Sedang Membaca
Sabilus Salikin (26): Akhlak Mulia (Husnul Khuluq)
Redaksi
Penulis Kolom

Redaksi Alif.ID - Berkeislaman dalam Kebudayaan

Sabilus Salikin (26): Akhlak Mulia (Husnul Khuluq)

Sabilus Salikin (26): Akhlak Mulia (Husnul Khuluq) 2

Etika baik, budi pekerti luhur, atau akhlak terpuji memang bisa dibentuk oleh lingkungan. Namun, akhlak mulia bukan semata karena dibentuk oleh lingkungan. Akhlak mulia adalah sebuah anugerah yang Allâh SWT berikan kepada hamba-Nya yang terpilih.

Seorang hamba yang dikehendaki Allâh SWT untuk menjadi hamba yang baik, maka Allâh SWT akan menganugerahkan baginya akhlak mulia. Sebaliknya, jika seorang hamba dikehendaki menjadi orang yang tidak baik, maka Allâh SWT berikan baginya akhlak yang tidak baik.

إِنَّ هٰذِهِ اْلأَخْلاَقَ مِنَ اللهِ، فَمَنْ أَرَادَ اللهُ تَعَالَى بِهِ خَيْرًا مَنَحَهُ خُلُقًا حَسَنًا، وَمَنْ أَرَادَ بِهِ سُوْءًا مَنَحَهُ خُلُقًا سَيِّئًا، (فيض القدير، ج 2، ص: 694).

Sesungguhnya akhlak ini dari Allâh SWT, barangsiapa yang Allâh SWT kehendaki baik maka Allâh SWT memberinya akhlaq yang mulia dan barangsiapa yang Allâh SWT kehendaki buruk maka Allâh SWT memberinya akhlaq yang buruk, (Faydh al-Qadîr, juz 2 halaman: 694).

فَالْخُلُقُ عِبَارَةٌ عَنْ هَيْئَةٍ فِي النَّفْسِ رَاسِخَةٍ عَنْهَا تَصْدُرُ الْأَفْعَالُ بِسُهُوْلَةٍ وَيُسْرٍ مِنْ غَيْرِ حَاجَةٍ إِلَى فِكْرٍ وَرِوَايَةٍ فَإِنْ كَانَتْ الْهَيْئَةُ بِحَيْثُ تَصْدُرُ عَنْهَا الْأَفْعَالُ الْجَمِيْلَةُ الْمَحْمُوْدَةُ عَقْلًا وَشَرْعًا سُمِيَتْ تِلْكَ الْهَيْئَةُ خُلُقًا حَسَنًا. (إحياء علوم الدين، ج 3 ص 49)

Husnul khulûq merupakan suatu ungkapan keadaan jiwa yang tertanam di dalamnya. Berbagai perbuatan muncul darinya dengan mudah dan gampang tanpa memerlukan pemikiran dan penelitian. Dan apabila keadaan yang tertanam itu muncul darinya perbuatan yang baik menurut akal dan norma, maka disebut dengan etika yang baik, (Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, juz 3 halaman: 49).

فَالْخُلُقُ الْحَسَنُ صِفَةُ سَيِّدِ الْمُرْسَلِيْنَ وَأَفْضَلُ أَعْمَالِ الصِّدِّيْقِيْنَ وَهُوَ عَلَى التَّحْقِيْقِ شَطْرُ الدِّيْنِ وَثَمْرَةُ مُجَاهَدَةِ الْمُتَّقِيْنَ وَرِيَاضَةِ الْمُتَعَبِّدِيْنَ. (إحياء علوم الدين، ج 3 ص 45)
Husnul khulûq merupakan sifat para Rasul dan perbuatan utama para shiddiqin. Husnul khulûq secara hakiki merupakan separuh dari keimanan, hasil dari mujahadah para muttaqin, dan hasil latihan orang yang beribadah, (Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, juz 3 halaman: 45).

Baca juga:  Sabilus Salikin (120): Kehidupan dan Tantangan al-Syadzili di Tunisia (3)

Berikut ini adalah dasar Husnul khulûq;

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلَاقِ، رواه أحمد والحاكم والبيهقي، (إحياء علوم الدين، ج 3 ص 46).

Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA. Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya aku diutus Allâh SWT untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”, (Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, Juz 3 halaman: 46)

Allâh SWT berfirman;

وَإِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيمٍ. (القلم: ٤)

Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung, (Q.S. al-Qalam: 4)

عَنْ أَبِى دَرْدَاءَ قَالَ: قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَثْقَلُ مَا يُوْضَعُ فِي الْمِيْزَانِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ تَقْوَى اللهِ وَحُسْنُ الْخُلُقِ، رواه أبو داود والترمذي. (إحياء علوم الدين، ج 3 ص 46).

Rasûlullah bersabda: “Amal yang paling berat di mizan (timbangan amal) pada hari kiamat adalah taqwa kepada Allâh SWT dan budi pekerti yang baik”, (Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, Juz 3 halaman: 46).

Berikut ini empat rukun yang dapat menghasilkan Husnul Khulûq dengan cara mengambil jalan tengah (i‘tidal) dan sesuai dengan keadaan;

الْأَرْكَانُ الْأَرْبَعَةُ وَاعْتَدَلَتْ وَتَنَاسَبَتْ حَصَلَ حُسْنُ الْخُلُقِ وَهُوَ قُوَّةُ الْعِلْمِ وَقُوَّةُ الْغَضَبِ وَقُوَّةُ الشَّهْوَةِ وَقُوَّةُ الْعَدْلِ بَيْنَ هَذِهِ الْقُوَى. (إحياء علوم الدين، ج 3 ص 49)

  1.  قُوَّةُ الْعِلْمِ, berfungsi mempermudah menemukan perbedaan antara ucapan, i‘tiqad dan perbuatan yang benar dan yang salah. Jika berhasil maka bisa menghasilkan hikmah yang menjadi pokok akhlak yang baik.
  2.   قُوَّةُ الْغَضَبِ, berfungsi mengekang dan mampu melepaskan menurut batas kebijaksanaan (akal dan norma).
  3.   قُوَّةُ الشَّهْوَةِ, berada di bawah kendali hikmah (akal dan norma).
  4.   قُوَّةُ الْعَدْلِ, berfungsi menguasai قُوَّةُ الشَّهْوَةِ dan قُوَّةُ الْغَضَبِ di bawah akal dan norma, (Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, Juz 3 halaman: 49).
Baca juga:  Sabilus Salikin (10): Unsur-unsur Tarekat, Mursyid

  1.  الحِكْمَةُ حَالَةٌ لِلنَّفْسِ بِهَا يُدْرِكُ الصَّوَابَ مِنَ الْخَطَاءِ فِي جَمِيْعِ الْأَفْعَالِ الِاخْتِيَارِيَّةِ
  2. الشَّجَاعَةُ كَوْنُ قُوَّةِ الْغَضَبِ مُنْقَادَةُ لِلْعَقْلِ فِي إِقْدَامِهَا وَإِحْجَامِهَا
  3. الْعِفَّةُ تَأَدُّبُ قُوَّةِ الشَّهْوَةِ بِتَأْدِيْبِ الْعَقْلِ وَالشَّرْعِ
  4. الْعَدْلُ حَالَةٌ لِلنَّفْسِ وَقُوَّةٌ بِهَا تُسَوِّسُ الْغَضَبَ والشَّهْوَةَ وَتَحْمِلُهُمَا عَلَى مُقْتَضَى الْحِكْمَةِ وَتَضْبِطُهُمَا فِي الْاِسْتِرْسَالِ وَالْاِنْقِبَاضِ عَلَى حَسَبِ مُقْتَضَاهَا. فَمَنِ اعْتَدَلَ هَذِهِ الْأُصُوْلَ الْأَرْبَعَةَ تَصْدُرُ الْأَخْلَاقُ الْجَمِيْلَةُ كُلُّهَا. (إحياء علوم الدين، ج 3 ص 49-50)

Pokok dan sumber akhlak

1. Hikmah adalah keadaan jiwa yang dapat digunakan untuk menemukan kebenaran dari semua perbuatan sadar yang salah.

2. Keberanian adalah kekuatan sifat kemarahan yang ditundukkan oleh akal dalam keputusan maju dan mundurnya.

Sifat yang muncul dari keberanian adalah al-Karâm (dermawan), an-Najdah (keberanian), at-Tasahum (keinginan pada hal-hal yang menyebabkan perbuatan baik), Kasrun Nafsi (mengekang hawa nafsu), al-Ihtimal (menanggung penderitaan), al-Hilm (sabar dan pemaaf), ats-Tsabat (pendirian teguh), Kadzmul Ghaidh (menahan amarah), al-Waqar (berwibawa), at-Tawâdud (penuh cinta) dll.

Jika keberanian terlalu lemah, maka menimbulkan sifat-sifat yang seperti an-Nihanah (rendah diri), adz-Dzullah (hina), al-Jaz‘u (penyesalan), al-Khusasah (pendek pikir dan hina), Shagrun Nafsi (kecil jiwa), al-Inkibat (merasa terkekang untuk menuntut haknya).

Jika keberanian terlalu tinggi, maka muncul sifat-sifat yang jelek seperti Tahawwur (berani tanpa perhitungan dan pemikiran), al-Badzahu (angkuh), al-Shalifu (pengakuan terhadap sesuatu yang tidak dimilikinya, dalam arti perbuatan atau suatu hal), Isytisyathah (sifat amarah yang berlebihan), sombong/‘Ujub (membanggakan diri).

3. Menjaga kehormatan diri adalah mendidik kekuatan syahwat dengan didikan akal dan norma.

Sifat baik yang muncul dari menjaga kehormatan diri adalah pemurah, malu, sabar, toleran, Qana’ah (menerima apa adanya), Wira’i, lemah lembut, suka menolong, tidak tamak.

Baca juga:  Kliping Keagamaan (4): AR Baswedan Mengatakan Perpustakaan Itu Amal Jariah

Jika dorongan ‘Iffah (menjaga kehormatan diri) terlalu lemah dan kuat maka akan memunculkan sifat yang jelek seperti sifat rakus, sedikit Rasa malu, keji, boros, kikir, riya’, mencela diri, gila, suka bergurau, pembujuk, hasut, iri hati, mengadu domba, merendahkan diri di hadapan orang-orang kaya dan meremehkan fakir miskin, dll.

4. Adil adalah keadaan jiwa dan kekuatannya yang mengusai kemarahan dan syahwat dan membawanya kepada kehendak hikmah (ilmu dan norma), dan mencegahnya menurut batas kebijaksanaan.

Sifat baik yang muncul dari sifat adil adalah Husnu at-Tadbir (penalaran yang baik), Juudah adz-Dzihn (kejernihan hati), Tsiqabat ar-Ra’yi (kecerdasan berpikir), Ishabah adz-Dhan (kebenaran dugaan), kecerdasan berpikir terhadap amal-amal yang lembut dan kecerdasan berfikir terhadap bahaya jiwa yang tersembunyi.

Jika dorongan adil terlalu lemah maka akan menimbulkan sifat-sifat yang jelek seperti kebodohan, al-Ghumarah (tidak punya kepandaian), al-Humku (dungu), gila, dll.

Jika dorongan adil terlalu kuat maka akan muncul sifat-sifat jelek seperti cerdik licik, jahat, al-Makru (rekayasa), al-khada’ (suka menipu), al-Addaha’ (tipu muslihat).

Barangsiapa pokok dan sumber akhlaknya i’tidal (tidak terlalu lemah dan tidak terlalu kuat) maka akhlak yang keluar darinya adalah seluruh akhlak yang baik, (Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, Juz 3 halaman: 49-50).

Sementara itu, sumber akhlak yang tercela (buruk) dijelaskan sebagai berikut;

  • Ridha terhadap jiwanya yang makin jauh kepada Allâh SWT
  • Takut terhadap makhluk, dan
  • Dan mementingkan duniawi.

Kemudian dari ciri yang pertama muncullah syahwat (keinginan), kelalaian, dan maksiat. Lantas dari ciri yang kedua muncullah sifat pemarah, dengki dan hasud. Dan ciri yang ketiga  muncullah sifat serakah, tama’ (mengharapkan pemberian selain dari Allâh), dan sifat kikir.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
2
Ingin Tahu
2
Senang
3
Terhibur
1
Terinspirasi
2
Terkejut
2
Scroll To Top