Sedang Membaca
Konsep Titik Temu dalam Budaya Pela-Gandong di Maluku

Dosen Psikologi IAIN Ambon.

Konsep Titik Temu dalam Budaya Pela-Gandong di Maluku

Gong Perdamaian Di Maluku (www.1001indonesia.net)

Setiap daerah di Indonesia memiliki konsep kebudayaan yang sangat khas. Lahirnya beberapa konsep kebudayaan sebetulnya tidak langsung jadi, melainkan melalui pergumulan yang cukup panjang. Konsep kebudayaan di Maluku seperti pela-gandong misalnya, ini lahir dari proses sejarah perang antar-suku, pengayauan, dan lain-lain.

Belajar dari pengalaman destruktif seperti itu, maka masyarakat Maluku kemudian melahirkan konsep kebudayaan pela-gandong, yang nanti dibahas secara detail berikut ini.

Coley mengatakan konsep pela terbentuk sebelum datangnya agama-agama Abrahamik di Maluku. Yang kami maskud dengan agama Abrahamik ialah Islam dan Kristen. Penyebaran agama Islam di Maluku kebanyakan dibawa saudagar Arab yang sempat singgah di daerah Jawa seperti Tuban, Kediri, Giri, dll (Adnan Amal, Kerajaan Rempah-rempah). Ajaran Islam yang dibawa ke Maluku sangat bernuansa sufistik bermazhab Syafi’i. Buktinya, bisa kita temukan dalam beberapa kapata (sastra lisan) di Maluku yang menuturkan setiap peristiwa di masa lampau, ada sebutan gelar maulana di dalamnya (Latupapua, Maspaitella, Solissa, Somelok, dan Lelapary, 2012). Kata maulana sendiri identik dengan gelar sufistik. Dalam kepercayaan orang Maluku di sekitar pulau Haruku dan Saparua, ada seorang ulama bergelar maulana yakni Syaikh Maulana Malik Ibrahim, beliau dipercayai sebagai ulama yang mensyiarkan Islam di pulau Saparua. Sedangkan, pengaruh ajaran Kristen di Maluku dibawa oleh misionaris yang datang bersama Belanda (Tiwery, 2015). Meskipun demikian, perlu kita luruskan bahwa sebetulnya tidak ada kaitan antara proses penyebaran ajaran Kristen dengan proses penjajahan yang terjadi kala itu (Yudi Latif, Negara Paripurna). Sebab, misi ajaran Kristen ialah menciptakan kedamaian dan ajaran kasih melalui pendidikan, sehingga waktu itu banyak sekolah-sekolah misionaris didirikan di Maluku. Hal ini berbeda dengan semangat kolonialisme dari penjajah kala itu.

Baca juga:  Pela dan Sasi: Penjaga Kerukunan Masyarakat Maluku

Konsep kebudayaan pela diartikan sebagai ikatan kekerabatan atas dasar sumpah yang dilakukan antar dua atau lebih raja di Maluku. Ada dua jenis pela (Tiwery, 2015) yakni pela darah dan pela tempat siri. Pela darah ialah pela keras, yang mana tali kekerabatan antar-suku atau lebih diangkat melalui sumpah darah. Jika sumpah ini dilanggar masyarakat, maka akan mendatangkan malapetaka, misalnya warga mengalami kematian mendadak, atau kekeringan berkepanjangan. Sedangkan, pela tempat siri ialah pela lunak, yakni pengangkatan tali persaudaraan antar dua suku atau lebih didasarkan atas kesepakatan lisan dan tertulis sambil memakan buah pinang dan siri. Hukum pela tempat siri bersifat lebih lunak, tapi mengandung hukum moral karena jika dilanggar akan mendatangkan kesengsaraan psikologis.

Pada saat agama-agama Abrahamik masuk ke Maluku, tali persaudaraan masyarakat sudah terjalin harmonis karena adanya konsep pela tersebut. Sehingga, hal ini memberi warna dalam cara beragama masyarakat Maluku yang lebih inklusif, toleran, moderat dan saling menerima dalam perbedaan di kemudian hari. Fakta ini bisa kita temukan dalam ungkapan Sultan Khairun Ternate bahwa, “Agama saya dan agama anda memiliki tujuan yang sama. Lantas, untuk apa saya harus menggantikan agama saya” (Adnan Amal, Kerajaan Rempah-rempah). Pernyataan Sultan Khairun itu sarat dengan nilai-nilai inklusif dan moderat dalam beragama. Bahkan, dalam praktik kehidupan sehari-hari misalnya bisa kita temukan antara Haria dan Siri-Sori Islam. Haria termasuk desa berpenduduk kristen ber-pela dengan Siri-Sori Islam. Tali persaudaraan kedua penduduk desa itu masih terjalin harmonis sampai detik ini. Tak hanya Siri-Sori Islam dan Haria, bahkan beberapa desa lainnya juga mengalami suasana serupa di Maluku.

Baca juga:  Islam di Banjar (2): dari Syekh Arsyad hingga Kontestasi Ustaz Baru di Medis Sosial

Selain pela, dalam sejarah orang Maluku juga melahirkan konsep gandong. Gandong menurut Tiwery (2015) ialah persaudaraan atau persahabatan yang terbentuk karena ikatan geneologis di masa lampau. Hal ini berdasarkan fakta sejarah bahwa pada dasarnya semua orang Maluku itu bersaudara, yakni berasal dari ras Melanesia yang sama, artinya berasal dari leluhur yang sama. Sebelum lahir desa-desa adminstratif seperti sekarang ini, dulu para leluhur (tuan tanah) dari setiap desa semuanya bersaudara. Keterpisahan para leluhur kala itu disebabkan oleh perang antar-suku di pulau Seram, sehingga terjadi eksodus ke pulau-pulau kecil di sekitar pulau Seram seperti ke Saparua, Haruku, Nusalaut, Ambon, dan lainnnya. Di tempat yang baru, mereka (para leluhur) kemudian mendirikan perkampungan. Meskipun sudah terpisah jarak, namun hubungan geneologis mereka masih dipertahankan sampai detik ini. Untuk mengikat hubungan geneologis itu, maka para leluhur menuangkannya dalam kapata ialah salah-satu tradisi lisan yang dinyanyikan masyarakat saat ini ketika sedang mengadakan hajatan tertentu. Selain kapata, hubungan genologis para leluhur itu juga dituangkan dalam konsep kebudayaan gandong

Konsep kebudayaan pela dan gandong itu dalam prosesnya melahirkan hukum moral tersendiri bagi orang Maluku. Hal ini bisa kita lihat ketika saudara (muslim) sedang punya hajat membangun rumah ibadah, maka saudara (kristiani) di kampung sebelah turut serta membantu pembangunan rumah ibadah tersebut. Jika tidak, maka muncul perasaan “bersalah” yang dirasakan oleh kedua masyarakat tersebut. Perasaan “bersalah” ini berangkat dari hukum moral yang mengikat kedua masyarakat (muslim-kristen) tersebut.

Baca juga:  Didi Kempot, Ngaji Ihya, dan Jiwa yang Begitu-Begitu Saja

Sekilas konsep pela dan gandong memiliki karakteristik “titik-temu” yang khas. Dalam artikel ini, titik-temu diartikan sebagai ikatan persaudaraan kemanusiaan karena memiliki “nilai/semangat/spirit” yang sama dalam perbedaan. Dalam ajaran Islam, titik-temu di istilahkan sebagai kalimatun sawa’ (Nurcholish Madjid, Doktrin Islam Peradaban). Dalam negara-bangsa Indonesia, titik-temu mendapat tempat dalam Pancasila. Dan di dalam Pancasila, titik-temu tertuang dalam semangat gotong royong. Nilai-nilai “gotong royong” sangat selaras dengan konsep kebudayaan pela-gandong di Maluku. Karena pela dan gandong memiliki semangat gotong royong, maka hal ini selaras dengan pidato bung Karno pada 1 Juni 1945, dalam terjemahan bebasnya yaitu, “Pancasila ini sejatinya saya gali dari rahim kebudayaan masyarakat Nusantara (termasuk dari pela-gandong – tambahan kami)”. Jadi, semangat pela dan gandong ini sebetulnya ada di dalam ajaran agama dan Pancasila, sehingga konsep kebudayaan ini patut dipertahankan sampai anak cucu kelak demi keharmonisan bersama di Maluku.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
2
Ingin Tahu
2
Senang
1
Terhibur
1
Terinspirasi
1
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top