Saya mendengar nama Prof. Yudian W. Asmin ini tahun 2002, pertama kali dari Mas Zainal Abidin mahasiswa kawakan Ilmu Politik UGM dan Syariah IAIN Sunan Kalijaga. Gus Zenal (sapaan akrab kita ke dia) menceritakan sosok Yudian yang menurutnya patut menjadi rujukan intelektual khususnya anak-anak aktivis PMII yang punya mimpi hijrah studi ke luar negeri.
Cerita bagaimana Yudian mengajar, mengisi diskusi, dan “menggeber” telinga mahasiswa terkait peluang beasiswa ke Luar Negeri dan Perpolitikan kampus membuat saya tertarik untuk terus menyimak. Maklum saat itu dosen PMII yang bisa dijadikan kiblat studi ke luar negeri masih sangat terbatas. Beasiswa-beasiswa kebanyakan “diborong” oleh saudara-saudara berlatar belakang Muhammadiyah dan Jaringan HMI. Tentu ada beragam faktor atas fakta ini, tapi yang menarik adalah bagaimana Yudian melempar tafsir ayat-ayat Al-Qur’an dengan segar.
Ia melontarkan dan memberi pemahaman tentang frase-frase taubat akademik, jihad ilmiah, lisanul Qaum, lailatul qadar, syahadat, la ilaha illah, dan seterusnya. Jadi kalau sekarang publik ramai akibat statemennya yang menyatakan “Agama Musuh Pancasila” sebenarnya sesuatu yang sangat biasa bagi orang yang mengenal atau pernah berinteraksi dengannya. Soal “Agama Musuh Pancasila” sudah ia jelaskan dalam press release resmi BPIP.
Kembali pada masa awal-awal sebelum saya mengenal langsung yang namanya. Zaman di mana awal-awalnya booming warnet, saya mampir di warnet Kopma IAIN untuk me-Yahooing –bukan googling loh yaa- Sekali lagi me-Yahooing Yudian di dunia maya. Tampaknya Yahoo memang hanya popular digenerasi 90’an. Singkat kata apa yang pernah saya dengar dari Gus Zenal dan Cak Udin Banyuwangi 90% semuanya klop dengan hasil penelusuran Yahoo tadi mulai dari nyalinya, sepak terjangnya, dan karya-karyanya.
Saya membatin, profil orang ini memang “sangar”, menarik, dan sangat inspiratif untuk dijadikan kiblat. Lepas dari Warnet saya coba obati rasa penasaran itu dengan mencari buku terjemahannya di toko buku Kopma, samping Warnet. Ndilalah saya dapat juga salah satu buku terjemahannya tipis bersampul Biru yang berjudul Tafsir Fenomenologi, buku ini karya Dr. Hasan Hanafi yang ia terjemah dan beri kata pengantar sendiri. Judul aslinya L’exégése De la Phénomenologie: L’etat actuelle de la method phénomenologie et son application au phénomene relgieux.
Nah, untuk judul aslinya ini jangan tanyan saya apa artinya, soalnya baru hari ini saya akan mulai kelas bahasa Prancis bersama Gilbert Clara. Dengar-dengar buku itu diterbitkan oleh senior idola kami juga, Fauzi Rahman.
Membaca kata pengantar Yudian di buku sampul biru itu benar-benar membuat saya menemukan obor semangat rasanya terus menyala dalam spirit pencarian guru; kalimat-kalimatnya sangat orisinil, progresif, dan penuh perlawanan. Jadi kalau saat ini ada yang mencoba mendongkelnya, mengerdilkannya, apalagi cuma yinyir bisa saya pastikan itu tidak akan menyiutkan nyalinya Yudian. Yudian akan tetap Yudian baik di Jogja, Kanada, Amerika, dan Jakarta.
Ia benar-benar petarung yang seakan-akan siap mati kapan saja, bahkan dalam banyak kesempatan ceramah maupun kata pengantarnya selalu menebalkan kalimatnya “Selamat Datang Kematian”. Yudian tidak hanya menantang tapi sedang berfilsafat dan bereksperimentasi atas dirinya sendiri. Bagi orang yang belum mengenalnya akan melihatnya sebagai sosok orang yang sombong dan keras kepala, tapi yang mengenalnya apalagi telah merasakan ampuhnya hizib-hizib asmanya bakal mengamini bahkan bisa-bisa membela mati-matian frasa yang dilontarkannya itu termasuk soal satatemen “agama itu musuh Pancasila”.
Saya tidak akan mengulas masalah yang lagi viral di BPIP ini, saya hanya ingin berbagi pandangan spiritual gerakan dan pikiran beliau karena semua yang ia lontarkan pasti ada dasarnya yang sangat kuat. Kebanyakan yang disayangkan teman-teman itu masalahnya saat ini ia menjabat sebagai pejabat publik. Ya mau gimana lagi, bagi Pak Yudian Kematian itu sudah berkali kali datang bahkan pernah mendatanginya saat usianya 10 tahun di sungai Mahakam, jadi mau ini-itu kematian pasti akan datang.
Dalam hal ini saya tidak berani mengingatkan beliau, jadi jangan pernah ada lagi yang minta untuk mengingatkan beliau. Beliau itu sangat paham posisi. Apalagi yang mengingatkan belum juga “dakhlal Jannah” alias belum merasakan surga dunia, bisa-bisa “dicemes” habis nanti.
Tapi kalau orang semacam sahabat Achmad Maulani ini saya kira memang sudah kelasnya alias bisa mencoba secara sudah doktor, “dakhalal jannah” dan sama-sama tinggal di Ibukota juga.
Kembali pada kontroversi Agama musuh Pancasila, sebenarnya kalimat itu tidak ada apa-apanya dibanding tafsir progresif beliau terkait lafadz “Lailaha Illa Allah” yang dimaknai tidak ada bahasa kecuali bahasa Inggris. Muhammadurrasulullah; kamu harus bisa bahasa Inggris.” ini konteks kalau mau ke Amerika loh, nanti ditelan tekstual lagi. Masih banya lagi tafsir-tafsir nakal lainnya. Saya paham kalimat-kalimat ini memang tidak lazim, tapi buat santri yang diprolog dulu soal siyahul kalam dan balaghahnya pasti bisa menerima bahkan dengan ketawa-ketawa santuy.
Saya jadi teringat awal-awal ia menyematkan gelar kiai di depan nama lengapnya saat mendirikan Pesantren Nawesea tidak sedikit yang mencibirnya karena diangggap sembarangan alias seenaknya sendiri. Dengan santai ia jawab bahwa gelar kiai itu tidak ada ijazahnya, toh sampai sekarang orang juga sudah terbiasa memanggilnya kiai. Lagi-lagi “Selamat Datang Kematian”.
Sejauh yang saya tahu, Pak Yudian ini sosok yang sangat lugas, sederhana, keras tapi sangat lembut hatinya. Ia selalu peduli nasib susah orang lain apalagi santri atau koleganya. Pada tahun 2006 saya pernah menemaninya membelah pegununang Gunung Kidul, Wonogiri menuju Pesantren Tremas Pacitan dengan mengendarai Motor GL Max untuk mengisi acara di sana.
Panitia kaget, pembicara intinya datang dengan motor saja. Kurang bersahaja gimana, tokoh intelektual yang baru pulang dari Amerika itu datang ke acara dengan naik motor dari Jogja ke Pacitan kurang lebih 107 Km. Kalau mau tanya kenapa, tanya sendiri sama orangnya ya.
Kalau Anda berkunjung ke rumahnya, tampak rumahnya juga sangat sederhana berbeda dengan rumah Rektor/Guru Besar pada umumnya sekarang ini. Saya kira kesederhanaan, kedermawanan, dan konsistensinyalah yang kemudian mengantarkannya ke Istana Merdeka.
Bagi orang-orang yang pernah berinteraksi dengannya, mendengarkan ceramah, apalagi mengikuti Thariqah Anbiya (eksistensialis positivistik) yang dirintisnya pasti paham betul wirid-wirid, asma, dan lafaz doa yang diamalkannya; Allahumaftahli Abwabal Istana wa Mafatiha Kursika Birahmatika ya Arhamar Rahimin.
Sebenarnya masih banyak sisi perjuangan beliau yang bisa diulas lebih dalam lagi, khususnya buat orang-orang yang pernah berinteraksi/mengenal secara dekat. Dengan segala hormat dan takdim, mohon maaf kalau ada kalimat yang kurang berkenan Guru. Semoga bapak selalu diberi kekuatan, kemudahan, dan kesehatan dalam menjalankan tugas-tugas barunya di BPIP ini.
Selamat datang kematianmu ….
Takkan lama lagi