Sedang Membaca
Tafsir Surat Al-Maidah Ayat 44: Tidak Menjalankan Hukum Allah Otomatis Kafir, Benarkah?

Alumni Ponpes Lirboyo Kediri, Darul Huda Mayak, dan Minhajuth Thullab Lampung. Sedang mengenyam pendidikan S1 di Al-Azhar University jurusan Syari'ah Islamiyyah. Berdomisili di Kairo, Mesir.

Tafsir Surat Al-Maidah Ayat 44: Tidak Menjalankan Hukum Allah Otomatis Kafir, Benarkah?

Jangan Panggil Non Muslim Dengan Kafir

Beberapa kelompok ekstrimis islam (tidak perlu saya sebut namanya) mempunyai keyakinan bahwa setiap orang, kelompok, atau negara yang tidak menjalankan salah satu hukum Allah (syariat) maka berhak menyandang predikat “kafir”. Tokoh utama pemikiran ini tidak lain adalah Sayyid Qutb, pengarang sebuah kitab tafsir yang berjudul Fi Dzilal al-Qur’an. Ia mendapatkan pemahaman ini berdasarkan potongan terakhir dari Surat Al-Maidah ayat 44;

وَمَنۡ لَّمۡ يَحۡكُمۡ بِمَاۤ اَنۡزَلَ اللّٰهُ فَاُولٰٓـئِكَ هُمُ الۡكٰفِرُوۡنَ‏  ﴿5:44﴾

Barangsiapa tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir.”

Ayat di atas menjadi semacam pondasi utama bagi Sayyid Qutb dan para pengikutnya untuk mengkafirkan setiap orang, kelompok, atau negara yang tidak menerapkan hukum-hukum Allah. Ayat ini juga menjadi hujjah mereka untuk mendirikan negara Islam dan memerangi negara-negara yang ada sekarang (termasuk Indonesia) walaupun harus dengan merampas harta dan menumpahkan darah sesama muslim (karena muslim di luar golongan mereka dianggap kafir yang halal harta serta darahnya).

Dari sinilah, muncul istilah yang acapkali kita dengar dari mereka, yaitu negara kafir dan negara thoghut. Ideologi ini biasa mereka sebut dengan Hakimiyyah (kewajiban berhukum dengan hukum Allah).

Mari kita teliti, apakah sudah benar pemahaman mereka terhadap ayat di atas?

Apabila membicarakan pemahaman ayat, mau tidak mau kita harus merujuk kepada literatur tafsir, tentunya pada kitab-kitab tafsir yang mu’tabaroh (diakui kevalidannya).

Imam ath-Thabari menegaskan bahwa ayat ini diturunkan khusus untuk Yahudi. Hal ini disebabkan ayat ini diturunkan ketika Yahudi pada masa Rasulullah Saw. mengubah dan menghapus hukum rajam dalam kitab Taurat. Selain itu, ayat sebelum dan sesudahnya juga ditujukan kepada Yahudi. Kedua alasan tersebut menjadi bukti kuat bahwa ayat ini diturunkan kepada Yahudi saja, bukan umat Islam.

Baca juga:  Tafsir Surah al-Fatihah (1): Di Balik Namanya Terkandung Makna

Abdul Aziz bin Yahya al-Kinani punya tafsiran yang berbeda. Menurutnya, ayat ini ditujukan untuk muslim yang tidak menjalani semua Hukum Allah. Maka dari itu, seorang muslim yang meninggalkan sebagian atau beberapa hukum Allah tidaklah kafir, melainkan hanya fasik saja. Tafsir ini didapatkan dari pendekatan secara lughoh (bahasa), yaitu kalimat “ما” yang terdapat pada ayat menunjukkan keumuman, sehingga hukum yang dimaksud dalam ayat adalah jami’ al-ahkam (semua hukum), bukan sebagian saja.

Thawus dan Atho’ menganggap bahwa yang dimaksud kafir pada ayat ini bukanlah kafir keluar dari agama Islam, tetapi sebatas kafir nikmat saja sehingga tidak sampai mengeluarkan seorang muslim dari Islam.

Fakhruddin ar-Razi men-­tadh’if (menganggap lemah) semua pendapat di atas. Baginya, penafsiran yang benar terhadap ayat tersebut adalah tafsir yang dikemukakan oleh Ikrimah. Ikrimah berpandangan bahwa khitab (target bicara) pada ayat ini adalah orang yang mengingkari (tidak mengakui) dengan hati dan mendustakan dengan lisan terhadap hukum Allah (Syariat). Maka dari itu, muslim yang meninggalkan salah satu hukum Allah tetapi masih meyakini bahwa hukum Allah adalah benar dan merupakah wahyu Allah tidak bisa dihukumi kafir, tetapi hanya fasik belaka.

Seorang yang meninggalkan sholat misalnya. Apabila ia tetap meyakini bahwa sholat adalah wajib dan merupakan perintah Allah, maka ia tidak tergolong kafir, namun sebatas fasik saja. Pendapat ini juga diamini oleh kebanyakan ulama, seperti al-Ghozali, al-Qurthubi, Abu Hayyan, al-Alusi, Mutawalli as-Sya’rowi dan masih banyak lainnya.

Baca juga:  Tafsir Surah At-Takatsur (Bagian 3)

Penafsiran yang terakhir dan pasti salahnya adalah tafsir dari Khawarij. Sama persis dengan Sayyid Qutb, Mereka memaknai bahwa ayat ini diturunkan untuk setiap muslim yang tidak menjalankan hukum Allah, baik ia meyakini kebenaran hukum tersebut ataupun tidak mampu menerapkannya karena alasan-alasan tertentu. Bagi Khawarij, mutlak, semuanya kafir.

Terlepas dari perbedaan para mufassirin dalam memaknai ayat tersebut, bisa kita pahami bahwa tidak ada satupun ulama yang sependapat dengan Sayyid Qutb dan para pengikutnya kecuali Khawarij. Bahkan bisa kita katakan Sayyid Qutb wa atba’uhu adalah Khawarij wajah baru (Neo-Khawarij).

Selaras dengan itu, Usamah al-Azhari (salah satu ulama kenamaan al-Azhar) dalam kitab Haqq al-Mubin menjelaskan bahwa ideologi Hakimiyyah yang dibawa oleh Sayyid Qutb adalah ideologi yang sangat berbahaya dan pemikiran yang sangat aneh. Ideologi ini sama sekali menyalahi pola pikir Islam yang diwariskan mulai dari zaman Sahabat hingga sekarang ini. Selain itu, ketika sekelompok orang teracuni ideologi ini, maka akan menyebabkan mereka berani mengkafirkan sesama saudara muslim dan menganggap bahwa saudaranya halal dibunuh serta hartanya boleh diambil. Ini adalah bahaya yang nyata.

Kesimpulannya, dalam menafsirkan surat al-Maidah ayat 44 ulama berbeda pendapat. Ada yang menafsirkan ayat tersebut khusus untuk Yahudi dan ada yang menyatakan berlaku umum, termasuk untuk umat islam tetapi dengan catatan yang dimaksud adalah kufur nikmat atau dengan syarat-syarat tertentu. Yang jelas, ayat tersebut tidak bisa dijadikan dalih untuk mengkafirkan orang lain hanya karena meninggalkan atau melanggar hukum Allah (syariat).

Baca juga:  Tafsir Surah At-Takatsur (Bagian 1)

Dan sebagai catatan terakhir, perihal negara-negara Islam (termasuk Indonesia) yang belum mampu (karena berbagai pertimbangan) menerapkan sepenuhnya hukum Islam, terutama masalah hudud, Mbah Maimun Zubair mempunyai pandangan yang luar biasa mengenai hal ini, seperti yang diungkapkan dalam kitab ‘Ulama al-Mujaddidun: “Adapun hukum-hukum syariat yang belum mampu diterapkan, maka kita tidak boleh menggantinya meskipun dengan dalih ijtihad ataupun istinbat. Kewajiban kita adalah sebisa mungkin mengamalkan syariat Islam untuk diri kita sendiri, keluarga, dan kerabat. Kita juga harus merasa sedih, gundah, dan prihatin karena syariat Islam belum bisa diterapkan sepenuhnya seraya berharap kepada Allah agar suatu saat kita diberi kesempatan dan keadaan yang mendukung untuk menerapkan seluruh hukum-hukumNya. Terakhir, kita harus meyakini bahwa syariat Islam adalah hukum terbaik dan selalu sesuai dengan semua tempat dan waktu.” Wallahhu a’lam.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
5
Ingin Tahu
0
Senang
3
Terhibur
0
Terinspirasi
3
Terkejut
0
Scroll To Top