Sedang Membaca
Kisah “Perbedaan” Mbah Wahab dan Mbah Bisri Tentang Kurban Sapi
Bahrul Fuad
Penulis Kolom

Alumni Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas Jombang, anggota tim penulis Buku Fiqih Penguatan Penyandang Disabilitas. Sekarang masih tercatat sebagai mahasiswa S3, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Tinggal di Jakarta.

Kisah “Perbedaan” Mbah Wahab dan Mbah Bisri Tentang Kurban Sapi

Saat masih menjadi santri di Tambakberas, seringkali para gus dan ustaz menceritakan kisah dua tokoh NU legendaris ini: KH. Wahab Chasbullah (pengasuh Tambakberas) dan KH. Bisri Syamsuri (pengasuh Denanyar).

Kedua tokoh kita ini sebenarnya masih memiliki hubungan tali persaudaraan ini, seringkali memiliki sikap yang berbeda terhadap sebuah masalah, salah satunya adalah sikap beliau terhadap orang kampung yang meminta fatwa tentang kurban.

Alkisah, pada suatu hari menjelang hari raya Idul Adha, seorang yang kaya dari sebuah kampung di Jombang ingin berkurban untuk keluarganya berupa seekor sapi. Menurut ilmu fikih seekor sapi hanya boleh dibuat berkorban untuk tujuh orang, sementara bapak tersebut memiliki enam anak ditambah dia dan istrinya, total delapan orang.

Karena kebingungan, maka orang kampung tersebut sowan ke ndalem Mbah Bisri Syamsuri di Desa Denanyar untuk meminta fatwa dari sang kiai, yang jago fikih, tapi terkenal rigit dan hati-hati.

“Kiai, bolehkah saya berkurban satu ekor sapi untuk delapan anggota keluarga saya?”

“Ya tidak boleh, sapi itu untuk tujuh orang. Aturan fiqihnya begitu,” Mbah Bisri langsung menjawab.

Orang kampung tersebut tidak berani bertanya lagi, dan bilang, “Oo..injih Kiai, terimakasih.” Lalu dia berpamitan pulang, meski dalam hati belum puas dengan jawaban sang kiai.

Baca juga:  Potret perjuangan Ulama (7): Ramalan Imam Abu Hanifah kepada "Santri" Miskin

Lalu orang kampung itu memutuskan untuk mendapatkan second opinion atau fatwa dari kiai lain. Lalu dia memutuskan untuk sowan kepada Mbah Wahab Chasbullah di Desa Tambakberas.

Setelah sampai di ndalem Mbah Wahab, orang kampung tersebut menyampaikan keinginannya berkurban seekor sapi untuk delapan orang anggota keluarganya.

“Nuwun sewu KIai, apakah boleh saya berkurban satu ekor sapi untuk delapan orang anggota keluarga saya?” tanya orang kampung tersebut.

Kiai Wahab tidak langsung menjawab, tapi malah bertanya, ”Sapi kamu gemuk tidak?”

Orang kampung tersebut meyakinkan Sang Kiai, ”Gemuk Kiai, jangankan dinaiki delapan orang, sepuluh orang pun juga kuat.”

(Dalam kepercayaan masyarakat Islam tradisional, mereka yakin bahwa binatang yang dikurbankan akan menjadi kendaraan mereka untuk menyeberangi jembatan Sirotol Mustaqim di akhirat kelak)

Lalu, Mbah Wahab bertanya, “Anak sampean yang paling kecil usia berapa tahun?”
“Satu tahun Kiai, jadi bisa kan Kiai, kalau satu ekor sapi untuk delapan orang, lah wong anak ragil saya masih umur satu tahun,” jawab orang kampung itu sambil terus berusaha memengaruhi pendapat Mbah Wahab.

Sambil terlihat berpikir keras, kemudian Mbah Wahab menyampaikan,”Sampean boleh berkorban satu ekor sapi untuk delapan orang keluargamu. Tapi ada syaratnya…”

“Alhamdulillaah. Syaratnya apa Kiai?” sambut orang kampung dengan wajah sumringah.

Baca juga:  Kiai Amanullah Tambakberas dan Suara "Tuhan"

“Begini, sapi yang kamu korbankan kan besar sekali, nah anak kamu yang paling kecil harus kamu sediakan tangga untuk ancik-ancik (panjatan) agar dia bisa naik ke punggung sapi yang akan kamu korbankan, karena sapi adalah kendaraan korban, maka tangganya juga harus binatang yang bisa dikorbankan, yaitu seekor kambing,” jawab Mbah Wahab.

Dengan antusias, orang kampung tersebut menyambut gembira fatwa sang kiai, ”Baik Kiai, jangankan seekor kambing, tiga ekor kambing pun juga saya siapkan.”

Orang kampung tersebut kemudian mencium tangan Mbah Wahab dan berpamitan pulang untuk membeli sapi dan kambing kurban.

Mbah Wahab Chasbullah memang terkenal sikap beliau yang lentur dan akomodatif terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi oleh masyarakat meskipun tetap berpegang teguh pada syariat dan kaidah fikih yang berlaku.

Itulah bagian dari strategi dakwah yang dilakukan oleh KH. Wahab Chasbullah untuk menanamkan ajaran Islam di semua kalangan. Kemampuan berkomunikasi Mbah Wahab dengan berbagai tingkat kelompok masyarakat, membuat beliau sangat dihormati dan diterima di berbagai kalangan.

Kisah kearifan dua tokoh NU di atas sekarang telah bertebaran luas di media sosial dengan berbagai versi.

Selamat menyambut Hari Raya Idul Adha, semoga Hari Raya Korban dapat meningkatkan kepekaan sosial kita terhadap sesama.

Baca juga:  Ngalap Berkah: Orang Madura dan “Sanad” Mobil Bekas

Salam..

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
3
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top