Sedang Membaca
Pangeran Diponegoro sebagai Santri Muda dan Santri Lelana
Saiful Hakam
Penulis Kolom

Peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Belajar sejarah di UGM. Tinggal di Bogor, Jawa Barat

Pangeran Diponegoro sebagai Santri Muda dan Santri Lelana

Waktu saya kecil, sosok Pangeran Diponegoro hanya bisa dijumpai lewat gambar-gambar yang ditempel di dinding sekolah. Bagi yang tinggal di Jawa Tengah, mungkin hanya ditambah patung-patung sang Pangeran di pinggir jalan atau tengah kota. Nyaris tidak ada gambaran Pangeran Diponegoro yang sampai di benak anak-anak sekolah, kecuali bahwa beliau “Pahlawan Nasional”. Selebihnya, lewat gambar dan patung, kita hanya disuguhkan gambar serban yang menjuntai, kuda yang gagah, keris yang menyelip.

Gambaran seperti itu belum beranjak saat saya masuk SMP, SMA, lalu saat awal masuk universitas di Jogjakarta. Memang sudah ada beberapa buku yang berusaha mengurai sosok sang Pangeran, tapi tetap saja, belum puas, Pangeran Diponegoro masih lebih terasa mitos daripada sosok sejarah. Namun, semua itu mendadak berubah setelah terbitnya serangkaian karya Peter Carey tentang Pangeran Diponegoro dalam bahasa Indonesia, utamanya yang berjudul Kuasa Ramalan.

Peter Carey menegaskan dengan jitu bahwa adalah benar Diponegoro lahir di istana. Namun, harus dicatat bahwa ia tumbuh besar di Tegalreja. Lingkungan yang didominasi oleh orang-orang taat agama, dengan nenek buyutnya, Ratu Ageng sebagai penguasa. Ratu Ageng adalah seorang putri saleh. Suaminya adalah Sultan Mangkubumi (Hamengkubuwono I).

Ia membaca banyak teks agama. Ia menjalin hubungan kuat dengan penghulu kraton. Tidak mengherankan jika Diponegoro akrab dengan kehidupan agama dan pesantren. Ia belajar Islam dengan dukungan nenek buyutnya. Para pejabat agama (penghulu) Kraton Yogya sering mengunjungi Tegalrejo (Peter Carey, 2008).
Kitab-kitab favorit Diponegoro antara lain Kitab Tuhfah. Ontologi sufi tentang doktrin eksistensi tujuh tingkat yang sangat dijunjung oleh orang Jawa dalam perbincangan filosofis tentang Tuhan dan dunia (Drewes 1966: 290-300). Ia juga akrab dengan risalah teologi dan mistisisme Islam, seperti usul fiqih dan tasawuf, puisi mistis Jawa seperti suluk, sejarah para nabi (Serat Anbiya) dan tafsir Alquran, dan karya-karya didaktik filsafat politik Islam seperti Serat as-salatin dan Taj as-salatin (Peter Carey, 2008).

Diponegoro juga akrab dengan Taqrib, Lubab al Fiqh, Muharrar dan Taqarrub (komentar tentang Taqrib). Ia menyebutkan dengan bangga koleksi pribadinya tentang kitab-kitab hukum Islam yang dititipkan kepada seorang kawan di Yogya selama Perang Jawa. Dengan demikian tidak mengherankan bahwa ia sangat kritis terhadap reformasi hukum tahun 1812 yang diajukan oleh pemerintahan sementara Inggris Thomas Stanford Raffles (1811-1816) yang merongrong otoritas kewenangan pengadilan agama (surambi) dalam kasus-kasus pidana (Carey, 2008 ).

Kitab-kitab yurisprudensi, teologi skolastik, tata bahasa dan tafsir Alquan diajarkan secara mendalam di pesantren di Jawa menurut survei resmi tentang pendidikan yang dilakukan pada tahun 1819 dan 1832. Di antaranya, Taqrib, Usul Fiqih, Nahwu dan Tafsir tampil menonjol. Diketahui juga bahwa teks-teks ini menjadi bahan rujukan di berbagai pusat hukum Islam dan terhubung dengan Pangeran Diponegoro. Minat pada karya-karya tentang yurisprudensi Islam dengan demikian adalah hal lumrah dan lazim jika melihat konteks pendidikan pesantren di Jawa tengah selatan tepat sebelum dan sesudah perang Jawa (Peter Carey, 2008).

Baca juga:  Sejarah Dramatis Kaidah Fikih Mazhab Syafi'i

Pada 1805, Diponegoro berproses menjadi seorang santri. Menjelang usia dua puluh tahun, Diponegoro menjalankan lelaku yang penuh makna. Menegaskan praktik spiritual masa mudan serta memperjelas nasib dan takdirnya sebagai pemimpin Jawa. Ketika dia berumur dua puluh tahun, ia menjalankan ritus peralihan, yakni lelana atau pengembaraan spiritual. Lelana adalah tradisi umum namun penting dalam khazanah tradisi spiritual dan intelektual Jawa.

Diponegoro menjelaskan dalam babadnya bagaimana ia pada usia dua puluh (tahun Jawa, pasca-April 1805) mengunjungi beberapa masjid dan pesantren di daerah Yogya.

Pentingnya kunjungan ini adalah untuk menyelesaikan pendidikannya sebagai santri dan untuk menemukan guru yang tepat untuk membimbing perkembangan spiritualnya lebih lanjut. Diponegoro mempersiapkan diri pengembaraan rohani dengan mengambil nama baru, Sheh Ngabdurrahim. Nama ini berasal dari bahasa Arab Syaikh Abd al-Rahim (Ricklefs, 1974). Nama ini mungkin disarankan untuk Diponegoro oleh salah satu penasihat agamanya mungkin Sheh al-Ansari di Tegalrejo. Sebenarnya, pergantian nama “Islam” semacam itu hal biasa di kalangan bangsawan Jawa. Para bangsawan Jawa biasanya berganti nama ketika mereka berziarah ke guru-guru agama dan ketika selesai menjalankan ziarah haji ke Mekah (Peter Carey, 2008). Sang pangeran mencukur rambut dan mengubah penampilan sebelum mengembara ke berbagai masjid dan pesantren agar tidak dikenali oleh kaum santri. Ia menyamar dengan baju sederhana. Dengan demikian, beberapa orang akan mengenalinya. Karena itu, ia menanggalkan baju kebesaran sebagai pangeran dan berganti mengenakan sarung tenun kasar, kancing baju yang tidak terlalu terbuka (kabaya) dan turban yang merupakan pakaian biasa kaum santri abad kesembilan belas (Peter Carey, 2008).

Ketika persiapan selesai, Diponegoro berangkat dari Tegalreja dan mulai menjadi santri pengembara yang khas. Ia mengunjungi banyak pondok dan masjid. Ia tinggal bersama kaum santri dan petani di asrama sangat sederhana. Tidak pasti sekolah agama mana yang dia kunjungi namun kemukingkina besar meliputi Gadhing, Grojogan, Sewon, Wanakrama, Jejeran, Turi, Pulo Kadang dan dua tanah pathok negari (bebas pajak) yakni Kasongan dan Dongkelan, semuanya berada di selatan Yogya ( Peter Carey, 2008).

Setelah dirasa cukup, menurut penuturan di babadnya, Pangeran Diponegoro berhenti menziarahi pesantren. Ia pergi menjahui daerah ramai melakukan asketisme. Waktu ini adalah tahap penting dalam pengembaraan Dipanegara. Ia melakukan ziarah di beberapa tempat keramat terutama tempat keramat paling penting dari wangsa Mataram Islam (Ricklefs, 1974).

Baca juga:  Kisah Tenggelamnya Qarun dan Kekayaannya

Masa lelaku ini memuat tirakat dalam kualitas tinggi. Tirakat adalah masa dari seorang laki-laki Jawa yang ingin mempersiapkan dirinya untuk melakukan usaha serius (Musim Dingin 1902, Carey 1974). Tirakat memberi kesunyian diri untuk membersihkan diri dari rasa pamrih. Pamrih adalah motif dan ambisi pribadi egois. Tirakat juga melegitimasi perilaku melalui kontak dengan leluhur yang telah meninggal dan juga wali-wali spiritual Jawa.

Wangsit pertama Diponegoro terjadi di gua Song Camal di distrik Jejeran di sebelah selatan Yogya. Sunan Kalijaga, salah satu dari sembilan rasul Islam (wali), muncul di hadapannya dalam bentuk seorang pria yang bersinar seperti bulan purnama. Dia memberi tahu dia bahwa sudah ditentukan oleh Dewa bahwa di masa depan dia akan menjadi raja (ratu). Setelah menyampaikan ramalan peringatan ini, visi itu segera menghilang. Lira sira ing benjing / dadi ratu ngiring-ngiring nuli musna. Bahwa di masa depan Anda / akan menjadi raja.

Menurut Peter Carey, pertemuan dengan Sunan Kalijaga dan ramalannya sebagai raja sangat penting bagi Diponegoro. Sunan Kalijaga adalah wali yang dihormati di Jawa Tengah bagian selatan. Ia adalah seorang penasihat raja. Dia adalah pelindung spiritual Wangsa Mataram. Legenda juga menganggapnya sebagai peran kunci dalam penyebaran Islam di daerah ini. (Solichin Salam 1963).

Kuburan Sunan Kalijaga di Kadilangu, dan masjid besar di Demak, dianggap oleh penguasa Jawa sebagai dua pusaka Jawa. Ziarah dari kraton rutin dikirim ke sana. Dalam masa Perang Jawa, keturunan Sunan Kalijaga, Pangeran Serang (1794-1854) dan ibunya, Raden Ayu Serang (1769-1855), sangat dihormati oleh para pengikut Diponegoro karena dianggap memiliki kasekten (Peter Carey, 2008).

Bahkan ada desas-desus bahwa Diponegoro akan menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada cucu Raden Ayu Serang Raden Mas Papak (Pangeran Adipati Natapraja), jika berhasil mengalahkan Belanda. Keturunan Kalijaga dianggap paling cocok menjalankan kekuatan spiritual di Jawa. Dengan demikian, visi waliyullah Jawa dan dukungan dari keturunannya membantu melegitimasi perjuangan Diponegoro (Peter Carey, 2008)
Namun, visi itu penting dalam hal politik adalah tentang Sunan Kalijaga dan delapan wali lainnya. Visi ini menjadi teladan bagi sang pangeran. Sang Pangeran melihat dirinya tidak hanya sebagai penguasa duniawi sementara tetapi juga sebagai penguasa spiritual Jawa. Corak politik ini seperti corak politik para pada abad kelima belas dan keenam belas yang memegang fungsi duniawi dan fungsi spiritual (Peter Carey, 2008). Memang, contoh wali terutama Kudus, Demak, dan Giri, sering menjadi bahan perdebatan antara Diponegoro dan para penasihatnya ketika mereka mencari konsensus selama perang mengenai tujuan pokok dan tujuan keagamaan mereka (Peter Carey, 2008).

Baca juga:  Merawat Manuskrip di Masjid Kuno Pasukan Pangeran Diponegoro

Sebelum terjadi perang Jawa, Diponegoro bermimpi bertemu delapan wali wudhar, yaitu wali yang menjalankan jabatan spiritual. Mimipi ini menegaskan dan menyakinkannya bahwa ia dipilih pandito-raja yang terakhir di Jawa. (Peter Carey, 2008).

Setelah tinggal di kampung Jejeran, Diponegoro melewati pedesaan menuju Imogiri, makam kerajaan atau pasarean para penguasa Mataram. Di sana, di Bakung, dekat kolam di puncak tangga besar menuju ke makam kerajaan, ia bersemedi selama seminggu.

Ia kemudian mengikuti sembahyang Jumat di masjid Jimatan. Ini aalah masjid jurukunci. Masjid ini dikenal secara resmi sebagai jimat.

Dalam babadnya, Diponegoro menceritakan bahwa semua Juru kunci mengenalinya. Mereka memberikan hormat dan takzim kepadanya. Itu indikasi betapa Diponegoro dikagumi oleh penghulu kerajaan, pejabat agama negara. Dan banyak dari mereka yang mendukungnya selama terjadi Perang Jawa (Peter Carey, 2008).

Pangeran Diponegoro juga berziarah ke makam buyutnya, Sultan Mangkubumi (Hamengkubuwana I) dan Ratu Ageng. Tempat terpenting ia melakukan meditasi adalah di Bengkung. Di tempat ini meditasinya ditujukan kepada Sultan Agung (memerintah 1613-1646). Sultan Agung adalah penguasa Mataram abad ketujuh belas dan sangat terkenal. Dari babad diponegoro, ia mengerti bahwa Bengkung adalah tempat istimewa dari Syltan Agung. Dalam sumber Jawa ditulis tak lama setelah Perang Jawa, di bawah perintah salah satu pangeran pro Belanda, diceritakan bahwa pangeran mengirimkan punggawa kepercayaannya berziarah ke makam Sultan Agung di Imagiri untuk meminta tanda. Pada tengah malam, nampak sebuah cahaya seperti piring beputar di sekitar tirai makam. (Peter Carey, 2008). jurukunci, Kyai Balad, menjelaskan bahwa ini berarti bahwa Tuhan menetapkan bahwa peperangan harus pecah di Jawa dan banyak darah akan tumpah.
Dalam otobiografinya, Diponegoro tidak menyebutkan tentang petanda atau wangsit. Tetapi, sang pangeran selalu merujuk nubuat, atau ramalan, Sultan Agung tentang batas waktu 300 tahun kekuasan Belanda di Jawa. Ia memang sangat kagum pada Sultan Agung. Diponegoro menyebutnya sebagai ahli spiritual, penguasa Islam, dan raja yang sepenuhnya lima rukun Islam. Satu kisah dari orang Eropa menceritakan bahwa ketika pasukan-pasukan Diponegoro mengepung Yogyakarta pada bulan Agustus 1825, Diponegoro bermimpi bertemu Sultan Agung dan memberikan petuah kepadanya.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top