Kesahajaan dan kesederhanaan dalam sikap dan perilaku sangat terlihat dalam pribadi Sunan Muria. Banyak sekali cerita tutur yang berkembang di sekitar Gunung Muria terkait dengan kerendahan hatinya.
Di antara yang popular adalah kisah tentang sebuah pujian yang disampaikan oleh Sunan Kudus atas keindahan bangunan masjid yang dibuat oleh Sunan Muria. Karena pujian itulah, kemudian Sunan Muria membakar masjid yang telah dibangunnya dan membangun ulang masjid tersebut dengan bangunan yang sederhana.
Hal ini membuktikan bahwa Sunan Muria memanglah sosok yang tidak suka dan tidak nyaman dengan pujian dan kemewahan duniawi. Meski hal tersebut diperuntukkan untuk sebuah masjid yang notabenenya adalah baitullah.
Selain itu, kehidupan masyarakat pegunungan dan pedesaan sebagaimana yang ada di sekitar lereng Gunung Muria juga menjadi bukti nyata akan kesederhanaannya. Sunan Muria lebih memilih daerah atau kawasan yang jauh dari pusat kerajaan. Kehidupan yang jelas jauh dari hiruk pikuk keramaian dan melepaskan diri dari lika-liku perpolitikan di tanah Jawa saat itu. Terlebih, saat itu sedang geger-gegernya perebutan tahta Kerajaan Demak pasca mangkatnya Sultan Trenggana pada tahun 1946 M.
Tidak diketahui secara pasti alasan mengapa Sunan Muria memilih berdakwah di kawasan Gunung Muria. Sebagaimana pula tidak ditemukannya asal usul mengapa gunung tersebut dinamakan Muria. Namun, George Quinn, seorang antropolog dari Australia, menyatakan bahwa Gunung Muria diartikan sebagai gunung mulia atau gunung agung.
Menurutnya, hal tersebut dikaitkan dengan pelafalan jawa yang adanya kemiripan pengucapan antara huruf M dan huruf L, seperti penyebutan Nyai Roro Kidul dengan Nyai Loro Kidul. Jika demikian adanya, maka sangat mungkin penamaan Gunung Muria memiliki keterkaitan erat dengan hadirnya dakwah Sunan Muria di dataran tinggi tersebut. Dakwah yang menghadirkan ketenangan, kesederhanaan, keberkahan dan juga kemuliaan.
Dengan watak pegunungan yang tenang dan teduh itulah, Sunan Muria mudah berinteraksi dengan masyarakat lokal secara cair hingga pada masa hidupnya dikenal egaliter dan merakyat serta dekat dengan rakyat. Melalui relasi yang akrab inilah, Sunan Muria menitipkan kepada para santri dan masyarakat satu laku ajaran yang adi luhung yaitu Pagerono Omahmu Kanthi Mangkok (pagarilah rumahmu dengan mangkok). Laku ini mengisyaratkan adanya nilai-nilai kepedulian social serta hubungan yang harmonis antar sesama masyarakat.
Artinya, setiap individu dalam bingkai masyarakat diharuskan untuk saling cancut taliwondo (gotong royong), tolong menolong dan membantu mereka yang membutuhkan Sungguh sebuah ungkapan yang sarat akan nilai-nilai etika religius yang luhur.
Ajaran luhur ini secara sederhana dapat dimaknai sebagai upaya melindungi keselamatan dan kenyamanan keluarga dengan senantiasa memberikan rasa aman dan kasih sayang kepada siapa saja yang berada di sekitar kita. Sungguh ini adalah wujud aktualisasi dari perilaku akhlak mulia yang jika ditelusuri secara mendalam banyak sekali dalil-dalil al-Qur’an dan hadis yang mendukungnya. Rahmatilah siapapun (dan apapun) yang ada di bumi, niscaya mereka yang ada di langit akan merahmatimu adalah satu dalil dari sekian dalil agama yang menjadi fondasi dari ajaran Sunan Muria ini.
Selanjutnya, jika dikatakan bahwa laku suluk yang diajarkan oleh Sunan Muria, seperti Tapa Ngeli dan amalan wirid, lebih menitik beratkan pada dimensi olah batin secara personal. Maka, laku Pagerono Omahmu Kanthi Mangkok merupakan wujud dari nilai-nilai tasawuf amali yang pada intinya mengajarkan manusia untuk selalu bersikap santun dan baik (ihsan) kepada siapapun. Allah dalam kutipan Q.S. al-Qashash: 77 menyatakan: Dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu.
Akhir kata, Ibnu Hazm al-Andalusy (w. 456 H / 1064 M) pernah menyatakan bahwa ihsan tidak hanya bermakna sebagai bentuk ketaatan kita atas segala titah Allah dan Rasul-Nya, akan tetapi dimaknai pula sebagai bentuk darma bakti diri kita dalam kehidupan dan hubungan sosial yang baik dan beradab. Sekali lagi, sungguh ini merupakan ajaran luhur dari Sunan Muria yang telah mendarah daging menjadi pengetahuan kolektif bagi siapapun yang menisbatkan perilaku keberagamaannya kepada Sunan Muria. Wallahhu a’lam.