Sudah dijelaskan, bahwa nama Tuan guru di tanah Banjar memiliki posisi terhormat di tanah Banjar. Mayoritas masyarakat Banjar menaruh hormat pada sosok yang mereka anggap sebagai panutan sekaligus guru dalam pengajaran agama.
Apakah sebutan tuan guru hanya digunakan oleh masyarakat Banjar? Entahlah. Jujur, saya tidak mengetahui apakah penggunaan tuan guru tersebut khas dari masyarakat Banjar. Namun, diksi tersebut cukup dominan penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Banjar untuk menyebut kaum intelektual atau otoritas keagamaan.
Biasanya, sebutan tuan guru atau hanya memakai guru juga dilekatkan pada nama pendek atau panggilan sehari-hari sang otoritas keagamaan. Selain itu, juga biasa ditautkan pada nama wilayah di mana sang intelektual mengajar atau melakukan pengajian.
Misalnya, KH. Muhammad Zaini bin Abdul Ghani lebih populer di masyarakat Banjar dengan panggilan Guru Sekumpul, karena pengajian beliau dilakukan di kampung bernama Sekumpul, atau Guru Ijai, memakai nama panggilan sehari-hari dan dipadukan dengan diksi guru.
Adapun istilah lain, seperti Kyai, Ulama atau Ustaz, sedikit sekali yang memakainya dalam kehidupan sehari-hari. Biasanya, istilah-istilah tersebut hanya dipakai pada forum formal atau penulisan saja. Masyarakat Banjar jarang sekali menggunakannya dalam perbincangan sehari-hari. Adapun, ustaz biasanya dipakai masyarakat Banjar untuk menyebut pengajar di pesantren atau majelis taklim.
Di sisi lain, Hiroko Horikoshi membedakan antara istilah kiai dan ulama. Dia melihat perbedaan kiai dan ulama terletak pada karisma. Horikoshi melihat Kiai memiliki karisma yang lebih luas, ketimbang ulama.
Menurutnya, ulama lebih banyak berperan dalam sistem dan struktur sosial desa, dan status mereka disahkan oleh faktor keturunan. Di pihak lain, kiai dianggap sebagai simbol pemersatu dalam masyarakat, karena kepemimpinan moral dan spiritual mereka tidak terikat dengan struktur normatif sebuah desa.
Pendapat Horikoshi di atas saya ambil dari tulisan Yanwar Pribadi dalam buku Islam, State and Society in Indonesia: Local Politics in Madura. Yanwar memang tidak memakai dikotomi Hirokoshi.
Sebab, dalam penelitian Yanwar di Madura, dia menjelaskan istilah kiai memiliki arti dalam hal kepemimpinan. Selain itu, dia juga melihat istilah ulama merujuk pada orang-orang yang belajar Islam dan para pemimpin agama Islam pada umumnya.
Kembali ke tanah Banjar, istilah tuan guru lebih populer di masyarakat. Bahkan, ada sebagian tuan guru juga menyapa diri dengan diksi abah (ayah). Walau tidak jelas siapa yang memulai, diksi tersebut digunakan untuk menyebut diri mereka sendiri, atau para jemaah pengajian sendiri yang menjuluki abah guru pada orang yang mengajari ilmu agama pada mereka.
Hal tersebut berkorelasi dengan model ikatan kehidupan yang khas di masyarakat Banjar, yakni bubuhan. Perlu diketahui, diksi tersebut merujuk pada model orang Banjar yang hidup dalam lingkungan keluarga yang luas.
Belakangan, istilah tersebut semakin berkembang kehidupan orang Banjar dalam lingkungan pemukiman tertentu, hingga ikatan tersebut menjadi kekerabatan asal wilayah atau tempat asal. Namun, dalam kasus tuan guru ini, bubuhan bermakna ikatan jemaah dari kelompok pengajian atau tempat belajar.
Uniknya, model ikatan ini cukup bertahan dan populer hingga sekarang. Jadi, tuan guru tidak saja menjadi otoritas keagamaan namun juga sebagai simbol pengikat bubuhan di masyarakat Banjar. Jadi, mereka memiliki posisi vital di masyarakat Banjar.
Jika sebelumnya, relasi bubuhan jemaah dari kelompok pengajian atau tempat belajar agama dulu dibangun lewat kehadiran otoritas, yang kemudian berkorelasi dengan masjid atau langgar di satu wilayah tertentu. Namun sejak kejadian pergumulan Kaum Tua-Kaum Muda di tanah Banjar, masjid dan langgar bisa didirikan lagi hanya karena perbedaan paham keagamaan.
Otoritas keagamaan seperti tuan guru atau kelompok yang memiliki ideologi tertentu bisa dengan mudah mendirikan masjid atau langgar baru. Seseorang bisa menjadi tuan guru bisa dipengaruhi oleh banyak hal, diantaranya pendidikan.
Selain pesantren di wilayah Kalsel dan tanah Jawa, beberapa nama wilayah seperti Kairo, Tarim, Mekah dan Madinah adalah di antara destinasi yang populer di kalangan penuntut ilmu asal Banjar. Pesona kota Tarim dan Hadhramaut, Yaman mulai bersaing dengan kota-kota lain yang terlebih dahulu tenar, seperti Mekah, Madinah dan Kairo.
Beberapa kota tersebut memang sebelumnya menjadi tujuan favorit masyarakat Banjar mengirimkan anak-anaknya sekolah. Munculnya Tarim atau Hadhramaut diperkirakan sejak meningkatnya popularitas para Habib di tanah Banjar.
Magnet Habib di tanah Banjar sangat kuat. Buktinya, setiap memasuki bulan penting di kalender Islam, seperti bulan Rabiul Awal (Maulid) atau Rajab (Isra Mi’raj), beberapa langgar atau masjid di Kalimantan Selatan mengundang Habib sebagai penceramah di acara tersebut. Entah berasal dari wilayah Kalsel sendiri atau Jawa, bahkan ada yang mendatangkan Habib dari Yaman langsung.
Posisi para Habib bisa dikatakan menjadi otoritas lain di luar para tuan guru. Mereka biasanya sangat dihormati di masyarakat Banjar, setelah para tuan guru. Bahkan tuan guru biasanya juga menaruh penghormatan yang tinggi dengan para Habib. Pembahasan tema Habib akan dibahas di esai berikutnya.
Kembali ke soal animo keberagamaan masyarakat Banjar yang dikenal tinggi, kemajuan moda transportasi dan teknologi media (akan dibahas di esai berikutnya) juga turut mempermudah urang Banjar dalam menggali pengetahuan agama. Kehadiran kapal motor, mobil dan sepeda motor juga turut mewarnai dinamika otoritas keagamaan dan relasi bubuhan sesama jemaah, atau interaksi masyarakat muslim Banjar dengan kelompok pengajian.
Orang semakin mudah mendatangi dan belajar di sebuah pengajian atau pesantren yang diinginkan, dengan andil beragamnya moda trasportasi. Misalnya, seorang mahasiswa asal dari wilayah Hulu Sungai Utara pernah menceritakan penjelajahannya ilmu agama di Banjarmasin.
Dengan berbekal sebuah motor roda dua miliknya, dia selalu meluangkan waktu selepas Maghrib untuk mendatangi majelis-majelis taklim yang ada sekitar kota Banjarmasin. Dia hampir tidak pernah melepaskan satu kesempatan sekalipun menghadiri pengajian selama empat tahun di Banjarmasin. Padahal, hampir setiap hari selalu saja ada jadwal pengajian yang harus dia datangi. Jadi, seseorang tidak lagi terpaku pada satu sosok tuan guru atau otoritas agama tertentu.
Kasus mahasiswa tersebut bukan pemandangan yang sulit dicari di tanah Banjar. Hampir setiap pengajian yang diisi oleh tuan guru, terutama majelis taklim guru-guru yang sudah memiliki nama besar. Bisa dibilang hampir seluruh kabupaten/kota di Kalimantan Selatan memiliki pengajian yang disesaki jemaah dengan jumlah yang besar.
Bahkan, untuk memenuhi animo besar masyarakat Banjar untuk belajar agama, ada beberapa tuan guru yang harus memiliki pengajian di beberapa tempat atau kota. Biasanya, sebagian tuan guru tersebut difasilitasi oleh beberapa orang kaya untuk membuka pengajian di tempat mereka, seperti perumahan milik mereka atau rumah mereka sendiri.
Animo besar belajar agama di masyarakat Banjar yang cukup merata. Tdak hanya terjadi di kalangan tradisionalis atau ASWAJA (ahlussunnah wal jamaah) saja, namun di kalangan Muhammadiyah, Salafi dan Tahriri pun cukup intens mengadakan pengajian rutin di masing-masing kelompoknya.
Menariknya, diksi tuan guru atau guru yang lebih populer di kalangan tradisionalis tidak begitu populer dibanding istilah lainnya, seperti ustaz dan ulama, lebih masyhur di kelompok lain. Arkian, setiap kelompok atau bubuhan memiliki otoritas agama masing-masing. Biasanya juga memiliki penyebutan atau panggilan yang populer di kelompok tersebut.