Nahdliyin, menamatkan pendidikan fikih-usul fikih di Ma'had Aly Situbondo. Sekarang mengajar di Ma'had Aly Nurul Jadid, Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton, Probolinggo. Menulis Sekadarnya, semampunya.

Mengenal Kiai Hasan Abdul Wafi, Kiai Jawa Timur yang Dicintai Gus Dur

15523897875c87969b529ff

Termasuk jenis musik religi yang akhir-akhir ini digemari masyarakat muslim Indonesia adalah genre musik Arab atau kasidah yang dinyanyikan penyanyi muslimah seperti Nissa Sabyan, Veve Zulvikar, Annisa Rahman dan nama-nama lain yang namanya menjadi buruan para penikmat lagu islami di kanal Youtube.

Dari beberapa nama itu, salah satu penyanyi yang hamba suka adalah Veve Zulfikar. Bukan tanpa alasan; pertama karena ia cukup fasih, bertajwid melafalkan terminologi bahasa arab. Maklum, ayahnya Ustaz Zulfikar adalah seorang Qari’, pelantun Alquran. Kedua, karena Veve Zulfikar berhasil memopulerkan kembali salawat Nahdliyah yang dikarang oleh Kiai Hasan Abd. Wafi.

Salawat Nahdliyah adalah salawat yang dikarang oleh Kiai Hasan Abd. Wafi, salah satu dewan Pengasuh di Pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo, berisi doa kepada Allah Swt agar Nahdlatul Ulama menjadi organisasi yang terus eksis untuk mewadahi Islam Ahlussunnah Waljamaah di Indonesia. Saat ini, hampir dalam setiap acara NU, dari tinggkat Pusat hingga Ranting, salawat tersebut selalu dibaca bersama.

Dalam tulisan ini, penulis hendak menceritakan siapa sosok Kiai Hasan Abd. Wafi, sosok kiai yang amat disegani oleh Presiden Abdurrahman Wahid, Gus Dur. Selamat menikmati!

Biografi Sosial-Intelektual

Kiai Hasan Abd. Wafi Lahir di Pamekasan Madura dengan nama Lora Abd. Wafi, sebutan lora adalah panggilan masyarakat Madura kepada putra kiai atau tokoh masyarakat. Ia adalah putra bungsu dari enam bersaudara dari pasangan Kiai Miftahul Arifin dan Nyai. Lathifah, seorang keluarga yang diketahui cukup salih dan mencintai ilmu agama.

Lahir dari keluarga yang mencintai ilmu agama, Lora Abd. Wafi mendapatkan pendidikan dasar-dasar agama seperti ilmu gramatikal bahasa arab, fikih, akidah dan tasawuf langsung dari ayahandanya. Ketika usia masih sangat dini, Lora Abd. Wafi harus menghadapi fakta hidup yang amat keras. Ibundanya, Nyai Lathifah wafat ketika ia masih usia enam tahun. Masih reda kesedihan atas kepergian sang ibu, lima tahun berikutnya, ayah sekaligus guru pertamanya juga pergi kepangkuan Allah Swt.

Sepeninggal kedua orang terkasihnya itu, pendidikan Lora Abd. Wafi beralih kepada saudara kandungnya, yaitu Kiai Ahmad Sayuti. Dalam pendidikan formal, beliau belajar di Madrasah Diniyah di Desa Branta, Tlanakan Pamekasan Madura. Termasuk gurunya ketika itu adalah Sayyid Hasan ibn Alawi dan Kiai Ahmad Faqih.

Ketika masih usia kanak-kanak, Lora Abd. Wafi dikenal sebagai santri yang cerdas, cekatan dan memiliki dlabit (daya hafal) yang tinggi. Buktinya di usia yang relatif muda sekali, ia berhasil menghafalkan 1000 bait nazam Alfiyah ibn Malik, sebuah nazam dalam ilmu gramatikal bahasa Arab yang disusun oleh Ibnu Malik al-Andalusi. Setelah merasa memiliki bekal ilmu dasar agama yang cukup, ia melanjutkan pendidikan di Pesantren Darul Ulum Banyuayar Pamekasan di bawah asuhan Kiai Abd. Majid.

Baca juga:  NU dan Tradisi Otokritik: KH M. Hasyim Asy'ari Saja Dikritik

Di Pesantren Kiai Abd. Majid, Lora Abd. Wafi juga diminta menjadi tenaga pengajar. Sebab ia memang dikenal cerdas dan alim sejak pertama kali mondok. Karakter yang terkenal dari sosok Kiai Abd. Wafi di mata murid-muridnya adalah sosoknya yang telaten, sabar menemani santri dalam memahami pelajaran dan sangat disiplin dalam urusan ilmu pengetahuan. Hingga dalam suatu waktu, Kiai Abd. Majid memberi izin kepada Lora Abd. Wafi untuk berangkat ke Mekkah. Tujuannya, pertama untuk menunaikan ibadah haji, kedua untuk belajar dan tabarrukan kepada masyayikh Tanah Haram. Nah sepulang dari Tanah Suci itu nama depannya ditambah Hasan, sehingga menjadi Hasan Abd. Wafi.

Setelah belajar di Mekkah, Kiai Hasan Abd. Wafi masih merasa haus akan ilmu agama. Ia kemudian belajar lagi di sejumlah pesantren, seperti pesantren Kiai Sahlan di Sidoarjo, nyantri kepada Kiai Musta’in Ramli di Paterongan Jombang, kemudian belajar juga kepada Kiai Munawwir di Pesantren Krapyak Jogjakarta.

Setelah malang melintang dalam mencari ilmu, tampaknya pelabuhan terakhir beliau dalam mencari dan menyebarkan ilmu adalah Pesantren Nurul Jadid Paiton. Di Pesantren ini, beliau akhirnya menetap hingga akhir hayatnya. Sebab di pesantren yang didirikan oleh Kiai Zaini Mun’im tersebut beliau dinikahkan dengan dengan Nyai. Aisyah, putri dari Kiai Zaini.

Di Pesantren Nurul jadid beliau membantu Kiai Zaini mengajar dan mengasuh para santri. Adapun kitab yang dibaca beliau di hadapan para santri adalah kitab Iqna’ al-Thalibin, Tafsir al-Jalalain, Ibnu Aqil dan lain sebagainya. Tidak hanya menemani santri dalam pengajian informal, beliau juga mengajar di lembaga formal seperti di Perguruan Tinggi Islam & Dakwah PTID Nurul Jadid (saat ini menjadi UNUJA).

Dalam memori para santri Nurul Jadid yang pernah diajar oleh beliau, sosoknya dikenal sebagai pendidik yang tegas, disiplin dan keras. Pengakuan itu juga seperti yang diakui oleh Santri Ma’had Aly Situbondo. Karena Kiai Hasan Abd. Wafi juga mengajar di Ma’had Aly Situbondo. Dalam kenangan mereka mengaji kepada Kiai Hasan memerlukan kedispilinan dan keseriuasan yang tinggi. Namun hal ini sangat berdampak positif kepada para santri, mereka akan terpecut dan begitu bersemangat karena merasa segan kepada beliau.

Baca juga:  Mengenang Sahabat: Kiai Djalal, Penerus Ulama dalam Memperjuangkan Ma'had Aly

Kiai Imam Nakha’i, salah seorang santri Ma’had Aly Situbondo berkisah bahwa yang paling diingat dari sosok Kiai Hasan Abd. Wafi adalah konsistensinya dalam memberikan arti dan makna pada kitab kuning. Arti dan makna harus sama persis seperti yang disampaikan beliau ketika mengampu kuliah. Itu menunjukkan ketelitian beliau pada kitab kuning.

Yang menarik adalah, sebagaimana ditutukan salah satu cucunya, Gus Fayyadl bahwa segmen bacaan Kiai Hasan Abd. Wafi tidak melulu tentang fikih dan ilmu keislaman lain yang memang menjadi bacaan kiai di Pesantren. Akan tetapi Kiai Hasan juga membaca isu-isu pergerakan di belahan dunia Islam lain melalui majalah-majalah yang beliau akses semasa hidupnya. Ini bukti bahwa bacaan beliau sangat luas dan termasuk sosok yang open minded.

Tarekat Perjuangan: NU & Masyarakat

Tidak melulu beraktivitas di Pesantren, Kiai Hasan juga menyibukkan dirinya dengan khidmah melalui Nahdlatul Ulama, baik jalur kultural maupun struktural. Kiai Hasan termasuk orang yang beruntung karena ia memperoleh “sanad” ke-NU-an dari posisi yang tinggi, yaitu dari Kiai As’ad Syamsul Arifin, mediator berdirinya NU, yang masih kerabatnya sendiri.

Kepada Kiai As’ad beliau belajar bagaimana mencintai dan berjuang dalam organisasi bintang sembilan ini.

Itulah sebabnya kenapa Kiai Hasan sangat “fanatik” pada NU. Di sela-sela mengajar para santri, beliau menyelingi dengan pembahasan NU. Dan seperti biasa, ia akan berapi-api ketika berbicara perjuangan melalui NU. Kepada para santri, beliau selalu mewanti-wanti agar mereka tak lelah menjaga, berjuang dan mengingatkan agar NU tidak menyimpang dari garis perjuangan yang digariskan oleh para pendirinya.

Kecintaan itupulalah yang membuat beliau mengarang dan menyusun salawat Nahdliyah yang kita kenal hari ini. Sekitar tiga minggu yang lalu, penulis menyempatkan sowan kepada Kiai Zuhri Zaini bertanya banyak hal, salah satunya adalah ihwal salawat Nahdliyah ini. Dalam cerita beliau, salawat Nahdliyah ini dipopularkan oleh Kiai Hasan Abd. Wafi ketika mengisi acara ke-NU-an dan kemasyarakatan. Beliau sendiri yang membaca salawat karangannya di hadapan masyarakat.

Secara struktural, beliau menjabat sebagai Rais Syuriyah NU Cabang Kraksaan, bersama saudara iparnya, Kiai Abdul Wahid Zaini selama dua periode. Selama menjabat sebagai pengurus NU ini beliau mengajarkan tentang kedisiplinan. Ketika ada acara, maka beliau hadir secara on time. Itulah yang membuat pengurus lain segan jika harus datang terlambat.

Baca juga:  Nukatul Hamyan: Biografi Ulama Tunanetra

Beliau bukan tipikal kiai yang diam menikmati fasilitas di menara gading, akan tetapi ia juga ikut turun gunung menyukseskan setiap acara NU, misalnya ia ikut hadir berijibaku mencari referensi untuk kepentingan diskusi dan lain sebagainya. Beliau juga sangat marah jika NU tercerabut dari akarnya, yaitu sebagai penganyom masyarakat.

Dalam memimpin NU, beliau selalu mengedepankan AD/ART yang telah ditetapkan PBNU. Oleh karena itu, sekirannya ada kebijakan pengurus yang secara tidak langsung menyalahi AD/ART, maka beliau akan menentangnya. Beliau juga kurang berkenan jika NU sangat terlalu masuk ke dalam urusan politik praktis, dalam hemat beliau, politik yang dinaut NU adalah politik kebangsaan, siyasah aliyah.

Dengan karakter yang tegas, apa adanya dan dibekali dengan ilmu agama yang mendalam, Kiai Hasan Abd. Wafi dijadikan salah satu guru spritual oleh Presiden Abdurrahman Wahid. Setiap ada acara di daerah Jawa Timur, khususnya Tapal Kuda, Gus Dur selalu menyempatkan sowan sekadar minta nasihat dan doa dari beliau.

Setidaknya ada empat kiai di Jawa Timur yang dalam amatan Gus Dur, begitu dicintainya dan tak mungkin ia tolak perintahnya. Gus Dur menyebut beliau-beliau dengan panggilan Sayyidi al-Walid, yang jika diterjemahkan adalah orang tuaku sendiri. Secara berurutan, kiai tersebut adalah, pertama, Kiai Imam Zarkasyi, Banyuwangi, wafat tahun 2001. Kedua, Kiai Ahmad Sufyan Miftahul Arifin, Situbondo wafat tahun 2012 di Makkah. Ketiga, Kiai Khotib Umar, Jember wafat tahun 2014 dan terakhir adalah Kiai Hasan Abd. Wafi, Probolinggo, wafat tahun 2000.

———————————————————-

Berikut naskah salawat Nahdliyah yang hamba terima dari Kiai Zuhri Zaini, pengasuh Pesantren Nurul Jadid saat ini yang masih saudara ipar Kiai Hasan Abd. Wafi.

 

اَللًّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَاةً تُرَغِّبُ وَتُنَشِّطُ وَتُحَمِّسُ بِهَا الْجِهَادُ ﻹ حْيَاءِ وَﺇِعْلاَءِ دِيْنِ ﺇْلاِسْلاَمِ. 2

وَﺇِظْهَارِ شَعَائِرِهِ عَلَى طَرِيْقَةِ جَمْعِيَّةِ نَهْضَةِ الْعُلَمَاءِ. 2

وَعَلَى اَلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ. 2

اَللهَ اللهَ اللهَ اللهَ.

ثَبِّتْ وَأنْصُرْ اَهْلَ جَمْعِيَّةِ, جَمْعِيَّةِ نَهْصَةِ الْعُلَمَاءِ ﻹعْلَاءِ كَلِمَةِ اللهِ. 2

“Ya Allah limpahkanlah salawat kepada junjungan kami, Nabi Muhammad Saw. Yang dengan bacaan salawat ini jadikanlah kami senang, rajin dan semangat dalam berjuangan menghidupkan dan meninggikan agama Islam serta menampakkan syiar-syiarnya, menurut cara Jam’iyah Nahdlatul Ulama. Juga kepada keluarga beliau dan sahabanya berikanlah keselamatan. Wahai Allah, Wahai Allah, Wahai Allah, kukuhkan dan tolonglah warga Nahdlatul Ulama, organisasi Nahdlatul Ulama untuk menegakkan tanda-tanda Allah Swt.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
2
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top