami juga tidak datang pas hari raya kesatu mas, melainkan di hari setelahnya. Ya niat kami sebagai tetangga yang non Islam hanya cuma menjalin keharmonisan dan kerukunan sebagai sesama warga negara Indonesia, itu saja”.[3]

Agaknya contoh harmonisasi antar agama tersebut selaras dengan salah satu pilar penjabaran moderasi beragama, yakni moderasi perbuatan. Dengan definisi moderasi yang dimaksud adalah penguatan relasi antara agama dengan tradisi dan kebudayaan masyarakat setempat dan kehadirannya saling terbuka guna membangun dialog serta menghasilkan kebudayaan baru.[4]

Baca juga:  Islam dan Sains: Tantangan Satu Abad TBS Kudus

Ibu Sunarsih, yang berprofesi sebagai pedagang dan penganut agama Baha’i di Dusun Klobotan, acap kali mendapat diskriminasi di bagian pencatatan sipil ia menyatakan demikian,

Walaupun kami sebagai agama minoritas yang sering kali mendapat diskriminasi di administrasi kependudukan, akan tetapi kami terbuka kepada siapa saja yang ingin mengetahui agama kami lebih dalam dan tidak menutup diri. Terkadang beberapa tetangga Islam kami juga hadir pas perayaan hari raya kami.[5]

Dari studi kasus yang penulis temukan, hal tersebut tentunya menjadi PR bagi Kementerian Agama lebih lanjut guna mewujudkan butir Penguatan Harmoni ProPN (Program Prioritas Nasional) berupa, perlindungan umat beragama untuk menjamin hak-hak sipil dan beragama.[6]

Melalui Program Penguatan Harmoni dan RPJMN 2020-2024 ini, diharapkan semua warga negara Indonesia baik yang beragama Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, Konghucu, Baha’i, dan penganut aliran kepercayaan lain dapat menjalankan keyakinannya masing -masing dengan berlandaskan sila pertama Pancasila, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa.

Bukankah tiap-tiap tokoh penyebar agama selalu membawa misi kasih sayang terhadap sesama dalam pengajarannya?

Nabi Muhammad dalam Hadits Riwayat Muslim No. 2599 menyampaikan, “Sesungguhnya aku tidaklah diutus untuk melaknat, namun aku diutus untuk menyebarkan kasih sayang”.

Yesus pun juga berpesan dalam Injil 1 Yohanes 7 : 11 yang berbunyi, “Marilah kita saling mengasihi, sebab kasih itu berasal dari Allah dan setiap orang yang mengasihi lahir dari Allah dan mengenal Allah. Barangsiapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah Kasih”.

Baca juga:  Masjid Suciati Saliman: Dibangun karena Rindu dengan Masjid Nabawi dan Filosofi Urip iku Urup

Begitupun Baha’ullah juga memberikan pesan demikian, “Engkau adalah buah-buah dari satu pohon dan daun – daun dari satu dahan. Bergaulah engkau satu sama lain dengan penuh cinta dan keselarasan, dengan persahabatan dan persaudaraan. Sedemikian kuat cahaya persatuan itu, sehingga dapat menerangi seluruh dunia”.[7]

Melalui aktualisasi Moderasi Beragama yang telah mengakar di Dusun Klobotan, Desa Jajag, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur tersebut. Hendaknya kita mengambil pelajaran bahwa perbedaan agama bukanlah sebuah halangan untuk merajut persatuan dan kesatuan sebagai sesama warga negara Indonesia yang patut kita contoh.

Artikel ini terbit atas kerjasama dengan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) Kemenag dan LTN PBNU.

 

Sumber Bacaan dan Wawancara:

[1] Isna Roikhatul Janah & Luthfiyah Ayundasari, “Islam Dalam Hegemoni Majapahit : Interaksi Majapahit Dengan Islam abad ke – 13 sampai 15 Masehi”, Jurnal Integrasi dan Harmoni Inovatif Ilmu – Ilmu Sosial Vol. 1, No. 6 tahun 2021, hal. 733 – 734.

[2] Bu Pristiyaningsih, Wawancara, 16 September 2024.

[3] Bu Theresia, Wawancara, 15 September 2024

[4] Kementerian Agama Republik Indonesia, “Moderasi Beragama”, (Jakarta : Balitdik Kemenag RI, 2019), hal. 28.

[5] Bu Sunarsih, Wawancara, 15 September 2024

[6] Kementerian Agama Republik Indonesia, “Moderasi Beragama”,(Jakarta : Balitdik Kemenag RI, 2019), hal. 136.

[7] Majelis Rohani Nasional Baha’i Indonesia, “Agama Baha’i”, (Februari : 2013), hal. 25.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
3
Ingin Tahu
3
Senang
1
Terhibur
1
Terinspirasi
1
Terkejut
1
Scroll To Top