Sebelum lanjut pada pembahasan lebih detil tentang kerja nilai-nilai saling menjalin kerjasama lintas kepercayaan dalam Al-Qur’an, terlebih dahulu penulis menukil salah satu ayat tentang larangan untuk memilih pemimpin non-muslim dalam Al-Qur’an. Sebagai berikut:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman!, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi auliya bagimu; sebahagian mereka adalah auliya bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi auliya, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang dhalim.” (Q.S. al-Maidah [5]: 51)
Dalam karya tulis Siti Rodiah, Tafsir Ulama Nusantara Tentang Kepemimpinan Nonmuslim, Yusuf Ali menerjemahkan kata “auliya” (wilayah) dalam ayat tersebut dengan friend and protectors (teman dan pelindung). Sementara Ibn Katsir, ketika mengomentari ayat di atas menyatakan bahwa hal itu tidak memperbolehkan muslim melakukan hubungan dengan non-muslim atau mengambil mereka sebagai pemimpin.
Begitu juga sikap al-Sayuthi dan Naisaburi. Menurut keduanya, kerjasama umat muslim dengan non-muslim hanya dapat dilakukan dalam masalah kecil dan ruang yang terbatas, tidak termasuk wilayah. Bahasan” wilayah” masuk dalam ranah politik, bahkan teologis dan masalah ini sudah diatur secara tegas oleh Al-Qur’an, yakni muslim tidak boleh menjalin kerjasama dengan non-muslim. Yang ada adalah masing-masing mengatur kehidupan sendiri-sendiri.
Pendapat yang agak moderat mengenai hal ini disampaikan oleh Yusuf Ali. Menurutnya ayat di atas memang menunjukkan larangan terhadap umat muslim untuk melakukan hubungan dengan Yahudi dan Nasrani. Akan tetapi larangan tersebut tidak bersifat mutlak, melainkan terbatas pada non-muslim yang bekerja sama menyerang dunia muslim. Larangan semacam ini yang memang beralasan, karena historisnya saat itu masyarakat muslim sedang menghadapi serangan Yahudi dan Nasrani.
Dalam catatan sejarahnya, ada salah satu kejadian yang kala itu umat muslim berlindung atau mencari suaka kepada Nasrani dari kekejaman Quraisy yang terjadi sekitar tahun ke-5 kenabian Rasulullah saw. Saat itu kaum muslim terbebas dari penganiayaan Quraisy. Pada awal kehidupan kota Madinah pun, Baginda Rasulullah saw pernag mengadakan pertahanan bersama serta perjanjian politik dengan non-muslim.
Dalam karya tulis Achmad Khudori Soleh dan Erik Sabti Rahmawati bertajuk Kerjasama Umat Beragama dalam Al-Qur’an: Perspektif Hermeneutika Farid Esack, Farid Esack tidak gegabah dalam masalah kerjasama lintas kepercayaan/agama. Dengan berpegang pada rambu-rambu yang diberikan ayat-ayat lain, Esack memberikan syarat-syarat mutlak yang harus diperhatikan dalam hal ini, baik untuk kepentingan internal maupun eksternal. Untuk kepentingan internal umat Islam, Esack memberi syarat dua hal yaitu:
Pertama, bahwa kerjasama dengan non-muslim tidak boleh sampai mengesampingkan sesama muslim sendiri (Q.S. Ali-Imran [3]: 28). Artinya kerjasama tersebut diperbolehkan jika basis pokok inspirasi dan dukungannnya untuk kaum muslim.
Kedua, bahwa Kerjasama dengan non-muslim boleh dilakukan jika hal itu dapat memberikan perlindungan jangka panjang terhadap Islam. Menurut Esack, hampir semua tokoh Islam di Afrika Selatan sepakat bahwa kerja sama dengan ahli kitab dan atheis diperbolehkan dengan tujuan pembelaan diri atau demi keamanan.
Namun masalah pembelaan diri dan demi keamanan tersebut menurut Esack harus di lihat secara ketat. Keamanan siapa?, dalam kategori apa? Sebab mereka yang melakukan kerjasama dengan non-muslim, rezim apartheid di di Afrika Selatan, tidak sedikit yang berdasarkan kepentingan keamanan pribadi, atau kepentingan finansial yang telah tertanam di negara tersebut.
Selain itu ada juga kerjasama dengan non-muslim demi kekuasaan dan kejayaan. Jenis kekuasaan ini berciri politis, sosial dan ekonomis. Berkaitan hal ini, ketentuan ketika seorang muslim akan menjalin kerjasama dengan pihak luar, Esack mematok kriteria sebagai berikut:
Pertama, bahwa non-islam yang diajak bermitra/kerjasama telah berikrar akan berhubungan baik/damai dengan umat Islam atau tidak menunjukkan permusuhan. (Q.S. an-Nisa’ [4]: 90, Q.S. al-Mumtahanah [60]: 8). Pendapat Al-Razi seperti yang dikutip Esack menyatakan bahwa Q.S. an-Nisa’ [4]: 90 berkaitan dengan konteks Islam yang kesulitan ikut hijrah bersama Nabi waktu itu, sehingga mereka mencari suaka kepada kaum lain yang terikat perjanjian damai dengan umat Islam.
Teks ini memperbolehkan orang muslim berhubungan dengan non-muslim, bukan lantaran kesamaan agama, tetapi semata karena mereka mempunyai hubungan politis dengan masyarakat Islam.
Kedua, yang diajak kerja sama bukan pihak yang menjelekkan umat Islam dan menjadikan Islam sebagai bahan ejekan, atau mempermainkan tanda-tanda dari Tuhan (Q.S. al-Ma’idah [5]: 57, Q.S. an-Nisa’ [4]: 140). menurut Essack, kejadian di seputar turunnya ayat ini merujuk pada orang-orang yang mengejek agama Islam dan mengolok olok ayat-ayat Tuhan. Al-Qur’an sangat mencela praktik penghinaan seperti itu dan melarang umat Islam melakukan hal serupa terhadap orang lain, karena hal itu bertentangan dengan tujuan dan semangat beragama.
Dengan demikian, kerja sama antar umat beragama tidak masalah dan bahkan diperbolehkan oleh Al-Qur’an dengan beberapa catatan seperti yang telah dipaparkan di atas. Farid Esack membagi beberapa kriteria diperbolehkannya menjalin kerjasama antar agama yaitu dengan dasar ketika keduanya sudah menjalin/terikat perdamaian satu sama lain, tidak menjatuhkan/menjelekkan/menjajah umat muslim, dan tidak adanya kepentingan-kepentingan pribadi yang harus dihindari.