Posisi ulama yang begitu vital di masyarakat Banjar, sebagaimana masyarakat muslim lainnya, membuat berbagai hal terkait kehidupan di akar rumput seringkali ditanyakan kepada mereka. Terdapat dua model pemimpin agama yakni yang masuk dalam sistem pemerintah dan yang tidak masuk. Perbedaan mereka hanyalah pada tugasnya dalam pelayanan di masyarakat, yang pertama masuk dalam sistem yang tersusun rapi dalam birokrasi. Adapun yang kedua biasanya dijadikan menjadi tempat bertanya masyarakat terhadap berbagai masalah yang timbul dalam kehidupan sehari-hari.
Sejak sistem birokrasi Kesultanan Banjar hingga pemerintah Kolonial sudah dikenal pemimpin agama yang tergabung dalam sistem. Mereka dikenal dengan berbagai nama dari mufti, penghulu hingga Kadi. Alfani Daud mencatat adalah peran besar seorang Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dalam membuat susunan pejabat-pejabat agama secara berjenjang hingga unit pemerintahan yang terendah.
Dalam berbagai cerita lisan disebutkan bahwa salah seorang keturunan Syekh Arsyad adalah pemegang jabatan mufti yang pertama di Kesultanan Banjar. Adapun struktur terakhir pemimpin agama di pemerintah adalah sebelum kemerdekaan Indonesia tepatnya tahun 1938 di Banjarmasin, di mana dibentuklah sebuah organisasi bernama Kerapatan Kadi.
Selain pemimpin yang di dalam struktur pemerintah, ada otoritas keagamaan yang tersebar di desa-desa. Mereka biasanya menjadi imam di masjid atau langgar, menjadi khatib dan mengajar agama. Orang yang dijadikan otoritas keagamaan ini biasanya merupakan kaum intelektual di wilayah tersebut, yang memiliki tugas tambahan yakni menjadi tempat bertanya para penduduk berbagai masalahnya sehari-hari di luar mengajar agama dan cara membaca al-Quran. Tidak berhenti di sana, mereka juga dijadikan tempat konsultasi masyarakat soal kapan sebaiknya mulai menanam padi, memberikan air penawar bagi orang sakit, melakukan ramalan tentang kemungkinan-kemungkinan kehidupan (calon) suami atau istri, memberikan doa restu agar selamat dalam perjalanan dan lain-lain.
Pasca kemerdekaan, sistem pemimpin agama dalam birokrasi diambil alih langsung pemerintah Indonesia. Pamor otoritas agama di luar biroklasi yang masih bertahan hingga sekarang. Ulama tidak lagi disegregasi di dalam atau luar pemerintah, karena yang ada hanya otoritas keagamaan. Posisi ulama justru semakin kuat tidak saja di sendi kehidupan namun juga dalam politik praktis. Tidak sedikit pemain politik praktis menggunakan, baik secara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi, peran ulama dalam mengatrol perolehan suara. Di level tertentu “Restu” seringkali menjadi senjata pamungkas dalam meraih kemenangan dalam pertarungan pemilihan kepala daerah.
Posisi dan peran ulama di ranah lokal mendapatkan tantangan baru pasca mulai maraknya masyarakat Banjar menggunakan internet. Keberagamaan masyarakat Indonesia telah mengalami banyak perubahan yang disebabkan pengaruh kehadiran media sosial dan digital di ranah agama. Perubahan ekspresi keislaman terjadi di hampir seluruh lapisan kelas sosial di masyarakat muslim, terutama masyarakat perkotaan, kelas menengah dan milenial, yang berefek pada dinamika ulama di mata masyarakat Banjar.
Bagaimana tidak, pola dan proses transmisi pengetahuan keagamaan yang sebelumnya masih mengandalkan lembaga-lembaga otoritatif, sedikit demi sedikit mulai tergerus dengan kehadiran formula yang sebagian besar bersifat pribadi dan berpusat pada “diri-yang-mengonsumsi”, yang memiliki indenpedensi dalam menentukan informasi yang diterima dan dikonsumsi.
Asef Bayat menyebut keberislaman seperti itu dengan istilah “Kesalehan Aktif” yang merujuk model keberislaman baru yang muncul di Mesir, di mana lembaga otoritas keagamaan seperti al-Azhar tidak lagi menjadi epicentrum keberislaman masyarakat mesir, terutama yang di perkotaan, yang mulai tergantikan dengan kehadiran model dan aktor personal baru yang menghadirkan negosiasi antara identitas dengan berbagai model keberagamaan yang lain.
Greg Fealy menyebutkan muslim berlaku seperti klien yang memiliki kebebasan dalam memilih dari sekian banyak sumber-sumber yang telah tersedia di pasar. Dengan mengutip Roof (1999), Fealy juga menegaskan bahwa selera mereka lebih eklektik, dari fundamentalisme hingga kepercayaan metafisik.
Arus informasi yang begitu pesat di masyarakat lewat media sosial dan aplikasi berbagi pesan seperti Facebook dan Whatsapp, menyediakan berbagai pendapat yang bisa dikonsumsi dan dipilih dengan bebas. Hal tersebut telah menjadi kultur keberagamaan di masyarakat perkotaan, kelas menengah dan milenial. Poin krusial terkait keberislaman di tiga kelompok masyarakat muslim di atas, yaitu tingkat penggunaan media elektronik yang tinggi.
Akibatnya, tiga kelompok tersebut memiliki irisan yang sama dalam konsumsi informasi keagamaan, terutama lewat media sosial. Potret untuk kalangan milenial saja sebanyak 54,3 persen mengaku mengakses media sosial setiap hari, data ini dikutip oleh Majalah Tempo dari hasil survei Centre for Strategic and International Studies (CSIS). (Majalah Tempo: 24 Jun 2018)
Kondisi tersebut memancing pergeseran pola dakwah yang mulai menyasar layanan jejaring sosial sebagai pengganti SMS yang dulu pernah populer di awal tahun 2000an, hal ini menurut Wasisto Raharjo Jati dalam artikel “Sufisme Urban di Perkotaan: Konstruksi Keimanan Baru Kelas Menengah Muslim” mengakibatkan dakwah di media sosial yang cenderung disukai, disebabkan materi yang disampaikan bersentuhan langsung dengan persoalan pemirsanya dan menggunakan bahasa yang sederhana, supaya mudah dipahami. Di titik inilah yang membuat dakwah konvensional yang sering mengupas aspek teologis semakin tidak menarik di tiga kelompok sosial tersebut.
Majelis Ulama Indonesia (MUI), lembaga ulama otoritatif seperti NU dan Muhammadiyah hingga ulama tradisional yang sering memimpin pengajian atau majelis taklim mulai mendapat “saingan” dari ustad media sosial seperti UAS, Hanan Attaki, Adi Hidayat, Ali Jaber hingga Bachtiar Nasir. Ustad media sosial ini hadir dalam tampilan dan konten yang menarik dan sesuai dengan animo pasar, yang disebutkan di atas.
Persoalan dan data di atas memang masih memakai data secara Nasional, namun kondisi di Kalimantan Selatan tidaklah jauh berbeda. Faktanya bisa kita lihat di media sosial dari ketiga kelas sosial di atas, di mana postingan, cuitan hingga caption yang diunggah di linimasa mereka masih tercampur antara para ulama lokal yang mulai masuk di ranah digital, dengan konten dari ustad-ustad media sosial. Pola konsumsi Islam yang ada di masyarakat Banjar tidak jauh berbeda dengan kondisi di Indonesia, lebih-lebih batas atau sekat kedaerahan tidak lagi dikenal di ranah internet.
Sebagai contoh saya pernah melihat seorang pengajar di salah satu perguruan tinggi di Banjarmasin, yang membagikan ceramah ustad Zulkifli M. Ali terkait isu Kiamat sembari mendoakan kejadian tersebut tidak terjadi, atau seorang mahasiswa yang mengupdate status Whatsapp dengan konten ceramah ulama lokal dan qoute dari Hanan Attaki secara bersamaan dengan menandai emot suka di keduanya.
Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika kemudian keberagamaan masyarakat Banjar cenderung berubah termasuk interaksi mereka dengan ulama. Pendapat ulama tidak lagi menjadi epicentrum terhadap masalah yang ada di masyarakat, beragam informasi bisa mereka dapatkan dengan mudah dan cepat lewat media sosial atau aplikasi berbagi pesan. Popularitas ulama lokal yang sebelumnya dijadikan acuan masyarakat sekarang ditandingi oleh citra dan konten yang lebih menarik dari para ustad media sosial. Masyarakat tidak lagi hanya mengacu pada ulama lokal saja, tapi juga dengan mudah mengonsumsi informasi dari ustad media sosial.