Sedang Membaca
Pesantren dan Pemberdayaan Ekonomi (5): Memberdayakan Santri Lewat Sampah
Habibussalam
Penulis Kolom

Ketua Badan Ekonomi Pesantren Al Anwar 3 Sarang Rembang dan Dewan Pengurus Himpunan Ekonomi dan Bisnis Pesantren/HEBITREN Wilayah Jawa Tengah.

Pesantren dan Pemberdayaan Ekonomi (5): Memberdayakan Santri Lewat Sampah

Pesantren dan Pemberdayaan Ekonomi: Memberdayakan Santri Lewat Sampah (5)

Dengan datangnya bencana banjir di berbagai wilayah di Indonesia, selain faktor perusakan lingkungan, masalah sampah juga kembali menjadi sorotan publik. Sebagai salah satu penghasil sampah terbesar di dunia, Indonesia sampai saat ini justru tidak memiliki sistem manajemen sampah yang efektif. Bahkan berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Indonesia tiap tahunnya menghasilkan 3,22 juta ton sampah plastik yang tak dikelola dengan baik.

Hal itu mengakibatkan sekitar 0,48-1,29 juta ton dari sampah plastik tersebut akhirnya mencemari lautan. Padahal jika dibandingkan dengan India yang jauh lebih banyak populasinya, tingkat pencemaran disana jauh lebih rendah, yakni sekitar 0,09-0,24 juta ton/tahun. Dari sini terlihat bahwa Indonesia belum mampu mengelola sampah dengan optimal.

Bahkan dalam beberapa tahun terakhir, ditengarai pencemaran plastik di Indonesia akan terus meningkat karena banyak industri minuman menggunakan plastik sekali pakai sebagai packaging. Unggul dari segi kepraktisan dan kemudahan produk-produknya ditemui di berbagai gerai ritel, baik modern maupun tradisional membuat pertumbuhan industri ini sangat pesat, meski di saat yang sama juga menjadi sumber penghasil sampah plastik. Tapi, bila hal ini tidak diimbangi dengan kebijakan daur ulang sampah yang efektif, kualitas lingkungan hidup kita akan terancam akibat polusi sampah yang meningkat. Apalagi dengan posisi Indonesia sebagai salah satu pusat dari ekosistem laut dunia. Dampak jangka panjangnya kemudian akan menggangu kelangsungan hidup berbagai spesies laut, karang, hingga hutan bakau.

Baca juga:  Juri Agama dan Agama Juri

Melihat fakta tersebut, kalangan pesantren tak tinggal diam. Beberapa pesantren bahkan meluncurkan berbagai program untuk turut membantu mengatasi masalah sampah yang kian masif, di antaranya yaitu Pondok Pesantren Annuqayah Daerah Sabajarin (Al-Furqon) yang menerapkan regulasi ketat terkait sampah plastik. Di sana, penghuni pondok dilarang pakai kemasan makanan atau minuman. Bahkan, jika tetap menggunakan, mereka harus menyimpannya dulu sebelum dibawa pulang.

Tak hanya kalangan santri yang menjalankan diet plastik, Kiai M. Faizi sebagai pengasuh pondok juga meneladankan hal sama. Dalam berbagai acara kumpulan, ia sering menitipkan pesan pada tuan rumah untuk tidak menyuguhkan minuman kemasan supaya tak aburombu (membuat sampah). Di samping juga menyarankan agar hidangannya juga memanfaatkan bahan-bahan lokal, seperti buah dan umbi-umbian. Sehingga, tak hanya mengurangi sampah plastik saja, tapi dapat membantu pemberdayaan hasil tani warga lokal.

Selain Annuqayah, aktivitas go green juga dijalankan dengan sistematis di Pondok Pesantren Al Ihya Ulumaddin, Desa Kesugihan, Kecamatan Kesugihan, Kabupaten Cilacap. Dengan bantuan Bank Indonesia (BI) Purwokerto, mereka membangun bank sampah nusantara yang tiap harinya mendaur ulang berbagai jenis sampah, dari gelas, botol plastik kemasan, hingga kardus kertas. Prosesnya sangat lah sederhana.

Sebelum masuk mesin pencacah, semua sampah dibersihkan terlebih dahulu. Setelah terurai, sampah-sampah dari mesin pencacah kemudian dicuci kembali dan dijemur. Usai kering, kemudian dikemas dan dijual. Bahkan harga jual sampah bentuk cacah ini jauh lebih mahal di tangan pengecer, bisa sampai 12 ribu rupiah per kilonya. Waktu bulan pertama beroperasi, mereka mampu menghasilkan 200 kilo sampah cacah atau seharga 2,4 juta rupiah.

Baca juga:  COVID-19 dan Keniscayaan Menuntut Ilmu ke Cina

Dengan jumlah santri yang mencapai ribuan orang, pengelolaan sampah awalnya sangat sulit. Namun dengan pengenalan daur ulang, kini semua santri jauh lebih peduli dalam memilah sampah karena mereka menganggap bahwa sampah bukan lagi produk sisa, tapi menjadi asset yang berharga. Lebih lanjut, para santri pun tergerak untuk menerapkan konsep bank sampah. Teknisnya, nasabah dari tiap komplek (jenjang kelas di ponpes -red) menabung sampah sesuai jenisnya. Nanti, sampah yang dihasilkan perlu disimpan dulu atau ditabung, sebelum diuangkan.

Di akhir tahun, hasil tabungan itu bisa diambil untuk memenuhi kebutuhan masing-masing komplek. Pondok yang memiliki 1.000-1.300 santri tersebut mengestimasi bahwa omset pesantren dari pemberdayaan sampah terus meningkat, bahkan bisa mencapai 6 sampai 7 digit (jutaan rupiah). Ke depannya, pihak pondok berharap dapat mengembangkan bank sampah ini dalam skala besar, sehingga tidak hanya mampu menampung sampah santri, tapi juga mengelola sampah warga dengan menggandeng kerja sama dengan pemerintah daerah setempat.

Tak hanya Al Ihya yang menghadapi isu sampah, di Kepung, Kediri, Jawa Timur, Pesantren Darussalam 2 Putri, sampah juga menjadi musuh bersama. Tiap hari mereka harus berjibaku membakar satu drum besar sampah. Tapi, penerapan metode ini justru tidak efektif, yang terjadi adalah asap pembakaran seringkali menimbulkan masalah baru: asapnya menimbulkan bau tak sedap dan berdampak pada tingkat kesehatan santri.

Baca juga:  Parokialisme Keagamaan, Fragmentasi Umat, dan Tanggung Jawab Kita

Kondisi itu kemudian mendorong salah satu pengajar yakni Moh Nasirul Haq, dan 3 santri di sana untuk berinovasi. Usai mengutak-atik dan mengalami 3 kali kegagalan, akhirnya mereka bisa menciptakan alat pembakar sampah tanpa asap yang tingkat keberhasilannya mencapai 95%. Perangkat yang dinamai Incenerator Go green Ds 2 ini selain mampu mengolah sampah anorganik dengan dibakar, juga mendorong para santri untuk mengelola berbagai jenis sampah lainnya. Bahkan mereka juga telah dapat mengatasi sampah organik limbah dapur dan kantin pesantren dengan memblender atau mencacahnya untuk kemudian dijadikan vitamin makanan tambahan ikan lele yang dipelihara di pesantren.

Berbagai potret pengelolaan sampah oleh pesantren tadi semakin membuktikan bahwa pesantren bisa menjadi garda terdepan pahlawan lingkungan, pertanyaannya: kalau pesantren sudah mencontohkan, kapan kita mau meniru dan menerapkan?

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top