Lahan pertanian yang produktif penting untuk dipertahankan. Hal itulah yang memengaruhi perobahan sikap Rasulullah saw tentang hukum mukhabarah. Di awal-awal masa hijrah beliau sempat melarangnya akan tetapi setelah umat Islam memperoleh lahan produktif di daera Khaibar, beliau membolehkannya.
Mukhabarah adalah akad kerjasama atau sewa menyewa lahan pertanian antara pemilik lahan dengan penggarap. Pemilik tanah cukup menyediakan lahan sedangkan penggarap menyediakan bibit, pupuk, dan peralatan pertanian yang dibutuhkan. Hasil pertanian kemudian dibagikan kepada masing-masing sesuai kesepakatan.
Rasulullah saw sempat melarang praktek mukhabarah karena asumsi merugikan pihak penggarap dan menguntungkan pemilik lahan. Beliau sebelumnya menganggap sama antara lahan produktif dengan lahan kritis. Beliau kurang memahami nilai produktivitas lahan pertanian, seperti halnya beliau kurang paham cara bercocok tanam dan mengawinkan pohon kurma.
Ini suatu yang lumrah di balik pribadi Nabi Muhammad saw sebagaimana beliau akui ketika cara cocok tanam kurma beliau tak menghasilkan buah:”Kalian lebih paham urusan dunia kalian”. Budi daya tanaman kurma adalah melalui cara kawin silang, namun tidak beliau lakukan. Baru setelah bertukar pengalaman dengan petani kurma di Khaibar, beliau paham dan dapat menghasilkan jenis kurma Azwa.
Lahan produktif di Khaibar membawa pengaruh besar Rasulullah di dalam memahami seluk beluk dunia pertanian. Selain pengetahuan cara Budi daya kurma, tanah Khaibar menjadikan beliau paham arti penting lahan produktif yang harus dibedakan dengan lahan kritis. Oleh sebab itu beliau meralat hukum mukhabarah. Beliau bahkan mengijinkan lahan produktif milik pribadi beliau di Khaibar dikelola secara mukhabarah oleh orang Yahudi.
Mukhabarah dulunya dilarang karena menggarap lahan kritis dengan benih dari penggarap dapat merugikan penggarap. Sekarang mukhabarah boleh, karena nilai manfaat lahan produktif dianggap menjadi modal pemilik lahan sehingga ia tak perlu menyediakan bibit. Penggarap lah yang menyediakan bibit sebagai modal kerjasamanya.
Secara umum, dalam pandangan ulama praktek mukhabarah dibolehkan sama halnya muzaraah dan musaqah. Muzaraah adalah akad kerjasama antara pemilik lahan dengan penggarap untuk menanam, merawat, hingga memanen hasilnya, dengan benih, pupuk, peralatan yang bersumber dari pemilik tanah. Hasil kerjasama pertanian itu dibagi dua antara pemilik dengan penggarap.
Adapun musaqah adalah bentuk kesepakatan antara pemilik lahan dengan pihak lain agar tanaman di perkebunan atau persawahan diairi/disirami hingga berbuah. Hasil pertanian itu kemudian dibagi dua untuk masing-masing pihak.
Mukhabarah, muzara’ah, dan musaqah merupakan kebiasaan petani di tengah keterbatasan modal, akses, dan pengetahuan untuk mengelola lahan produktif. Di kalangan masyarakat Nusantara, dan Jawa khususnya, biasa disebut “paroan”. Yaitu modal separuh dari pemilik lahan berupa tanah, dan modal separuh dari penggarap berupa bibit dan peralatan. Adapun hasil panennya dibagi sepertiga (mertelon) untuk masing-masing pihak sesuai kepekatan dan kebiasaan adat.
Tujuan kerjasama ini agar lahan pertanian tetap terpelihara dan terjaga, akan tetapi pengolahan dan pemanfaatannya terus mengalir, baik untuk pemilik lahan maupun penggarapnya. Bukan sebaliknya, lahan produktif pertanian direnggut dari pemilik asalnya, karena ada penggarap dan investor yang bermodal besar dan berbuat semaunya.
Oleh sebab itu praktek Ijon –sebagai model investasi pertanian tradisional– sekalipun dipraktekkan masyarakat akan tetapi dianggap negatif oleh mereka sendiri. Ijon biasa dilakukan di tengah keterpaksaan pemilik lahan akibat kekurangan modal. Tradisi Ijon sangat tidak menguntungkan pemilik lahan sebab jenis tanaman ditentukan investor. Ijon juga sering menyebabkan peralihan hak milik tanah karena pemilik lahan tidak dapat memenuhi kehendak investor.
Ijon sangat bertolak belakang dengan tradisi poroan. Dalam usaha kerjasama yang disebutkan terakhir ini pemilik lahan dapat melakukan upaya kontra-inklusi sebab mereka boleh menentukan jenis tanaman apa yang ditanam pihak penggarap. Mereka umumnya memilih bercocok tanam bahan pakan dan sayuran sebagai konsumsi pokok masyarakat. Sama halnya yang dianjurkan Rasulullah saw yang menyarankan agar penggarap menanam kurma dan anggur sebagai bahan makanan pokok masyarakat Arab.
Pemilik lahan diperbolehkan mengatur jenis tanaman apa yang digarap oleh penggarap tentu ada motif khusus. Jika tidak demikian, bisa jadi penggarap bebas menanam tanaman industri, dan bukan tanaman pakan dan sayuran. Sementara jika ditanami tanaman industri menurut selera penggarap maka hasil tanaman industri itu nilainya bisa lebih mahal dari lahan yang ditanami itu sendiri. Sebut saja tanaman kelapa sawit, kayu abasia, dan lain-lain, hasilnya lebih mahal dari tanahnya. Suatu saat investasi semacam ini dapat mengakibatkan pemilik lahan menjadi kuli di ladangnya sendiri.
Atas dasar ini semestinya mukhabarah, muzaraah, dan musaqah serta paroan dijadikan instrumen masyarakat untuk memperjuangkan upaya kontra-inklusi lahan pertanian. Hal ini supaya lahan pertanian dan ketersediaan bahan makanan pokok terjaga kelangsungannya buat rakyat Indonesia. Wallahu a’lam.