Sedang Membaca
Dua Sisi Manusia: Kulli dan Juz’i
Ulil Abshar Abdalla
Penulis Kolom

Founder Ngaji Ihya Online, aktif menulis dan ceramah tentang pemikiran keagaman. Menulis beberapa buku, antara lain Menjadi Manusia Rohani (Alif.ID). Dosen Unusia, Jakarta.

Dua Sisi Manusia: Kulli dan Juz’i

Tubuh manusia itu bersifat “juz’i”, partikular. Sebagai tubuh, manusia hanya bisa berada di sebuah tempat yang terbatas, misalnya, di sini, di Bekasi. Sebagai tubuh, manusia tidak bisa berada di beberapa tempat secara bersamaan. Itulah makna bahwa manusia adalah makhluk “juz’i” dari segi tubuh dan jasadnya.

Tetapi sebagai roh dan spirit, manusia adalah makhluk “kulli”, universal. Melalui pikirannya, manusia bisa menjangkau hal-hal yang paling jauh, bahkan bisa membayangkan hal-hal yang “ma’dum”, hal-hal yang tak atau belum ada. Bayangan ini punya akibat yang ajaib.

Melalui bayangan dan fantasinya, manusia bisa mengubah hal-hal yang “ma’dum”, tak ada, menjadi “maujud”, ada. Inovasi-inovasi besar dalam sejarah manusia berlangsung melalui mekanisme ini.

Dengan kata lain, manusia adalah makhluk juz’i dan kulli sekaligus, makhluk yang terbatas, tetapi juga sekaligus tidak terbatas. Kebahagiaan manusia akan terbit jika ia menyadari natur atau wataknya yang ganda seperti itu.

Saya ingin terapkan wawasan ini dalam contoh yang kongkrit. Kemusliman kita (ini bisa berlaku untuk agama-agama lain juga!) akan membawa rahmat jika kita bisa menjadi Muslim yang juz’i dan kulli sekaligus.

Apa maknanya ini? Menjadi Muslim yang “kulli” artinya adalah mengikuti ajaran-ajaran Islam yang berlaku universal, yang dipraktekkan di mana-mana secara seragam: dari yang sifatnya ubudiyyah, ritual, seperti salat, hingga yang doktrinal seperti ajaran tauhid, atau yang bersifat normatif, seperti nilai-nilai keadilan, kedamaian, persaudaraan, kesetaraan, dll.

Baca juga:  Muslim dan Dunia Sains (1): Al-Kindi, Sang Pionir Ilmu Optika

Tetapi menjadi Muslim yang kulli tok tidak cukup. Kita juga harus menjadi Muslim yang juz’i, yakni menjadi Muslim yang kongkrit dan riil, berjejak di bumi atau tempat yang juz’i, di ruang yang jelas.

Menjadi Muslim yang juz’i maknanya ialah melaksanakan Islam dalam konteks kebudayaan lokal yang menghidupi kita. Islam yang kulli harus diberikan tubuh dan jasad yang jelas, yaitu kebudayaan dan adat-istiadat setempat.

Islam yang dilaksanakan dengan wasasan seperti ini, insyaallah, akan membawa rahmat. Yaitu Islam yang kulli dan juz’i sekaligus. Jika seorang Muslim hanya menekankan aspek-aspek kulli saja, mengabaikan yang juz’i, maka akan timbul masalah besar. Sebab, akhirnya Islam dibenturkan dengan kebudayaan-kebudayaan lokal.

Tetapi menjadi Muslim yang juz’i tok juga tidak memadai. Sebab, jika kita hanya menekankan aspek-apsek keislaman yang juz’i saja, kita akan kehilangan perspektif tentang universalitas Islam.

Karena manusia adalah makhluk juz’i dan kulli sekaligus, maka cara menerjemahkan Islam (atau agama apapun) juga tak bisa mengabaikan aspek kegandaan dalam diri manusia ini.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
2
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
1
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top