Salah satu faktor besar yang mendasari keberhasilan dakwah Islam di penjuru dunia adalah Tawassuth. Misalnya, konsep konstitusi Madinah atau kita kenal dengan Piagam Madinah yang digagas oleh Rasulullah. Konsep ini melahirkan kesepakatan bersama antara kaum Muslim Madinah dengan kaum non muslim dalam membangun tatanan kehidupan sosial dan menjaga perdamaian antar kelompok.
Tawassuth atau moderat merupakan corak atau karakter yang menonjol dalam beragama ala ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah. Ia tercermin dalam keberimbangan antara dalil aqli dan naqli, berada di tengah-tengah dengan tidak condong ke kanan (ekstrim) maupun ke kiri. Sehingga, pada akhirnya tawassuth melahirkan sikap yang tidak gegabah dalam menghukumi atau menvonis sesuatu.
Penerapan sikap tawassuth atau moderat ini bisa kita jumpai dalam kitab-kitab klasik akidah Asy’ariah, salah satunya tertuang dalam bait Jauharoh Tauhid karangan Imam Ibrahim al-Laqqoni (304):
إِذْ جَائِزٌ غُفْرَانُ غَيْرِ الْكُفْـر #ِ فَـلاَ نُكَـفَّـرْ مُؤْمِـنًـا بِـالْـوزْرِ
“Karena boleh mengampuni dosa selain kafir. Maka tidaklah kita mengkafirkan seseorang karena dosa”
Imam Ibrahim al-Bajuri salah satu pensyarah kitab ini menjelaskan bahwa karakter ahlu al-Sunnah wa-al-Jama’ah dalam beragama adalah tidak mengkafirkan pelaku dosa kecuali kekufuran dengan syarat tidak menganggap halal suatu yang diharamkan oleh syariat seperti mencuri, berzina dan lain sebagainya.
Beliau juga menegaskan bahwa ajaran tawassuth ini untuk mengeluarkan kelompok-kelompok lain di luar ajaran ahlu al-Sunnah Wa-al-Jama’ah seperti Khawarij dan Mu’tazilah. Karena, kelompok Khawarij menvonis kafir bagi semua pelaku dosa besar. Tak hanya itu, mereka juga menjadikan semua dosa masuk dalam kategori dosa besar.
Adapun Mu’tazilah, mereka mengeluarkan pelaku dosa besar dari status keimanan dan menempatkannya di posisi manzilah baina al-Manzilatain. Tetapi meskipun begitu, pelaku dosa besar tetap kekal dalam neraka menurut pandangan mereka.
Maka dapat kita simpulkan, bahwa kelompok Khawarij dan Mu’tazilah keduanya sama-sama menyakini bahwa pelaku dosa besar itu kekal di neraka. Sedangkan di dunia, keduanya berbeda pendapat mengenai sebutan mereka. Khawarij menghukumi bahwa mereka kafir, sedangkan Mu’tazilah mengatakan “bukan kafir dan bukan muslim”.
Selanjutnya, implementasi konsep Tawassuth juga tertuang dalam bait setelahnya yang berbunyi:
وَمَنْ يَمُتْ وَلَمْ يَتُبْ مِنْ ذنْبِهِ # فَـأَمْـرُهُ مُـفَــوَّضٌ لِـرَبِّــهِ
“Barang siapa yang meninggal dalam keadaan belum bertaubat. Maka urusannya nanti diserahkan kepada Tuhannya”.
Dalam bait ini, Imam Bajuri juga menjelaskan bahwa ketika ada pelaku dosa yang meninggal dalam keadaan belum bertaubat, maka kita tidak diperbolehkan menvonis dia mendapatkan siksaan dari Allah. Lantaran rahmat dan ampunan Allah yang begitu luas bagi seluruh hambanya. Tak hanya itu, jikalau memang kita mentakdirkan dia tetap mendapatkan hukuman dari Allah, maka kita tidak diperbolehkan menyakini bahwa ia kekal di neraka.
Dalam paparan tulisan yang sudah disampaikan, kita dapat mengambil sebuah kesimpulan bahwa tawassuth yang dikemukakan madzab Asy’ari berdiri di bawah Al-Qur’an dan Hadis Nabi Muhammad SAW. Misalkan dalam Al-Qur’an, Allah berfirman dalam surat Az-Zumar ayat 53:
قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
“Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Dan dalam hadis Nabi Muhammad riwayat Imam al-Bukhari dan Muslim beliau bersabda:
من قال لا إله إلا الله دخل الجنة
“Barang siapa yang berucap La Ilaha Illa Allah, maka ia masuk surga”.
Terakhir, kita sebagai manusia di zaman yang berkemajuan ini seyogyanya menerapkan sikap tawassuth dalam segala aspek kehidupan. Terlebih kita sering disuguhi oleh pandangan-pandangan ekstrem dalam kontestasi panggung politik maupun pemilu. Sehingga, tidak menimbulkan gesekan perpecahan dan permusuhan pada masyarakat. Tetutama jika hal demikan bersinggungan dengan aspek keagamaan. Seperti yang telah disabdakan oleh Nabi Muhammad SAW:
خير الأمور أوسطها
“Sebaik-baik perkara adalah yang moderat”