Sedang Membaca
Asal-Usul Kelompok Islam Puritan (3): Perkembangan di Indonesia
Muhammad Arif
Penulis Kolom

Pengajar di Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Asal-Usul Kelompok Islam Puritan (3): Perkembangan di Indonesia

Whatsapp Image 2020 06 30 At 22.44.48

Sejak tahun 1970-an, nama Salafi, menyebar ke berbagai penjuru dunia. Seiring dengan hal itu, walaupun gerakan salafisme tersebut cukup jelas dan memiliki karakteristik tersendiri sebagaimana telah dijelaskan dalam tulisan sebelumnya, mereka bukanlah gerakan yang homogen. Mereka menjadi sebuah gerakan yang tercampur dan bahkan bertentangan dengan kecenderungan yang telah tumbuh di wilayah yang berbeda.

Salah satu faktor yang bembuat mereka terbelah adalah kontradiksi antara penjelasan rinci doktrin rigorus untuk tunduk secara penuh pada Tuhan, direpresentasikan dalam doktrin tauhidnya, dan tuntutan ini membuat mereka harus mengikuti keyakinan ini. Pada satu sisi ini adalah persoalan politis. Bisakah kaum salafi mengiplementasikan perintah mendasar ini dengan menerima kekuatan politik, bahkan jika pemimpinnya tidak mengikuti hukum Islam, dan akankah orang-orang beriman, dalam situasi ini kemudian berfokus pada pendidikan dan dakwah agar tercipta masyarakat Islam yang murni?

Menurut hasil penelitian Zoltan Pall, gerakan salafisme di Lebanon itu terbagi menjadi dua, yaitu salafi puris dan salafi haraki. Salafi puris didukung oleh yayasan Kuwait seperti jam’iyyat ihya’ al-Turath. Sedangkan gerakan salafi haraki mendapat bantuan dari yayasan Qatar Shikh Eid Charity Fondation.

Sementara, menurut Din Wahid, gerakan salafisme yang ada di Indonesia itu terbagi menjadi tiga golongan, yaitu salafi purist, haraki, dan jihadi. Di lihat dari asal negaranya, Arab Saudi, salafi purist lebih menekankan pada aspek pemurnian Islam dan tidak kritis terhadap pemerintah kerajaan saudi. Sedangkan haraki, selain puritanis, mereka juga menunjukkan sikap kritis terhadap pemerintah dalam upaya menerapkan syariat Islam dengan melakukan aksi gerakan turun ke jalan. Sedangkan salafi jihadi juga sama memiliki ciri puritan, dan melakukan kritik terhadap pemerintah seperti salafi haraki, tapi gerakan aksi yang dilakukan salafi jihadis adalah aksi kekerasan (teror).

Baca juga:  Andalusia Era Islam (2): Konflik Etnis hingga Datangnya Abdul Rahman Sang Penakluk

Gerakan salafisme yang menjadi fokus kajian ini adalah salafi purist, bukan salafi haraki ataupun salafi jihadis, karena berdasarkan catatan Internasional Crisis Grup (ICG) gerakan salafi yang dominan di Indoensia adalah gerakan salafi purist. Gerakan salafi purist muncul dan berkembang ke Indonesia sekitar tahun 1980-an. Gerakan salafi purist ini datang ke indonesia lewat perantara Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), organisasi dakwah yang didirikan oleh Muhammad Natsir (1908-1993) dan para mantan pemimpin Partai Masyumi lainnya tahun 1967.

Katalisator pendirian organisasi ini adalah berbagai jalan buntu politik yang menghalangi ambisi mereka kembali ke arena politik. Jalan buntu itu disebabkan oleh upaya marginalisasi politik Islam di era Orde Baru. Akibat marginalisasi itu, DDII akhirnya menegaskan posisinya sebagai gerakan dakwah sepenuhnya dan bukan lagi gerakan politik. Karena di saat yang bersamaan, tahun 1980-an, pemerintah Saudi sedang gencar mengupayakan globalisasi salafisme dan DDII memiliki kedekatan ideologi dengan salafisme (yaitu sama-sama memusuhi syi’ah), maka organisasi ini pun mendapatkan banyak bantuan dari saudi.

Berdasarkan catatan Noorhaidi Hasan, DDII ini banyak menerima bantuan uang dari saudi arabia melalui saluran-saluran seperti Hai’at al-Ighatsah al Islamiyyah al-‘Alamiyyah (IIRO, International Islamic Relief Organization), al-Majlis al-‘Alami lil-Masajid (WCM, World Council of Mosques), al-Nadwat al-‘Alamiyyah li al-Shahab al-Islami (WAMY, World Assembly of Muslim Youth) dan Lajnat Birr al-Islami (CIC, Commite of islamic Charity).

Karena menerima banyak bantuan dari Arab Saudi itulah, kemudian DDII bisa tetap eksis meski mendapatkan tekanan dari pemerintah Orde Baru. Berkat kolaborasi Arab Saudi dan DDII itu pada gilirannya, salafi purist mendapatkan jalan untuk tumbuh dan berkembang di Indonesia.

Menurut Noorhaidi, tahun 1980, pemerintah Saudi Arabia mendirikan Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Bahasa Arab (LIPIA) di Jakarta. LIPIA awalnya berdiri atas dasar Keputusan Saudi Arabia No. 5/N/26710 sebagai Lembaga Pengajaran Bahasa Arab (LPBA). LIPIA berada langsung di bawah Universitas Islam Imam Muhammad Ibn Sa’ud, Riyadh, dan dipimpin oleh seorang direktur berkebangsaan Saudi yang bertangggungjawab dalam bidang akademik dan masalah-masalah administratif di bawah pengawasan langsung Kedutaan Saudi Arabia di Jakarta.

Baca juga:  Sejarah Cordoba dan Islam Andalusia: Pluralitas dan Akulturasi Budaya

Awalnya, LIPIA hanya menawarkan program-program regular bahasa Arab, seperti kursus intensif satu tahun, kursus non-intensif, dan kursus prauniversitas dua tahun. Pada perkembangan berikutnya, LIPIA kemudian membuka program sarjana hukum Islam dan pertama menawarkan tingkat sarjana muda pada tahun 1986.

Di dalam program ini, para mahasiswa mempelajari berbagai subjek Islam seperti Tafsir Quran, Teologi Islam, Sunnah, Fiqh, Ushulu Fiqh, Sejarah Islam dan Bahasa Arab. Sejak adanya program sarjana tersebut lembaga ini kemudian lebih dikenal sebagai LIPIA daripada LPBA. Dan sejak saat itu juga LIPIA mulai gencar memberikan beasiswa penuh kepada siswa yang mengikuti kursus prauniversitas dua tahun.

Menurut Noorhaidi, jangkauan pengaruh LIPIA terhadap para mahsiswa memang tidak bisa diukur dengan pasti, tapi yang jelas banyak aspek ajaran salafi wahabi yang berhasil dicekokkan kepada mereka. Perkenalan mereka dengan ajaran salafi wahabi difasilitasi secara efektif melalui halaqh-halaqah dan daurah-daurah di mana staf pengajar LIPIA mempunyai kesempatan untuk memberikan ceramah. Lebih jauh, sebagai upaya mengajarkan salafism, LIPIA memberikan beasiswa penuh kepada mahasiswa yang berpretasi untuk melanjutkan studi di Universitas Islam Imam Muhammad Ibnu Sa’ud, Riyadh dan Universitas Islam Madinah di Madinah.

Menurut Noorhaidi, kembalinya para alumni LIPIA yang telah menuntaskan studi mereka di Saudi Arabia, menandai kelahiran generasi salafi baru di Indonesia. Ada beberapa nama yang popular di antara mereka, yaitu: Chamsaha Sofyan (Abu Nida), Ahmad Faiz Asifuddin, dan Ainur Rafiq Gufron. Mereka semua adalah kader-kader DDII, tetapi bagaimanapun para alumni LIPIA yang kembali ke Indonesia tahun 1980-an ini berbeda dengan generasi DDII era sebelumnya. Kebanyakan mereka sudah memiliki komitmen untuk menyebarkan ajaran salafi.

Baca juga:  Dinasti Safawiyah, Gerakan Politik yang Lahir dari Tarekat

Mereka para alumni LIPIA tersebut kemudian mengadakan halaqah-halaqah dan daurah-daurah di kampus-kampus di Indonesia, berawal dari kampus-kampus di Yogyakarta. Sukses merekrut banyak mahasiswa lewat halaqah-halaqah dan daurah-daurah tersebut, Abu Nida kemudian melembagakan daurah ini menjadi daurah Ibnu Qayyim di Yogyakarta. Dari sini kemudian ide-ide melembagakan halaqah-halaqah dan daurah-daurah semakin meluas dan menyebar ke berbagai daerah di Indonesia.

Seiring dengan meningkatkan minat orang-orang Indonesia kepada jamaah salafi puris, maka yayasan-yayasan salafi mulai bermunculan di Indonesia. Yayasan-yayasan ini menerima bantuan dana yang cukup besar dari Saudi Arabia. Melalui yayasan-yayasan ini mereka terus mengakampanyekan ajaran salafi di Indonesia. Yayasan-yayasan ini kemudian mengembangkan lembaga-lembaga pendidikan pesantren, membuat radio-radio, website, majalah, youtube, dll. yang sepenuhnya digunakan untuk mengampanyekan ajaran salafi. Alhasil, salafisme berkembang cukup pesat di Indonesia, terutama sejak tumbangnya pemerintahan Orde Baru.

Bahkan, berdasarkan catatan Similarweb, pada bulan Mei 2020 secara traffic website-website salafi di Indonesia cukup mendapatkan sambutan hangat. Website mereka seperti almanhaj.or.id dan muslim.or.id, mendapatkan pengunjung masing-masing sebanyak 2.340.000 dan 3.680.000. Jumlah ini terhitung fantastis karena mereka berhasil bersaing secara ketat dengan website-website Islam mayoritas di Indonesia seperti NU dengan websitenya nu.or.id dan islam.nu.or.id yang masing-masing sudah dikunjungi oleh pengunjung sebanyak 5.980.000 dan 3.880.000.

Realitas ini menunjukkan bahwa meskipun salafisme itu baru masuk ke Indonesia pada tahun 1980-an, tapi eksistensi mereka tidak bisa dipandang sebelah mata. Mereka cukup besar bahkan cukup dominan menguasai jagat dunia maya Indonesia.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
2
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top