Sebagaimana bangsa pendatang lain, seperti India, Tionghoa, dan kaum Eropa, kedatangan Bangsa Arab menjadi salah satu unsur yang memperkaya anasir kekayaan bangsa Indonesia. Mereka datang dengan kepentingan masing-masing, baik motif ekonomi, keagamaan, hingga unsur kolonialisme. Di kemudian hari, mereka berasimilasi dengan kaum pribumi dan melahirkan “budaya peranakan”. Identitas mereka juga berubah, dari identitas asal sebagai the others, lantas berubah menjadi bagian dari “bangsa Indonesia”.
Soal kaum pendatang ini, saya teringat ungkapan dalam salah satu edisi Majalah Historia, kurang lebih, “Orang India, Arab, dan Eropa datang membawa agama, hanya orang Tionghoa yang datang tidak membawa agama, melainkan citarasa kuliner”. Hal ini bisa dimaklumi, karena agama orang Tionghoa sifatnya “agama kultural” seperti Konghucu, sedangkan di bidang citarasa, mereka membawa citarasa: dari bakso, tauco, bakwan, bakpao, bakpia, mie, kwetiau, tahu, dan kecap.
Jadi bisa diakui kalau kedatangan kaum imigran ini membawa misi dan tujuan yang berbeda, termasuk motif penyebaran agama. Dalam kajian tentang kedatangan ajaran Islam dan kaum Arab di Nusantara, yang ditulis oleh antropolog-sosiolog, seperti Snouck Hurgronje, LWC. Van Den Berg, Natalie Mobini Kesheh, Hub De Jonge, maupun Nico. J.G, Kaptein; maupun oleh “orang dalam” sendiri seperti Hamid al-Gadri, A. Majid Bahafdhullah, Abdul Qadir Umar Mauladawilah, Novel Muhammad al-Aidrus, maupun Idrus Alwi al-Masyhur; ataupun orang non-Arab seperti Hamka, A. Hasjmi, Agus Sunyoto, Azyumardi Azra, Budi Santoso, Fatiyah, dan sebagainya, kita bisa melacak alur periodesasi kedatangan bangsa Arab, jalur perjalanannya, tokoh-tokohnya, hingga alur penempatannya di koloni kecil yang disebut Kampung Arab. Termasuk pula kebijakan pemerintah kolonial Hindia Belanda, perjuangan para tokohnya di bidang agama dan kebangsaan, dan sebagainya.
Adapun buku yang dibahas pada artikel ini menyoroti keberadaan kaum Arab Hadrami di beberapa kawasan di Indonesia, khususnya di luar Jawa seperti Singaraja, Bali, dan Sumbawa, NTB. Frode F. Jacobsen, penulisnya, mewawancarai beberapa tokoh kaum Hadrami, serta menelusuri jejak kedatangan mereka dan leluhurnya, serta interaksi dan asimilasi yang terjadi di antara mereka dengan penduduk lokal. Istilah Hadrami, atau Hadharim, dinisbatkan kepada tanah leluhur mereka di Hadramaut, Yaman.
Selebihnya, buku karya Frode F. Jacobsen ini mengupas latarbelakang dan kontur geografis-sosiologis-kultural Yaman, tanah leluhur Kaum Hadrami, fase kedatangan, corak keterpecahan internal di antara mereka, pergulatan identitas, hingga kontribusi mereka dalam ruang lingkup kebangsaan Indonesia.
Harus diakui, dibandingkan dengan komunitas pendatang lain, kajian tentang kaum Arab di Indonesia masih minim dikupas. Walaupun di dalam konteks keberagamaan dan keberagaman dan bidang sosial kemasyarakatan mereka hadir dan berkontribusi, namun secara serius kajian akademis mengenai komunitas ini bisa dibilang masih terbatas. Belum lagi adanya kecenderungan komunitas di dalamnya yang menulis tokohnya dengan glorifikasi historis, disertai dengan legitimasi klannya dan subjektifitas yang kadangkala malah anakronistik. Di satu sisi mungkin bisa dipahami karena penulisnya melahirkan karya untuk kalangan sendiri atau pengikutnya saja, sehingga jika ditelaah secara akademis juga rawan. Tapi, di sisi lain, ini merupakan bentuk kekayaan intelektual yang juga harus dihargai.
Masih jarangnya kajian yang serius atas komunitas Arab di Indonesia, ataupun jika ada sifatnya tidak utuh, antara lain akan menimbulkan dampak kesalahpahaman terhadap komunitas Arab ini. Misalnya, hingga saat ini masih ada anggapan bahwa semua orang Arab itu sama, baik dalam budaya dan unsur watak mereka. Anggapan homogen ini berawal dari ketidaktahuan bahwa komunitas Arab yang datang ke Indonesia melalui beberapa tahapan (angkatan kedatangan) berasal dari Hadramaut (Yaman), bukan dari kawasan Hijaz dan Najd (Saudi Arabia saat ini).
Padahal ada banyak unsur yang membedakan latarbelakang bangsa Arab di berbagai kawasan ini, baik ideologi keagamaan, kecenderungan budaya, juga perbedaan geografis yang mempengaruhi corak berpikir dan karakter masyarakatnya.
Judul: Hadrami Arabs in Present-Day Indonesia: An Indonesia-oriented Group With an Arab Signature
Penulis: Frode F. Jacobsen
Penerbit: Routledge Contemporary Southeast Asia Series, New York, 2009
Keterbelahan Identitas Generasi Awal dan Kemantaban Identitas Generasi Pelanjut
Buku ini antara lain mengupas arus kedatangan kaum Hadrami—sebutan bagi pendatang asal Yaman—ke Indonesia dalam beberapa periode keberangkatan. Kaum imigran ini datang dengan motif ekonomi, untuk mencari penghidupan yang lebih baik; unsur dakwah, untuk memperkuat keislaman di tanah yang akan ditempati; hingga motif keamanan, karena banyaknya konflik yang terjadi di tanah kelahirannya.
Mereka kemudian hadir dan berintekasi dengan kaum pribumi di lokasi baru, dengan kebudayaan, lingkungan sosial, dan kontur geografis yang berbeda dengan di tanah asalnya. Interaksi antara kaum imigran dengan pribumi ini kemudian melahirkan pergulatan identitas, antara kaum tua (wula>yati>) dengan kaum peranakan (muwallad).
Kaum tua masih kokoh menjaga identitas kultural dengan tanah kelahirannya, merasa jika dirinya adalah Arab “totok”; kesetiaan dalam budaya, perilaku tata krama, hingga unsur strata sosial, dan identitas “keAraban”. Sedangkan generasi kedua, yang lahir kaum imigran Arab totok, maupun penanakan Arab dengan pribumi (muwallad), merasa lebih nyaman dengan “identitas baru”-nya. Mereka menganggap apabila Yaman bukan bagian tanah airnya, melainkan Indonesia adalah tumpah darahnya.
Adanya kaum muwallad ini, antara lain karena generasi ayah dan kakeknya, datang ke Indonesia tidak disertai istri. Mereka bujangan, atau minimal beristri di negeri asalnya, lantas menikahi perempuan pribumi. Dari perkawinan ini, lahirlah kaum Peranakan (hlm. 22). Gelombang kedatangan kaum Arab dan juga semakin membesarnya komunitas ini kemudian disiasati oleh pemerintah kolonial dengan membuat basis kependudukan di kawasan-kawasan tertentu yang disebut Kampung Arab.
Keberadaan Kampung Arab ini, bisa dijumpai di beberapa pulau di Indonesia. Di Jawa, keberadaan mereka ada di Jakarta, Pekalongan, Tegal, Cirebon, Jember, Bondowoso, Pasuruan, Malang, Gresik, dll. Di Bali ada di Singaraja. Di NTB kaum Arab berbasis ada di Sumbawa, sebaliknya, di NTT mereka berkerumun di Kupang dan Sumba. Di Sumatera mereka berkoloni di Palembang, Deli Serdang, Jambi, dan Aceh.
Di Kalimantan, Kampung Arab dijumpai Banjarmasin dan Pontianak. Di Madura, mereka ada di Bangkalan dan Sumenep. Di Sulawesi, mereka ada di Palu, Makassar, Gorontalo, Donggala dan Manado. Di kawasan Maluku, keberadaan komunitas Arab ada di Ambon, Ternate, dan Banda Neira. (selengkapnya baca, Majid Hasan Bahafdhullah, “Dari Nabi Nuh Sampai Orang Hadhramaut di Indonesia: Menelusuri Asal-Usul Hadharim”, hlm. 167-194). Beberapa Sa>dat ‘Alawiyyin, keturunan Rasulullah di generasi awal bahkan merintis atau melanjutkan kerajaan/kesultanan, seperti Kesultanan Pontianak, Siak Sri Indrapura, Sambas, Pelalawan, Riau-Lingga, dan sebagainya.
Di era kolonial, setelah adanya Terusan Suez dan penemuan mesin uap, kedatangan kaum Hadrami juga meningkat, apalagi di negaranya terjadi konflik politik antara klan al-Kathiri dengan al-Qu’ayt}}i (1867-1967). Gelombang migrasi ini diawasi oleh pemerintah kolonial. Jika orang Tionghoa diwajibkan menghuni Kampung Pecinan, maka orang Arab dibikinkan koloni kecil yang disebut Kampung Arab. Komunitas ini dipimpin oleh tokoh yang diberi pangkat titular. Mayor untuk populasi besar, Kapiten untuk komunitas sedang, dan Letnan untuk populasi sedikit. Walaupun kepangkatan titular sudah ditiadakan semenjak Indonesia merdeka, namun pengaruh beberapa tokohnya masih bisa dirasakan hingga saat ini.
Secara ideologis dan interaksi sosial di antara kaum Arab Hadhrami juga ditandai dengan pembagian “stratifikasi sosial”, dari para Sa>dat ‘Alawiyyin atau yang disebut sebagai kaum Syari>f/Asyra>f, habi>b/haba>ib, kelompok syai>kh/masya>yikh, dan kubu qabi>lah/qaba>il. Stratifikasi sosial semacam ini ada sejak era Habib Syekh bin Abu Bakar (w. 1584 M./992 H) di Yaman (selengkapnya baca di Natalie Mobini Kesheh, Hadrami Awakening: Kebangkitan Hadrami di Indonesia, hlm. 21). Dimana penanda ini kelak juga berimplikasi pada pekerjaan dan identitas sosial serta ideologi.
Kaum Habib>/Haba>ib fokus di bidang penyebaran agama dan pemeliharaan identitas keislaman, karena merupakan keturunan Rasulullah. Selain menjadi ulama, banyak pula yang menjadi mufti dan qad>i, juga menjadi juru damai apabila ada konflik kesukuan di Yaman. Di antara penandanya dilihat dari nama fam/marga, antara lain Alatas, Assegaf, al-Jufri, al-Hamid, al-Habsyi, al-Idrus, Bin Syekh Abu Bakar, Bin Yahya, Bilfaqih, Bafaqih, Baharun, Syihab, Syahab, dan sebagainya. Kebanyakan juga memiliki pesantren atau majelis taklim.
Di kemudian hari, klan ini banyak pula yang menyeberang lintas profesi, dari penulis, penyanyi, musisi, pesepakbola, artis sinetron, menteri, pengusaha, dan bahkan menjadi penjual toko kelontong. Sebagian bahkan juga lebih lentur dalam soal perkawinan, tidak lagi menikahi sesama kaum Hadrami, dan sebagian tidak lagi menggunakan nama fam-nya di belakang nama awalnya. Misalnya sejarawan Rusdhy Hoesein. Ketika membaca memoarnya, Berbagi Api Kehidupan: Dokter, Sejarawan dan Kurator Museum yang ditulis oleh Rudi Pekerti (Jakarta: Kompas, 2020), saya baru tahu jika dokumentator sejarah ini juga keturunan Arab Hadrami bermarga Al-Aidrus. Di generasi sebelumnya, ada juga Abdul Mutalib Danuningrat, yang bermarga Basyaiban, namun tidak pernah mencantumkan nama fam-nya di belakang namanya. Dia pernah menjabat sebagai Menteri Kelautan era Sukarno. Di fase yang lebih klasik, ada pelukis legendaris Raden Saleh Bustaman yang bermarga Bin Yahya (selengkapnya bisa dibaca di Kiprah, Karya, dan Misteri kehidupan Raden Saleh: Perlawanan Simbolik Sang Inlander, karya Katherina Achmad).
Sedangkan Syaikh/Masya>yikh, merupakan kelompok cendekia lain, yang juga menyebar dalam alur profesi yang variatif. Ada yang menjadi ulama, ada juga yang menjadi saudagar, diplomat, menteri dan sebagainya. Dari namanya, bisa diidentifikasi sebagai Bafadhal, Bahumaid, Baraja, Baharmus, Bawazir, Bajamal, Baswedan, Makarim, Basyu’aib, Bahasuan, dll. Adapun qabi>lah/qabail, ditandai dengan nama, dari Attamimi, al-Kathiri, dll. Sebenarnya ada satu kelompok lain, yaitu kaum d}u’afa dan masa>kin, tapi keberadaannya, sayang sekali, seringkali luput dari kajian para sosiolog dan antropolog.
Dalam ruang berorganisasi, kaum Hadrami juga memiliki pilihan berbeda. Kelompok S>a>dat ‘Alawiyyin alias keturunan Rasulullah bergabung dalam organisasi seperti Jamiyyatul Khair, Rabithah Alawiyah, Nahdlatul Ulama, al-Khairat, dan Front Pembela Islam. Sedangkan Masya>yikh maupun Qab>ail biasanya mengikuti organisasi al-Irsyad, ada juga yang bernaung di bawah Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), salah satu organisasi Islam yang didirikan oleh Muhammad Natsir, pada 1967.
Walaupun dari satu rumpun yang sama, namun polarisasi ketiganya antara lain, terjadi karena persinggungan sosial di negeri asalnya, yang berimbas pada relasi antara internal kaum Hadharim di Indonesia. Selain perbedaan strata sosial dan ekonomi, seringkali karena aturan ketat dalam soal pernikahan yang disebut kafa’ah atau ketersamaan derajat. Polemik ini juga masih berlangsung hingga saat ini. Frode F. Jacobsen secara khusus juga mengulasnya dalam Bab 5 buku ini melalui sub-artikel panjang, Between Ideologies of Equality and Social Stratification (hlm. 61-72).
Saleh, salah satu kaum tua keturunan Hadramaut, yang menjadi salah satu subyek wawancara Jacobsen, kukuh menolak stratifikasi sosial ini. Latarbelakangnya sebagai aktivis organisasi al-Irsyad, salah satu wadah kaum Hadrami di Indonesia, juga memperkuat asumsi ini. Baginya sistem “kasta sosial” ini sudah tidak berlaku. Dia juga menjelaskan alasannya dengan panjang lebar kepada Jacobsen. Setuju atau tidak, dan harus diakui, permasalahan ini merupakan perkara yang sejak dulu diperdebatkan di kalangan Hadrami. Sebagian setuju, sebagian menolak. Bahkan soal identitas keotentikan para Sa>dat Alawiyyin sebagai “Hadhrami”, dia menolak. Baginya, “…only Mash>ayikh and Qaba>il people really Hadhrami.” (hlm. 63).
Saleh merupakan seorang imigran Arab yang menceritakan perjalanan panjangnya hingga ke Sumbawa, NTB. Dia lahir pada 1920, di Inat, Hadramaut, Yaman, lalu pada usia empat tahun diajak ayahnya bermigrasi ke Ethiopia. Di sini, ayahnya berjualan rokok. Lalu berpindah lagi ke Nairobi, lantas ke Mombassa, dua kota di Kenya. Merasa ekonominya tidak kunjung membaik, ayahnya mengajaknya berangkat ke Singapura, lantas melanjutkan perjalanan ke Surabaya. Hanya beberapa hari di sini, ayahnya segera memboyongnya ke Alas, Sumbawa Besar, NTB; dan di sini ekonomi keluarganya membaik. Bahkan, di kemudian hari, dia mendirikan pabrik tekstil yang berkembang hingga dia mampu mendirikan 3 masjid di era 1990-an. Ketika ia berniat mendirikan rumah sakit, ekonomi Indonesia ambruk. Cita-citanya tertunda. Adik Saleh, Hakim, berangkat dari Alas, Sumbawa Besar, menuju Kampala, Uganda, untuk berbisnis di sana. Sayang, dia terbunuh akibat kebijakan “chauvinistik” Presiden Idi Amin yang rasialis dan mengusir kaum imigran pada 1975. Ketika diwawancarai Jacobsen, Saleh yang dididentifikasi oleh Jacobsen sebagai bagian dari Wula>yati (Arab Totok), sudah berusia 80 tahun (hlm. 16-17).
Berbeda dengan Wula>yati yang lahir di Yaman, dan kedatangannya di era kolonial membuatnya menganggap Indonesia sebagai “tanah singgah”, dan Yaman sebagai tanah airnya, maka terjadi perubahan identitas pada generasi Arab Peranakan atau Muwallad. Mereka lahir di era kolonial, namun besar di era perjuangan fisik kemerdekaan. Kebersamaan dalam mengalami suka duka bersama penduduk lokal, membuatnya mantab sebagai “penduduk Indonesia” dan menganggap apabila Yaman hanya sebagai tanah leluhur, sedangkan mereka bertumpah darah Indonesia.
Huub de Jonge, sosiolog Belanda, juga mengupas pergulatan identitas kaum Hadharim ini dalam bukunya, Mencari Identitas: Orang Arab Hadhrami di Indonesia (1900-1950) (Jakarta: KPG, 2019). Buku ini sangat menarik jika disandingkan dengan karya Frode F. Jacobsen yang saya resensi kali ini. Jika De Jonge fokus pada kurun waktu tertentu, maka Jacobsen menitikberatkan pada aspek sosiologis di beberapa komunitas Arab Hadhrami di Indonesia.
Banyak di antara generasi kedua ini, atau Muwallad ini yang menjadi pejuang kemerdekaan, antara lain Abdurrahman Baswedan (diplomat, pendiri Partai Arab Indonesia), Husein Mutahar (pencipta lagu kebangsaan), Sultan Syarif Qasim, Hamid al-Gadri (diplomat), Sultan Syarif Hamid II al-Qadri, Abdul Muthalib Danurejo Basyaiban, dan sebagainya.
Kendati karya Jacobsen ini tidak begitu tebal (xii+132 hlm), namun ulasannya sangat padat diiringi beberapa referensi yang kaya. Bagi pembaca yang tertarik, isi buku dan serpihan topik dalam buku ini bisa dikembangkan menjadi riset selanjutnya, dengan spektrum yang lebih luas. Wallahu A’lam Bisshawab