Sedang Membaca
Rendra, Dakwah, dan Fenomena Boom Dai

Muhammad Fahruddin Al-Mustofa. Bergiat di Simocoyo Space. Bisa disapa di Instagram @fahruddinalmustofa atau di X @notaalit.

Rendra, Dakwah, dan Fenomena Boom Dai

Neno Warisman dari sisi atas kiri, Qomar, K.H Zainuddin M.Z dan Rendra.

Saat merapikan majalah-majalah lawasan yang berserakan, saya tertarik dengan salah satu edisi yang terbit dengan sampul hijau mencolok. Ada empat potret gambar. Keempat orang itu adalah Neno Warisman dari sisi atas kiri, Qomar, K.H Zainuddin M.Z dan Rendra. Tempo memberi judul cukup membuat penasaran, “Boom Dai: Dari Rendra Sampai Qomar.” Lantas, pertanyaan muncul kenapa Rendra diseret-kaitkan dengan dai dan dakwah?

Ada sebuah kecenderungan umat Islam yang menjamur di era 80-an akhir hingga era 90-an perihal dakwah. Fenomena boom dai dengan latar belakang yang bisa dibilang jauh dari tradisi keislaman mendapat atensi besar dari masyarakat perkotaan. Kebanyakan dari dai-dai baru ini sudah memiliki popularitas berikut jamaahnya. Sehingga, kemunculannya menjadi angin segar bagi umat islam yang jengah dengan atmosfer dakwah Islam yang kaku dan galak.

Dari empat sosok yang ditampilkan, saya paling antusias dengan Rendra. Bagaimana seorang penyair, dramawan yang dijuluki “Si Burung Merak” ini bisa terseret dalam percaturan dakwah nasional. Bahkan disejajarkan dengan Dai Seribu Umat. Ini adalah sesuatu yang baru saya ketahui. Sehingga perlu untuk mengulik secara intens.

Pementasan Kasidah Barzanji

Setelah baca-baca, ternyata momen titik balik Rendra sehingga memantapkan jiwa-raganya untuk memilih Islam sebagai agama yang menjadi jalan hidupnya adalah setelah pementasan Kasidah Barzanji. Itu terjadi pada tahun 1970. Dalam sebuah wawacara dengan wartawan Tempo Rendra menjelaskan betapa misteriusnya cara dia masuk Islam.

Sukar diterangkan. Terus terang, sebetulnja tidak bisa diterangkan. Saja sendiri djuga tidak tahu, tidak tahu menerangkannja dengan kata-kata. Ini masalah panggilan. Ini misteri bagi saja. Saja pernah tertarik pada Islam setjara estetik, pernah setjara intelektuil. Namun tiba-tiba sadja disaat saja tidak tertarik untuk berdebat tentang Islam dan tidak tertarik untuk menganalisa tentang apa Islam dari segi manapun djuga, tiba-tiba ada satu dorongan kuat untuk mendjadi Islam. Diwaktu saja menikah dan mengutjapkan sjahadat, tiba-tiba saja merasa terbebas.

Kasidah Barjanji merupakan sebuah kitab madah, pujian dan biografi nabi Muhammad Saw yang dikarang oleh Sayyid Jakfar bin Hasan bin Abdul Karim Al-Barzanji yang wafat pada tahun 1763 M. Keterpengaruhan Rendra terhadap Barzanji secara khusus disebabkan oleh Syu’ba Asa, seorang anggota Bengkel Teater jebolan IAIN Sunan Kalijaga. Naskah ini kemudian diterjemahkan oleh Syu’ba Asa dan ditampilkan di berbagai wilayah di antaranya Aceh, Jawa Timur dan Jawa Barat.

Baca juga:  Sepotong Puisi Faruq Juwaidah atas Konflik Palestina-Israel

Dakwah Rendra

Ciri khas dari dakwah yang dilakukan oleh dai-dai baru dari kalangan non santri terpusat pada tiga hal: pertama, kekuatan public speaking yang matang dan penguasaan panggung. Bagi Rendra yang seorang penyair dan dramawan, tentu kemampuan menyihir penonton dengan kata-kata merupakan makanan sehari-hari. Terbukti dengan suksesnya Rendra sebagai penyair yang berani narik ongkos dan tarif untuk setiap pementasan lakon drama dan pembacaan sajak-sajak miliknya.

Kedua, sadar diri dengan tidak membahas urusan hukum fikih, permasalahan akidah yang njelimet, dan menghindarkan diri dari pembahasan masalah khilafiyah yang menjadi titik tengkar umat Islam. Dengan bekal keinsafan akan ketidakpantasan diri inilah membuat orang tertarik dengan wajah beragama yang polos, tidak hipokrit dan apa adanya.

Ketiga, unsur popularitas. Para dai pendatang pada umumnya sudah terkenal sebagai publik figur. Baik itu artis, politisi, hingga pelawak. Kita ambil contoh Neno Warisman. Seorang artis, penyanyi solois dan bintang sinetron dan film. Wajahnya sering nongol di tivi. Sehingga tak heran ketika ia memutuskan banting setir menjadi dai, banyak sudah pendengarnya. Begitu juga dengan Qomar dan Kang Ibing atau Si Kabayan yang resminya bernama Aang Kusmayatna. Keduanya merupakan pelawak kondang yang seringkali menghibur penonton dengan aksi-aksi lucu dan lawakan yang mengocok perut. Dunia lawak dan dakwah melaju beringan.

Baca juga:  Ulama Banjar (12): KH. Abdul Qadir Hasan

Banyak yang sangsi, agama kok dibuat lawakan. Tapi toh masyarakat kita memang lebih suka hiburan daripada yang berbau intelektual ndakik-ndakik. Dari politisi seperti Amir Murtono, ketua DPP Partai Golkar yang juga membidani lahirnya Majelis Dakwah Islamiyah juga turut bertungkus-lumus dalam dakwah. Berawal ketika ia dituduh kafir oleh lawan politiknya dan berakhir sakit hati. Lantas ia memutuskan untuk mempelajari agama Islam lebih dalam. “Berangkat dari rasa membalas lawan politiknya, berujung pada menemukan rasa tenang dan damai, sakinatul qolbi,” tuturnya. Lengkapnya bisa dibaca dalam Laporan Utama Tempo dengan judul “Orang-orang di Jalan Islam.”

Dari ketiga ciri khas dai fomo di atas, kesemuanya terdapat dalam diri Rendra. Tak ayal, sosok Rendra ketika pertama kali melangsungkan panggung dakwahnya mendapat sambutan meriah dari masyarakat, khusus jamaah teaternya. Pada awal April 1992, Rendra naik podium dengan mengunakan kemeja teluk belanga berwarna kuning gading. Tak lupa ia memakai kopyah dan bersyal merah. Ia berceramah kurang-lebih 30 menit di Hotel Tiara bintang lima di Medan. Lebih uniknya lagi, ceramah di hotel mewah itu, para hadirin rela merogoh kocek sebesar Rp. 25.000 untuk menyaksikan materi dakwah Rendra yang berkisah perihal perjalanannya saat melaksanakan ibadah haji dan sedikit tema peralihan dirinya memeluk agama Islam.

Menurut penuturan pemirsa yang hadir, mereka puas dengan penampilan dan performa dakwah Rendra yang cenderung santai, tidak menggurui dan diselingi guyon yang membuat suasana menjadi cair. Jamak diketahui, bahwa kemunculan dai-dai baru pada masa itu begitu memukau mengeskpresikan persentuhan batin mereka dengan Islam. Inilah kunci keberhasilan dakwah mereka, walau tidak memiliki latar belakang agama, mereka mampu menyajikan Islam dengan wajah penuh perenungan, tapi tetap tidak ketinggalan zaman. Serta disampaikan dengan riang gembira.

Baca juga:  Cara Pandang Amin Abdullah dalam Menyelesaikan Intoleransi, Kemiskinan, dan Kebodohan

Tentu munculnya fenomena boom dai ini tidak lepas dari pro-kontra. Di antara yang berkomentar positif adalah sejarahwan Taufik Abdullah, ia menyebut bahwa kemajemukan menghantarkan masyarakat pada kehilangan identitas. Sehingga sebuah keniscayaan berupa panggilan berkomunitas. “Masuk akal saja ada orang concern pada Islam, meskipun agamanya kurang, mereka memainkan perannya,” tukas Taufik Abdullah. Dalam sejarah, kaum pedagang dan musafir mengenalkan satu ayat, kemudian disempurnakan oleh para ulama dan wali sebagai bentuk daripada santrinisasi yang berkelanjutan. Secara tidak langsung, menuntut adanya kaderisasi mubaligh dan pembekalan para dai oleh para ulama yang memiliki kapabilitas dan kredibilitas yang sahih di bidang agama.

Kritik keras muncul daripada Abdul Munir Mulkhan, dosen IAIN Sunan Kalijogo, “fenomena dai kagetan ini tidak akan bertahan lama. Mereka akan surut dengan sendirinya ketika masyarakat mulai bosan. Nasibnya mirip seperti musik pop yang hidup ngetop beberapa saat, lalu hilang tanpa kesan.” Jalaluddin Rahmat menyebut dai kagetan ini dengan sebutan dai karbitan. Ia juga menyesalkan kemorosotan standar intelektualitas para dai yang kian merosot. Dibuktikan dengan maraknya orang yang baru belajar agama seminggu-dua minggu, ikut pelatihan, dan hafal satu-dua ayat atau hadist nabi, sudah berani berdakwah bawa-bawa agama.

Akhiran, dari Rendra kita bisa mengetahui fenomena munculnya dai-dai baru merupakan gerak zaman. Bila kita analogikan dengan fenomena maraknya dai di zaman sekarang dengan berbagai macam instrumen dakwah tentu kita akan sadar bahwa itu merupakan hal yang tak bisa dihindari. Yang bisa kita lakukan adalah melakukan koreksi dan bersikap kritis atas materi yang disampaikan para pendakwah yang sudah melewati batas-batas aturan syari’at dan keluar dari jalur akhlaq. Inilah tugas generasi muslim mendatang yang saya pikir cukup berat.

Sidoarjo, 30 Desember 2024

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top