Konon, sebagaimana diriwayatkan oleh As-Suddi dalam kitab Asbabun Nuzul Lil Wahidi, orang-orang Yahudi pada zaman Sulaiman banyak menuliskan tentang teknik-teknik sihir untuk dipelajari. Karena sihir berpotensi untuk menyesatkan orang maka kitab tersebut disita oleh Nabi Sulaiman dan disimpan kedalam sebuah peti yang dipendam di bawah singgasananya. Walhasil, sihir pun dilarang dipelajari.
Seiring berjalannya waktu, Nabi Sulaiman wafat begitu juga orang-orang yang mengetahui rahasia tersebut. Gejolak pun datang, setan membuat ulah dengan berubah wujud menjadi manusia untuk mengelabui umat Yahudi. Ia berkata pada orang-orang Yahudi, “maukah kalian saya tunjukkan harta simpanan yang berharga milik Nabi Sulaiman?”. Umat Yahudi pun menjawab, “tentu!”. Setan lalu mengajak mereka membongkar singgasana Sulaiman dan menemukan kitab tersebut.
Untuk menyebarkan caos setan lalu menyebarkan fitnah, “kitab sihir inilah yang membuat Sulaiman bisa menguasai jin, setan, dan makhluk lainnya”. Karena termakan provokasi setan kitab tersebut pun diambil oleh bani Israil untuk dipelajari, sebab peristiwa inilah umat Yahudi banyak yang mahir sihir.
Desas-desus bahwa Nabi Sulaiman merupakan penyihir akhirnya mulai tersebar. Dan hoax ini terus berlanjut sampai masa Nabi Muhammad. Hingga akhirnya Allah menurunkan surat Al-Baqoroh ayat 102 untuk mengklarifaksi disklaimer tersebut.
واتّبعوا ما تتلوالشياطين على ملك سليمان وما كفر سليمان…..
“dan mereka mengikuti apa yang dibacakan setan pada masa Sulaiman. Dan sulaiman itu tidak kafir…”
Dari satu ayat ini para pakar fikih kemudian berlomba-lomba menggali sebuah hukum tentang sihir yang akhirnya malah terjadi sebuah pertentangan, karena memang sifat sebuah ijitihad adalah asumtif. Masih menduga-duga, tetapi sekalipun demikian masih boleh digunakan. Sebab asumsi seorang mujtahid itu memiliki kans besar untuk benar.
Dalam tafsir “Ruh Al-Ma’ani” karangan syekh Al-Alusi, kita diajak untuk menengok perdebatan hebat di kalangan ulama mengenai apa hukum belajar dan mengajar sihir? Dalam satu pertanyaan ini beliau menampilkan setidaknya tiga pendapat: haram menurut jumhur ulama, makruh menurut sebagian ulama, dan mubah menurut Imam Ar-Razi. Namun pendapat yang beliau jelaskan argumennya Cuma dua. Yaitu, haram dan mubah.
Kita mulai dari pendapat Imam Ar-Razi, salah satu pemuka teologi Asy’ariah. Menurut beliau hukum belajar dan mengajarkan sihir itu boleh-boleh saja, mubah. Karena sihir merupakan salah satu fan ilmu. Dan sejatinya ilmu merupakan hal yang tidak buruk. Bahkan menurut beliau bisa meninggikan derajat seseorang sebagaimana termaktub dalam surat Az-Zumar ayat 9:
هل يستوي الذين يعلمون والذين لا يعلمون
“apakah sama orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu”
Lebih jauh lagi, pendapat Imam Ar-Razi bahkan didukung oleh sebagian ulama dengan argumen yang menarik. Menurut mereka, jika seseorang tidak mengetahui sihir maka dia akan sulit membedakan antara mukjizat -atau kalau zaman sekarang karamah- dan sihir. Padahal hukum mengetahui sebuah mukjizat sebagai mukjizat itu wajib. Dan sebuah kaedah menyatakan bahwa, apa yang mengantarkan kita pada sebuah kewajiban hukumnya wajib pula.
Dari argumen di atas, sebagian ulama bahkan ada yang menukil pendapat tentang kewajiban mempelajari sihir bagi seorang mufti. Tujuannya agar sang mufti bisa mengidentifikasi pembunuhan yang dilancarkan dengan sihir, santet misalnya. Walhasil ia bisa mengqishas (hukum mati) pelaku santet tersebut.
Sekalipun pendapat di atas berasal dari pemuka ahlussunnah tidak bisa diartikan bahwa pendapat tersebut mutlak benar. Karena pendapat ini menuai sanggahan yang cukup serius dari golongan jumhur ulama yang menghukumi belajar mengajar sihir sebagai perbuatan haram.
Menurut jumhur (segolongan besar) ulama, yang diikuti oleh Al-Alusi dalam kitabnya, mempelajari sihir itu haram secara mutlak, kecuali ada motif syar’i. Misal, mempelajari sihir guna untuk menghilangkannya dari orang yang terkena sihir, itupun dengan catatan tidak unsur mengagungkan zat selain Allah.
Argumen Ar-Razi diatas lalu disangkal dengan tiga sanggahan yang cukup menarik. Pertama, memang secara dzatiyahnya ilmu sihir tidak bisa serta merta kita hukumi jelek, karena termasuk salah satu fan ilmu -sebagaimana yang dikatakan Ar-Razi. Namun jika dilihat dari sudut akibatnya yang kerap kali ada unsur pengagungan zat selain Allah maka ia dihukumi haram.
Walhasil hukum haramnya dimunculkan melalui metode sadd ad-dzariah (salah satu alat istinbat hukum Imam Malik dan Ahmad). Yaitu mengaharamkan sesuatu karena dikhawatirkan dapat menyebabkan keharaman. Dalam sebuah hadist Rasulullah bersabda,
من حام حول الحمى يوشك ان يقع فيه
“barang siapa yang menggembala di tanah larangan maka besar kemungkinan ia akan terperosok kedalam keharaman”
Kedua, membedakan antara sihir dengan mukjizat -atau karamah- tidak harus dengan mempelajari sihir. Sebab jika kita amati, kebanyakan ulama mampu membedakan sihir dan mukjizat tanpa mempelajarinya.
Lebih jauh lagi, jika hukum mempelajari sihir dengan tujuan mengidentifikasi mukjizat itu wajib maka seharusnya para sahabat banyak yang pakar sihir. Sebab mereka lah yang kerap kali melihat mukjizat Nabi Muhammad. Namun sejauh ini tidak pernah ditemukan riwayat tentang kepakaran sahabat dalam bidang sihir.
Ketiga, menurut jumhur penukilan akan “wajibnya mempelajari sihir bagi seorang mufti” itu salah fatal. Karena untuk mengeluarkan fatwa qishas kepada pengguna sihir tidak perlu untuk mempelajarinya. Sebab gambaran fatwa qishas terhadap pengguna sihir -sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Hajar- adalah sebagai berikut.
Jika ada dua orang adil yang mengetahui sihir dan telah taubat memberikan persaksian bahwa ada seseorang yang membunuh dengan sihir maka itu cukup sebagai alat vonis qishas. Dengan demikian seorang mufti tidak perlu mempelajari sihir, karena hukumnya haram.
Dari tiga sanggahan yang ditulis oleh Imam Al-Alusi di atas penulis secara subyektif berpendapat bahwa jawaban kedualah yang harusnya kita ambil sebagai pijakan. Karena dilihat dari konteks sosial kita, kebanyakan pelajar sihir akan menggunakannya sebagai keburukan yang dapat mencelakai orang lain, bahkan dirinya sendiri. Juga tidak jarang praktek sihir mengandung unsur pengagungan zat selain Allah. Wallahhu a’lam.