Sebelum menyelenggarakan gelaran akbar sepak bola Piala Dunia 2022, popularitas Qatar di tingkat global tidaklah sepopuler dua negara tetangganya, Iran dan Saudi Arabia. Namun strategi geopolitik Qatar yang dibangun bertahun-tahun termasuk melalui olahraga membalikkan segalanya.
Kini, dengan suksesnya penyelenggaraan turnamen empat tahunan tersebut, saya setuju bahwa piala dunia tidak hanya diraih oleh Argentina, tapi juga “dimenangkan” oleh Qatar.
Dinamika Politik Luar Negeri Qatar
Secara wilayah, Qatar tidak memiliki teritori besar seperti Indonesia. Luasnya hanya 11.571 km2 dengan jumlah penduduk sekitar 3 juta jiwa. Sama halnya dengan negeri-negeri Timur Tengah lain, daerahnya dipenuhi oleh gurun dengan sumber daya air tanah dan air permukaan yang cenderung terbatas. Dengan kondisi itu, mengembangkan ekonomi melalui pertanian dan industri tidaklah memungkinkan. Terlebih, Qatar diapit oleh dua negara digdaya di Arab: Iran dengan wilayahnya yang mengelilingi laut dan Saudi dengan batas daratnya. Meski begitu, Qatar dianugerahi sumber daya alam lain yang dimanfaatkan dengan maksimal: yakni minyak dan gas alam. Qatar bahkan memiliki cadangan gas alam terbesar ketiga di dunia, yaitu 24,7 triliun meter kubik, hanya kalah dari Rusia (38 triliun meter kubik) dan Iran (32 triliun meter kubik).
Berbeda dengan wilayah Timur Tengah lain yang fokus pada pengolahan minyak, Qatar lebih memilih gas untuk dioptimalkan. Dan hal itu yang kemudian mendorong Qatar untuk berbagi ladang gas di lepas pantainya, North Dome, dengan Iran yang berada di seberangnya. Masalahnya, Iran adalah rival yang amat dibenci Arab Saudi. Seteru kedua negara ternyata tak membuat Qatar ambil pusing. Doha tetap fokus pada produksi gas alamanya yang membuat Qatar menjaga jarak dari dominasi Saudi yang merajai wilayah Teluk.
Dengan potensi yang ada, Qatar bahkan percaya diri untuk membangun kekuatan sendiri. Diplomasi yang dijalin Qatar tidaklah ekslusif dan tebang pilih. Musuh bebuyutan Iran, Amerika Serikat, tak luput diajak kerja sama oleh Qatar. Buktinya adalah Qatar memberikan izin AS untuk mendirikan pangkalan udara terbesar Timur Tengah di sana. Di saat yang sama, Qatar tetap menjaga hubungan baik dengan mengirim sejumlah dana bantuan ke Rusia meski dalam beberapa kasus seperti pada invasi Ukraina, keduanya tak sejalan. Menariknya, Qatar mendukung Ikhwanul Muslimin (IM), gerakan yang dianggap berlawanan dengan blok barat. Ulama-ulama IM di Qatar sampai direkrut resmi pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan, hal yang membuat pemerintah Mesir meradang. Di Qatar, IM tak memiliki otoritas untuk memberikan fatwa. Mereka berelasi dengan pemerintah, sehingga potensi menguasai negara dan kaderisasi anggota tak terjadi. Apalagi, di Qatar ketimpangan ekonomi sangatlah minim.
Kebijakan unik yang dijalankan oleh Qatar ini bukannya tanpa risiko. Qatar sempat menjadi musuh bebuyutan di Timur Tengah karena tindakan nyeleneh-nya. Dalih Qatar menjadi pihak netral dan mediator konflik tidak lah ditelan mentah-mentah bangsa-bangsa Teluk. Mereka meyakini Qatar ingin menjadi raja baru Timur Tengah. Sebab, selain menabrak pakem-pakem tradisional ideologi Timur Tengah tadi, Qatar juga meluncurkan stasiun TV Al Jazeera yang mengklaim sebagai chanel berita independen ketika banyak pemerintah negara Teluk melakukan kontrol penuh terhadap media yang ada. Al Jazeera bahkan dengan berani mengkritisi kesenjangan ekonomi, pengangguran dan otoritarianisme, di negara-negara Arab yang membuat masyarakat Timur Tengah menaruh simpati lebih pada Qatar. Pemberitaan Al Jazeera juga disebut sebagai salah satu faktor pemicu Arab Spring dengan tuntutan demokrasinya, yang mengacaukan situasi sosial politik Timur Tengah. Padahal, hingga kini Qatar sendiri tidak menerapkan demokrasi.
Ambisi Qatar sebagai Kekuatan Baru di Tingkat Global
Bagi pemerintah Qatar, ambisi mereka sebagai kekuatan baru di Timur Tengah sudah selesai. Mereka pun kemudian membidik target selanjutnya: tingkat dunia. Namun di saat yang sama, mereka menyadari bahwa hegemoni global masih dikuasai oleh dunia barat, terutama Amerika dengan propaganda demokrasi dan nilai-nilai liberalnya. Soft politics Amerika yang nyatanya tak sukses di semua negara membuat Qatar melihat peluang menampilkan image baru dengan nilai-nilai budaya mereka.
Alhasil, mereka pun melirik gelaran akbar sepak bola sebagai sarana promosinya. Meski pemilihan Qatar sebagai tuan rumah dianggap ‘kotor’ karena dipenuhi dengan dugaan suap kepada para elit FIFA. Qatar tak bergeming. Mereka bahkan berani menggelontorkan sekitar 3.140 triliun untuk merombak negaranya demi piala dunia. Tak sekadar stadion bola, mereka membangun banyak fasilitas lain, seperti hotel dan transportasi massal publik. Dengan modal sebesar ini, sebenarnya Qatar terhitung rugi karena perputaran selama piala dunia tidak akan membuat modal awal tadi kembali.
Namun, jika ditilik dari dampak jangka panjangnya, langkah Qatar dapat dikatakan sangat berani. Terlepas dari segala kontroversi, termasuk bagaimana pembangunan venue yang mengorbankan buruh migran. Ambisi Qatar untuk mengglobal setidaknya terealisasi.
Diproyeksi dari segi ekonomi, pamor Qatar akan naik, dan ini semakin menguntungkan posisi geografisnya sebagai kota jalur transit dunia. Upaya tersebut berkelindan erat dengan usaha Qatar untuk meningkatkan pemasukan negara di bidang wisata dan sektor bisnis lainnya. Tak hanya itu, penyelenggaraan piala dunia ternyata menjadi sarana perdamaian politik kawasan Timur Tengah. Tercatat, sejumlah pejabat Arab Saudi yang sempat menjaga jarak dengan Doha, akhirnya mencairkan hubungan sebelum helatan piala dunia, dan melewatkan waktu terbaiknya di Qatar.
Dari segi geopolitik, piala dunia juga menjadi ajang aktualisasi diri negara di Asia Barat ini. Sebagai negara kaya, Qatar tidak ingin dipandang sebelah mata. Qatar ingin menunjukkan betapa negara mereka punya kekuatan ekonomi yang tak kalah dengan negara adidaya lain, dan mereka tak bisa disetir oleh blok barat dengan kampanye liberalisasinya. Tak heran, selama gelaran piala dunia, Qatar dengan tegas menetapkan aturan yang mengandung protes dari banyak negara seperti pelarangan LGBTQ dan minuman keras. Posisi yang membuat Qatar menjadi bulan-bulanan media barat, meski banyak fans yang langsung hadir mengakui bahwa dibalik pemberitaan buruk media mainstream, pelayanan publik berkualitas dan keramahtamahan warga Qatar mematahkan citra negatif itu.
Kini dengan berakhirnya gelaran akbar piala dunia, Qatar sejatinya membuktikan bahwa dakwah Islam rahmatan lil alamin skala global tidak bisa hanya sebatas dari mimbar pengajian, justru dari kompetisi sepak bola, yang bagi sejumlah kelompok Islam hukumnya adalah haram.