M. Amruddin Latif
Penulis Kolom

Santri Pondok Tremas Pacitan dan Krapyak Yogyakarta. Saat ini sedang menempuh S3 di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prodi Studi Islam.

Pelopor Modernisasi Pendidikan Islam (2): Muhammad Abduh

Img 20200826 Wa0004

Muhammad Abduh, sosok pembaharu yang berasal dari Bahirah, Mesir. Pemilik nama lengkap Muhammad Abduh Hasan Khairullah ini berasal dari keluarga kecil. Ayah Abduh adalah seorang kalangan biasa yang berasal dari Turki, dan kemudian menetap di Mesir, sementara ibunya adalah orang Arab.

Sekalipun hidup sederhana, orang tua Abduh sangat peduli akan pentingnya pendidikan. Kecintaan keduanya akan agama dan ilmu diwariskan pada anaknya. Keluarga religius inilah yang mengantarkan Abdul memiliki kecerdasan di atas rata-rata, di usia kecil ia sudah hafal Al-Qur’an.

Abduh adalah sosok yang unik, ia tidak cepat puas dengan apa yang diperolehnya, terutama terhadap ilmu. Di Tanta, tempat ia belajar, Abduh melakukan ‘protes’ terhadap metode pendidikan yang diterapkan, dimana hanya menekankan pada hafalan. Bagi Abduh, ilmu bukan hanya untuk dihafalkan saja, melainkan juga dipahami secara mendalam. Tak hanya di Tanta, ia juga tidak puas dengan apa yang didapatkan di Al-Azhar, Cairo. Baginya metode pengajaran di Al-Azhar hanya bersifat verbal, sehingga merusak nalar kritis manusia. Kekecewaan tersebut, malah membuat Abduh bersemangat untuk mempelajari berbagai disiplin ilmu. Tidak hanya ilmu agama, Abduh juga mendalami ilmu sosial, politik, filsafat, budaya, dll. Pertemuannya dengan Jamaluddin al-Afghani dan pengembaraannya di Barat, membuat Abduh semakin matang, hingga ia bertekad untuk melakukan modernisasi sistem pendidikan Islam.

Corak Pemikiran Abduh

Abduh adalah sosok modernis yang mengkritik taklid. Menurutnya, taklid hanya mematikan akal dan kreatifitas manusia. Dunia berkembang, problematika baru selalu muncul di tengah kehidupan, dibutuhkan kecerdasan dan kreatifitas manusia untuk mampu menyelesaikan masalah. Atas dasar itu, melalui kitabnya al-Manar, Abduh menentang taklid dan fanatisme madzab. Baginya, teks Al-Qur’an dan Hadits, juga hukum fikih harus dikontekstualkan dengan realitas. Pengkultusan terhadap suatu tokoh, membuat umat Islam tidak terbuka terhadap pendapat orang lain. Pensakralan terhadap ulama zaman dulu, hanya akan meninabobokkan umat Islam akan kejayaan masa lalu dan menimbulkan sikap apatis terhadap perubahan zaman. Demikian kritik Abduh.

Baca juga:  Snouck Hurgronje, Bapak Kajian Islam di Indonesia?

Cita-cita dan perjuangan Abduh terhadap dunia Islam akan dijelaskan secara singkat sebagai berikut: Pertama, modernisasi, pembaharuan yang dilakukan Abduh adalah bagaimana menafsirkan ajaran Islam agar relevan dengan zaman modern, telebih dengan perkembangan sains dan teknologi; Kedua, purifikasi, Abduh melihat banyak aliran keagamaan yang melenceng dari syariat Islam. Melalui gerakannya, ia mengajak umat Islam untuk kembali kepada Al-Qur’an dan hadits dan memerangi bid’ahKetiga, reformasi, gerakan inilah yang paling ditekankan oleh Abduh. Reformasi yang dimaksud adalah melakukan perombakan dalam dunia pendidikan Islam; dan Keempat, reformulasi, dengan jalan membuka kembali pintu ijtihad. Bagi Abduh, faktor utama kemunduran umat Islam adalah karena keyakinan mereka akan tertutupnya pintu ijtihad.

Pendidikan non Dikotomis

Kegelisahan Muhammad Abduh pada sistem pendidikan Islam masa itu adalah adanya dikotomi antara ilmu pengetahuan umum dan agama. Menurutnya, dikotomi tersebut hanya akan menjauhkan agama dari sains. Demarkasi tersebut, disebutnya semakin memperlebar jarak ketertinggalan peradaban Islam dengan Barat. Abduh melihat pendidikan Islam di negerinya hanya terfokus pada kajian-kajian agama dan antipati terhadap ilmu pengetahuan dari Barat. Sementara pada sekolah umum, porsi ilmu agama sangat sedikit sekali, bahkan nyaris tidak ada. Hal ini berakibat terbelahnya masyarakat, yakni: kelompok agamis yang tidak memiliki keterampilan dan tidak peduli realitas, serta kelompok yang memiliki ilmu modern, namun tak punya visi dan wawasan keagamaan. Bagi Abduh, ketegangan ini harus segera dicairkan.

Baca juga:  KH. Bisri Syansuri, Pejuang Gender di Pesantren 

Abduh menawarkan pembaharuan pendidikan di negerinya, yakni keterpaduan antara ilmu agama dan umum. Penghilangan dikotomi tersebut dimaksudkan agar jurang pemisah antara ulama dan ilmuwan modern sedikit terkikis. Pendidikan keagamaan diharapkan mampu melahirkan generasi yang melek realitas dan mampu bersaing di kancah global, bukan hanya menghasilkan kelompok fatalisme dan revivalisme. Gagasan tersebut ia terapkan di Universitas Al-Azhar, kemudian melebar ke Tanta, Dassus, Dimyat, Iskandariyah, dan lainnya. Pembaharuan Abduh tersebut, di kemudian hari diikuti oleh pendidikan Islam di berbagai negara, hal ini membuktikan gagasan Abduh memang brilian. Pendidikan terpadu seperti yang diusulkan Abduh, sebenarnya juga ditawarkan oleh Ibnu Khaldun, sekalipun kurang laku di zamannya. Dalam bangunan epistimologinya, Ibnu Khaldun memasukkan logika, ‘ilm al-thaba’i, zoologi, botani, kimia, astronomi, mineral, kedokteran, matematika, dll. ke dalam jajaran ilmu yang boleh atau wajib dipelajari oleh umat Islam.

Dari refleksi pemikiran Abduh dan Ibnu Khaldun, tak berlebihan bila kita sebut ilmu-ilmu seperti arkeologi, sosiologi, antropologi, dll. juga dapat dikategorikan sebagai ilmu agama. Dikotomi keilmuan, dengan mengatakan bahwa ilmu agama hanya syariat, kalam, dan tasawuf saja, dapat mempersempit ruang gerak umat Islam dalam percaturan dan persaingan di kehidupan. Tanpa pemahaman akan ilmu modern, membuat umat Islam akan tetap berada di pojok-pojok sejarah, karena kalah bersaing dengan shahibu lisanil qaum, yakni pemilik ilmu yang dibutuhkan oleh manusia di zamannya.

Baca juga:  Soekarno di Sukamiskin, dari Rajin Baca Alquran hingga Tahajud

Dalam konteks Indonesia, permasalahan pendidikan sebagaimana yang gelisahkan Abduh juga terjadi di sini. Masih langkanya lembaga pendidikan yang mampu ‘mendamaikan’ dua keilmuan tersebut. Dikotomi keilmuan masih terjadi di negeri ini. Pesantren sebagai potret pendidikan yang mengajarkan agama saja dan sekolah yang hanya terfokus pada materi duniawiyah. Usaha penyatuan yang dilakukan pemerintah dalam bentuk madrasah, masih terbatas pada tumpang tindihnya kurikulum, dimana mata pelajaran umum dan agama dijejalkan kepada anak didik. Sayangnya, langkah ini masih jauh dari ekspektasi. Beban belajar yang terlampau banyak, malah memberatkan anak didik. Alih-alih menelurkan lulusan yang ahli agama sekaligus ilmu pengetahuan umum, banyak madrasah yang justru menghasilkan generasi mogol, serba setengah-setengah. Kita butuh konsep pendidikan yang mampu mengintegrasikan dua keilmuan tersebut, bukan sekedar menumpuknya.

Wallahu A’lam.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
1
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top