Kita ketahui ribuan bahkan ratusan kitab yang disusun oleh ulama nusantara hanya sebagian kecil yang tersentuh di kalangan tertentu saja. Padahal bila kita membaca episentrum para ulama nusantara hampir semuanya memiliki sebuah kitab pribadi. Hanya saja, kitab-kitab tersebut tidak mengudara ke berbagai daerah, ia hanya stagnan dalam ruang lingkup internalnya saja.
Kita sebut saja kitab-kitab itu dengan istilah kitab sekunder, sekunder sendiri merupakan frasa dari kata primer. Jadi setiap fan (bidang) ilmu tentunya mempunyai sumber otoritas pertama yang tingkat kredibilitasnya tidak diragukan, disebut juga dengan kitab primer. Kita ambil gambaran Kitab Tauhid Primer, salah satunya kitab al-Ibanah ‘an Ushul al-Diyanah karya pendiri aliran Asy’ariyah, Abu Hasan Al-Asy’ari (w.324 H).
Kitab al-Ibanah merupakan sumber otoritatif pertama yang dicetuskan oleh Imam Al-Asy’ari. Sebagai sumber utama dari Ilmu Tauhid, kitab ini menjadi rujukan para pengikut setelahnya. Oleh sebab itu, kitab ini digolongkan dalam Kitab Tauhid Primer. Setelah mengalami rentang waktu yang amat panjang dari zaman Al-Asy’ari, Ilmu Tauhid mulai dikembangkan, diperluas, dan dilakukan berbagai metode agar tetap representatif. Maka kitab-kitab yang merujuk pada sumber utama disebut dengan Kitab Sekunder.
Misalnya kitab sekunder dalam ilmu tauhid adalah Kitab al-Jawahir al-Kalamiyyah karya Thahir al-Jazair (w.1338 H), kitab yang berjumlah kurang lebih 95 halaman ini merupakan kitab ringkasan dari kitab-kitab besar (merujuk pada kitab primer). Karenanya kitab ini disebut dengan Kitab Tauhid Sekunder. Suatu contoh lagi adalah kitab Qathr al-Ghaits, kitab tauhid sekunder yang fenomenal di kalangan pesantren karya Imam Nawawi al-Jawi (w.1314 H).
Kembali pada problem pernyataan di awal bahwa kehadiran kitab sekunder di Indonesia di mata masyarakat masih tergolong rendah dan kurangnya perhatian lebih terhadap kitab-kitab tersebut. Mungkin beberapa karya ulama nusantara sudah banyak dikenal oleh sebagian besar kalangan pelajar Indonesia, terutama di lembaga pesantren. Semisal kitab karangan Imam Nawawi al-Bantani, Sayyid Alawi al-Makki, KH. Hasyim Asyari, dan sebagainya.
Sebuah alasan yang logis kitab karangan mereka terbilang populer salah satu faktornya adalah peran tokoh pengarang yang senantiasa mendominasi di ranah publik, bisa juga tingkat produktivitas dalam menyusun kitab lebih progresif. Namun di sisi itu, bukan berarti kehadiran kitab sekunder lainnya tidak dihiraukan sama sekali. Sebab realita yang dialami para penggiat kajian filologi adalah kitab sekunder yang dilahirkan oleh ulama hebat di daerahnya kurang begitu terkenal layaknya karya Imam Nawawi al-Jawi, KH. Hasyim Asyari, dan sesamanya.
Tentu ini sebuah kebanggaan tersendiri bahwa pemeliharaan keilmuan Islam oleh ulama Indonesia tetap berlanjut dan lestari sampai sekarang, namun sisi ironisnya adalah rendahnya minat pelajar Islam yang mengaji kitab sekunder secara konsisten serta kurangnya perhatian dan motivasi untuk mempopulerkan kitab tersebut.
Bisa jadi kitab sekunder yang populer pun awalnya tidak dikenal masyarakat luas, hanya saja ghiroh dan kecintaan kepada sosok pengarangnya menjadi salah satu faktor utama para pelajar untuk mengajarkan kembali di daerahnya masing-masing. Dewasa ini, nampaknya tidak seperti itu, kitab-kitab sekunder justru hanya dikaji di beberapa pesantren saja, sepulang dari pesantren mereka hanya mengaji kitab-kitab primer atau sekunder pada umumnya tanpa menyertakan kitab lokal tersebut.
Sebut saja kitab Tafsir Marah labid karya Imam Nawawi al-Jawi, meskipun sosok pengarangnya sudah tidak asing, tetapi kegiatan menelaah dan mengaji kitab ini terbilang sedikit dalam penerapan kurikulum pesantren. Justru kitab yang dikaji adalah kitab Tafsir al-Jalalain karya Jalaluddin al-Mahali dan Jalaluddin al-Suyuthi. Kitab Tafsir Raudhah al-‘Irfan karya KH. Ahmad Sanusi (1888-1950 M), meskipun tafsir sunda ini dipelajari di dataran sunda, namun kepopulerannya masih belum dikenal luas oleh sebagian besar pelajar di Indonesia.
Ada pula Kitab Hujjah Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah karya KH. Ali Maksum, Krapyak (1915-1989 M), kitab Al-Muqtathafat karya KH. Zainal Abidin Munawwir, Krapyak (1931-2014 M), kitab Risalah ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah karya KH. Hasyim Asyari (1871-1947 M), kitab Nushush al-Akhyar, ‘Ulama’ al-Mujaddidun karya KH. Maimun Zubair, Sarang (1928-2019 M), kitab Mashlahah al-Islamiyyah karya KH. Tb. Ahmad Bakri, Sempur (1839-1975 M). Kitab As-Shawaiq al-Muhriqah li al-Awham al-Kadzibah fi Bayani hilli al-Belut wa ar-Raddu ‘ala Man Harramahu karya Syekh Mukhtar Ath-Tharid, Bogor (1862-1930 M). Kitab Arba’una Haditsan min Arba`in Kitaban ‘an Arba`ina Syaikhan karya Syekh Yasin al-Fadani (1915-1990 M).
Tentunya masih banyak ratusan kitab karya ulama nusantara yang kurang kita jumpai di beberapa pesantren. Dibalik itu semua, terkadang pengarang kitab sekunder baru diketahui setelah kabar kewafatannya. Terlepas alasan kenapa hal itu bisa terjadi, di sini kita dapat melihat bahwa betapa kurang perhatiannya masyarakat terhadap kitab-kitab sekunder, terutama di Indonesia. Bahkan ironisnya lagi, kitab yang mungkin selama ini kita kaji, hanya karena mendengar kabar wafatnya barulah kita menyadari bahwa sosok pengarang kitab itu sebelumnya masih hidup.
Sebut saja tokoh hadis yang senantiasa kitab sekundernya menjadi rujukan para pelajar yaitu Syekh Nuruddin al-‘Itr (1937-2020 M) di antara karyanya adalah Manhaj al-Naqd, I’lam al-Anam syarh Bulugh al-Maram. Syekh Muhammad Ajjaj Al-Khatib (1932-2021 M) muhaddis yang terkenal ini memiliki kitab di antaranta adalah al-Sunnah Qabla al-Tadwin. Juga Syekh Ali Al-Shabuni (1930-2021 M) dalam karya tafsirnya Shafwah al-Tafasir yang telah dikenal di Indonesia sebelum kabar wafatnya, dan masih banyak lagi.
Kenapa hal itu bisa terjadi? Penyebab terbesarnya adalah di samping kurang perhatiannya kehadiran kitab sekunder, juga diri sendiri yang enggan mengenal lebih jauh terhadap sosok pengarang kitab. Problem seperti ini akan terus berlanjut hingga generasi ke generasi. Tentunya kita jangan sampai kitab-kitab sekunder yang hadir di tengah-tengah masyarakat dibiarkan begitu saja. Kita bloow up dan follow up kitab-kitab tersebut sampai pada titik dimana kitab sekunder di Indonesia dikenal lebih luas oleh para pelajar, terutama di lembaga pesantren.
Beberapa kitab sekunder yang pengarangnya masih hidup sampai saat ini adalah kitab al-Muqtathafat li Ahl al-Bidayat karya KH. Marzuki Mustamar, Gasek, Malang, kitab al-Tajrid al-Mushthafa’ li Marfu’at al-Muwatha’ ila al-Musthafa’ karya KH. Najih Maimun, Sarang, Rembang, kitab al-Ubairiz fi tafsir Gharaib al-Qur’an al-Aziz karya KH. Musthafa Bisri, Rembang, dan lain sebagainya.
Jadi sebagaimana yang telah diuraikan di atas, salah satu i’tikad kita dalam menjaga dan melestarikan warisan khazanah keilmuan berupa kitab-kitab sekunder di nusantara adalah membangun rasa empati dan ghirah para pelajar terutama di lembaga pesantren untuk senantiasa mengaji dan mendeklarasikan kepada khalayak umum secara konsisten, baik dengan metode tikrar (mengaji ulang), menelaah, atau menulis terkait kitab-kitab sekunder. Dengan begitu, kitab-kitab sekunder di nusantara akan senantiasa dikenal dan dikaji sepanjang masa.