Sedang Membaca
Kisah Perjalanan Haji KH. Mustofa Bisri 52 Tahun Silam: Dari Sulitnya Mencari Ibu dan Sang Adik, Merasa Diwelehke Tuhan, hingga Berdoa Minta Duit (1)
Luthfil Hakim
Penulis Kolom

Alumni Pesantren Tarbiyatul Mubtadiin, Danawarih, Balapulang, Tegal dan Alumni Pesantren Misbahul Huda Al-Amiriyah, Kambangan, Lebaksiu, Tegal.

Kisah Perjalanan Haji KH. Mustofa Bisri 52 Tahun Silam: Dari Sulitnya Mencari Ibu dan Sang Adik, Merasa Diwelehke Tuhan, hingga Berdoa Minta Duit (1)

Haji Sebuah Perjalanan Air Mata

Melaksanakan ibadah haji merupakan impian bagi setiap umat Islam yang bertaqwa untuk menyempurnakan rukun keislamannya, tak terkecuali KH. Mustofa Bisri atau akrab disapa Gus Mus yang juga pernah merindukan untuk melaksanakan ibadah haji ke baitullah.

Embrio keniatan untuk menunaikan ibadah haji ke baitullah Mekah dalam diri Gus Mus sebenarnya sudah tertanam sejak lama, namun karena dinamika keterbatasan yang ada keniatan tersebut baru terealisasi pada tahun 1970 ketika ayah Mbak Admin (Ienas Tsuroiyya) tersebut genap berusia 25 tahun.

Kala itu di usianya yang sudah genap 25 tahun dengan berbekal uang seadanya, Gus Mus muda yang masih berstatus sebagai mahasiswa di Universitas Al-Azhar Cairo. Gus Mus memulai perjalanan ibadah hajinya langsung dari Bumi Piramida. Sesampainya di Arab Saudi untuk menambah amunisi perjalanan ibadah haji, Gus Mus muda bekerja sebagai tenaga musiman di Kedutaan Besar Republik Indonesia yang terletak di kota al-Bab al-Haromain, Jedah.

Dengan wasilah sebagai staf Kedubes RI itulah Gus Mus akhirnya dapat menunaikan ibadah haji yang pertama pada tahun 1970. Saat pertama kali melihat Ka’bah secara riil di depan mata, Gus Mus merasa takjub dan merasakan sesuatu yang begitu sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata namun bisa dirasakannya, sehingga tanpa disadari air mata Gus Mus pun mengalir dengan deras dari kedua kelopak matanya dan mulai membasahi kedua pipinya menikmati kebesaran Allah SWT.

Baca juga:  Zarifa Ghafari, Wali Kota Perempuan Pertama Afghanistan dan Perjuangan Melawan Patriarki

Berenang di tengah-tengah lautan manusia yang terdiri dari berbagai suku, dan bangsa membuat Gus Mus merasa dhaif dan betapa kecil serta tidak berharga di hadapan Allah SWT sehingga dirinya merasakan sebuah ketakutan yang luar biasa yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

Susah Payah Mencari Ibu dan Adik

Di tengah-tengah perjalanan spiritual ibadah haji tersebut Gus Mus mendapat kabar bahwa Ibundanya bersama adiknya juga sedang menunaikan ibadah haji ke baitullah Mekah. Sebagai anak yang juga sedang berada di Mekah untuk menunaikan ibadah haji, hati Gus Mus merasa terpanggil untuk mencari keberadaan Ibu dan adiknya tersebut.

Gus Mus yang saat itu menjadi staf Kedubes RI merasa optimis bahwa untuk menemukan keberadaan ibu dan adiknya bukanlah perkara yang sulit, dengan berbekal sebagai staf Kedubes RI tentunya akan mempermudah pencarian ibu dan adiknya tersebut. Namun rasa optimisme tersebut dibayang-bayangi sedikit rasa pesimis jua, pasalnya untuk membelah lautan manusia, memilih dan memilah tenda kemah dari berbagai negara tentu itu bukan perkara yang mudah. Benar saja, dalam misi pencarian ibu dan adiknya tersebut Gus Mus dihadapkan dengan berbagai ragam kesulitan yang ada.

Pada mulanya Gus Mus menjalankan misi pencarian ibu dan adiknya tersebut dengan mendatangi tenda-tenda kemah yang berbendera merah putih, namun usaha tersebut belum membuahkan hasil. Pasalnya hampir seluruh tenda kemah yang berbendera merah putih pun telah didatangi oleh Gus Mus, namun kedua sosok ibu dan adik beliau tidak ada dalam rombongan tenda kemah tersebut.

Baca juga:  Buya Syafii Menyatukan Kami

Berhari-hari beliau melakukan “sa’i” atau wira-wiri Mekah-Madinah, dan “thawaf”  berputar-putar di tanah haramain tersebut untuk mencari ibu dan adiknya, namun kedua sosok yang beliau cari tidak ketemu juga. Hingga ahirnya prosesi ibadah haji mendekati batas limitnya, dan memasuki tanggal 10 Dzulhijjah 1389 H.

Setelah Gus Mus melakukan wukuf di Arafah dan mabit di Muzdalifah serta mulai memasuki Mina pada tengah malam, esok pagi harinya pun beliau mulai melakukan lempar jumrah aqobah. Usai melempar jumrah di Padang Arafah beliau merasa hopeless akan pencarian ibu dan adiknya tersebut. Tak berselang lama kemudian beliau mulai berdoa kepada Allah SWT dengan bahasa Jawa agar segera dipertemukan dengan ibu dan adiknya tersebut.

Ada alasan tersendiri dari Gus Mus kenapa beliau berdoa untuk hal yang urgent tersebut menggunakan bahasa Jawa dan tidak memakai bahasa Arab. Menurut beliau dengan mengemban predikat sebagai dzat yang Maha Komunikasi, tentunya Allah SWT akan memahami apa yang beliau mohonkan di tengah-tengah padang Araafah tersebut hatta permohonan tersebut dipanjatkan dengan bahasa Jawa.

Setelah selesai bermunajat cinta, dan merasa mendapat booster dari sang Maha Komunikasi, beliau kemudian mulai melangkahkan kedua kakinya bejalan-jalan di sekitaran Arafah melanjutkan misi pencarian ibu dan adiknya tersebut di bawah sengatan matahari yang terik. Namun demikian semakin lama mencari ahirnya beliau pun merasa kepayahan juga, sejurus kemudian Gus Mus pun berinisiatif untuk menumpang istirahat di depan sebuah rumah milik salah satu penduduk Arafah.

Baca juga:  Ulama Banjar (62): KH. Baijuri Bin H. Mansyur

Tanpa diduga sebelumnya Gus Mus dihampiri oleh seorang Syekh yang kemudian menanyakan dirinya. Setelah spak spik basa-basi sebentar, Gus Mus pun melontarkan pertanyaan kepada Syekh tersebut tentang siapa saja jamaah yang tinggal di rumahnya. Selangkah kemudian Syekh tersebut menjawab dengan detail sejumlah jemaah dan asal negaranya. Ketika menyebut nama Indonesia, Gus Mus pun secara spontan meminta izin kepada Syekh tersebut untuk menengoknya. Tanpa dinyana dan diduga, ndilalah (biidzniLah) kedua sosok ibu dan adik Gus Mus yang selama berhari-hari beliau cari ternyata tinggal dirumah Syekh tersebut.

Gus Mus pun merasa bahagia sekali karena Allah SWT telah mengabulkan doanya, dan mempertemukan dirinya dengan ibu, dan sang adiknya yang telah dicarinya selama berhari-hari.

Sumber tulisan:  Haji Sebuah Perjalanan Air Mata (Pengalaman Beribadah Haji 30 Tokoh) karya Mustofa W. Hasyim & Ahmad Munif, (Yogyakarta: Bentang, 1993).

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top