Dulu, orang-orang mengucap kata-kata sebagai cerita. Orang bercerita mendapat pendengar atau penikmat. Konon, cerita-cerita terucap teringat. Orang-orang memiliki ingatan cerita itu lama. Awet! Kekaguman penokohan, tempat molek, atau asmara membara menjadikan deret ingatan mudah tersusun bila berjumpa sesama penikmat cerita, mula-mula dengan telinga. Orang-orang itu membicarakan cerita. Kita mengesahkan sastra itu bicara.
Pada 1984, Dewan Kesenian Kerja Sama dan Sinar Harapan menerbitkan buku berjudul Dua Puluh Sastrawan Bicara. Penjudulan dipengaruhi acara Temu Sastra diadakan di Taman Ismail Marzuki, 6-8 Desember 1982. Para tokoh dalam sastra dihadirkan untuk bicara atau membacakan tulisan dicetak di kertas. Mereka berada di depan mengucap kata-kata. Di situ, umat sastra menonton, mendengar, atau ketiduran.
Buku dokumentatif dimulai dengan kalimat lugas oleh Subagio Sastrowardoyo: “Kita berkumpul di sini untuk memperbincangkan berbagai pengalaman kita dalam kerja mengarang.” Esais dan penggubah puisi itu memilih kata “membincangkan”. Kita mengartikan ada mulut-telinga. Pada suatu masa, para pengarang membuat keramaian bermulut. Mereka hadir untuk bicara.
Di sana, ada Rendra. Orang-orang biasa menonton Rendra, selain membaca tulisan-tulisan Rendra. Bicara mungkin keampuhan Rendra ketimbang pengarang-pengarang lain turut hadir di Taman Ismail Marzuki. Rendra berkata: “Sekarang, kembali kepada persoalan kegelisahan saya waktu akan menulis sajak-sajak yang terlibat di dalam masalah sosial-politik-ekonomi. Jelas, saya tidak bisa mengulang sukses sajak ‘Khotbah’ atau ‘Nyanyian Angsa’ yang banyak disenangi pembaca/penonton, diterjemahkan ke beberapa bahasa, dan dipuji oleh banyak kritikus.
Kita paham penggunaan tanda miring dalam perkataan Rendra. Di sastra Indonesia, Rendra menghasilkan tulisan-tulisan terbit dalam puluhan buku. Orang-orang membaca tapi condong kagum melihat atau menonton Rendra membacakan puisi dengan teks atau ingatan saja. Mereka menginginkan suara Rendra. Sastra pun bicara. Rendra bicara untuk beragam kalangan, tak melulu rumit dalam gubahan teks, sadar bakal terbacakan di panggung dan pelbagai tempat.
Di akhir, Rendra memberi kata: “Ah, saya sungguh belum siap bicara mengenai proses yang sekarang ini sedang terjadi dalam diri saya.” Kita tak perlu memusingkan diksi dan pengalaman bicara diajukan Rendra. Ia bertumbuh dalam ruang-ruang bicara, sebelum menempuhi titian keaksaraan untuk menghasilkan tulisan-tulisan.
Sastra itu bicara terbaca lagi dalam buku berisi tulisan-tulisan Seno Gumira Ajidarma. Pada 1997, terbit buku berjudul Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara. Buku berwarna putih dengan sampul garapan Agus Suwage. Kita melihat gambar mulut menggigit pensil. Penampilan buku memikat. Teringat! Diksi “bicara” dalam judul pun selalu teringat. Sastra memang bicara. Seno Gumira Ajidarman menulis “bicara”, berbeda dengan “bicara” dimengerti Rendra atau maksud-maksud Dewan Kesenian Jakarta membuat acara dan menerbitkan buku.
Dua kalimat ampuh ditulis Seno Gumira Ajidarma: “Ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara. Karena bila jurnalisme bicara dengan fakta, sastra bicara dengan kebenaran.” Kita diminta mengerti pula “harus”. Sastra ditulis untuk dipublikasikan di koran atau majalah memungkinkan ada hal-hal berbeda ketimbang berita atau opini. Di hadapan tulisan, pembaca membuat renungan atau tafsiran, sebelum berjumpa sesama: percakapan atau diskusi. Mereka itu bicara. Orang-orang suka membaca sastra mendingan suka bicara, tak membiarkan bacaan menghuni kepala terlalu lama.
Sekian tulisan dalam buku mula-mula dibacakan di depan orang-orang. Pada saat tulisan-tulisan dikumpulkan menjadi buku, orang-orang diajak membaca meski tanpa kehadiran dalam beragam acara. Mereka bisa membaca seolah menikmati Seno Gumira Ajidarma bicara. Begitu.