Eksotika menara Eiffel nampak suram dan redup. Pasalnya karikatur Nabi Muhammad di Perancis yang menuai kontroversi berujung pada reaksi serius di kalangan negara-negara muslim. Masalah makin meningkat setelah Presiden Perancis Emmanuel Macron, mengatakan negaranya tidak akan “meninggalkan karikatur” Nabi Muhammad (Kompas, 28/10/2020). Gerakan tagar boikot produk Perancis pun ramai membanjiri linimasa media sosial belakangan ini.
Membuat kartun sosok Nabi Muhammad sebagai ruang kebebasan berekspresi atau bahkan lelucon bagi orang Perancis bisa jadi merupakan penghinaan sekaligus bentuk kekerasan simbolik terhadap “totem” yang dianggap “sakral” bagi sebagian besar orang-orang muslim. Wajar jika menyebabkan emosi sosial dan politik yang berujung pada urusan perdagangan, politik, dan ekonomi.
Nampaknya negara-negara sekuler seperti Perancis perlu belajar dari masyarakat Asia Tenggara termasuk apa yang pernah dikatakan filsuf seperti Mircea Eliade, setiap agama atau kepercayaan memiliki simbol dan nilai yang “sakral”, maka simbol yang memang dianggap “sakral” itu patut dihormati.
Sekulerisme Dan Pasar Yang “Sakral”
Sebagai negara yang belakangan diketahui mengampanyekan anti Islam, Perancis sangat paham betul bahwa umat Islam dari kalangan fundamentalis memiliki watak hyper-sensitive yang mudah terjangkit “gejala demam dan darah tinggi” apabila disenggol soal simbol keagamaan yang dianggap “sakral”.
Lahirnya negara-negara sekular dengan watak neoliberal memiliki nilai tersendiri mengenai apa yang dianggap “sakral”, yaitu pasar dan kekuatan ekonomi. Bukan simbol-simbol keagamaan.
Mereka memuja pasar dan ekonomi sebagai primadona yang diyakini akan menyelesaikan seluruh persoalan dunia. Meskipun faktanya ideologi yang diyakini itu jatuh tersungkur dan tidak berhasil.
Di negara-negara Eropa seperti Perancis yang selalu mengampanyekan kebebasan dan hak asasi manusia, kenyataannya mereka gagal melindungi para imigran dan pencari asylum dari negara-negara bekas perang dan konflik. Alih-alih membantu para imigran minoritas yang tak berdaya dan kelaparan, mereka justru berlomba-lomba menutup tembok perbatasan.
Masih segar ingatan di kepala saya ketika tahun 2010 saat berada di Perancis, pelarangan burqa oleh pemerintah negeri eksotis ini menuai kontroversi dan mendapat kecaman di kalangan para aktivis HAM. Jika karikatur Nabi dianggap sebagai kebebasan berekspresi, maka bukankah menggunakan atribut agama juga merupakan kebebasan berekspresi yang harus diberi ruang?
Sejarahwan Yuval Noah Harari (2018) dengan berani mengutuk kebangkitan negara-negara sekuler yang menurutnya hanya menambah daftar kemelaratan dan kemalangan umat manusia di tengah ambruknya sistem demokrasi yang kacau dan amburadul.
Sarjana terkemuka, Karen Armstrong, juga sering mengkritik Eropa bahwa sekulerisme atas nama kebebasan yang dipuja-puja oleh kelompok sekuler dan neoliberal justeru berkontribusi terhadap suburnya terorisme dan radikalisme yang dialamatkan pada orang-orang Islam (Arsmtrong, 2015).
Simbol Agama Dan Boikot Produk Perancis
Salah satu labeling yang dialamatkan pada orang-orang Islam selama ini seperti jenggot, cadar, dan kostum tertentu selalu diasosiasikan sebagai kelompok radikalis dan terorisme. Padahal tidak semua orang muslim yang bercadar dan berjenggot merupakan bagian dari keduanya. Meskipun di kalangan kelompok “radikal” dan teroris memang menggunakan atribut-atribut ala Salafi.
Selain labeling dalam pandangan kaum sekuler yang sinis, acapkali prasangka yang ditujukan kepada orang-orang muslim juga bekerja secara efektif di dalam mendukung gejala islamofobia dalam mesin politik global hari ini. Islam telah digambarkan oleh media seolah sebagai agama yang mendukung kekerasan dan terorisme.
Di sisi lain kelompok muslim fundamentalis juga memandang dunia Barat sama halnya sebagai penyakit dan merampok peradaban dunia—yang menjajah orang-orang Timur dan Afrika, eksploitasi minyak di negara-negara Arab, dan politik liberal—sekuler yang anti Islam. Memang membicarakan Islam di Barat hari ini berarti membicarakan banyak hal yang tidak menyenangkan, begitulah Edward Said pernah menyampaikan dalam buku yang berjudul Covering Islam (1981).
Kali ini Perancis mendapat rapor merah dan gagal memahami betapa identitas dan simbol agama bukan hal yang main-main, akibatnya boikot produk Perancis yang dilakukan sebagian negara muslim. Presiden Macron tidak bisa menyembunyikan kegalauannya dan kalang kabut saat diketahui berupaya merayu Turki termasuk negara-negara muslim lainnya untuk berhenti boikot produk perdagangan mereka.
Abad 21 ini menyampaikan pesan penting dan membuktikan bahwa identitas keagamaan yang “sakral” apabila tergores maka bisa berakibat fatal terhadap roda ekonomi dan politik. Tampaknya memang sulit dipungkiri bahwa solidaritas agama dan ekonomi saling berkelindan.
Adalah mustahil dan khayalan tingkat dewa-dewa yang sedang duduk bersila sembari menikmati secangkir kopi di atas menara Eiffel, apabila ingin merubah kondisi dunia ke tatanan yang lebih baik dengan jalan kekerasan dan penghinaan terhadap kelompok agama satu sama lain.
Namun demikian, jika persoalan karikatur Nabi Muhammad yang terjadi di Perancis masih di besar-besarkan justru sebagian negara akan terjebak dalam drama, mimpi, dan khayalan semu para primadona sekuler yang memang sengaja menari-nari di atas panggung media–supaya “pertengkaran” antara Islam dan Barat menjadi langgeng dan sempurna.
Dalam khayalan saya, andaikata Nabi Muhammad hidup di era post-truth dan di tengah kisruh-rusuhnya politik global seperti sekarang, barangkali akan mengambil jalan dialog resolusi konflik atau malah mengajak swafoto Presiden Perancis, Macron, serta para pemimpin dunia lainnya untuk menyerukan perdamaian di tingkat global.
Hal itu mengingatkan kita pada sejarah perjanjian Madinah pada tahun 622 Masehi, sebagai seruan untuk persatuan, kerukunan, dan perdamaian umat manusia. (SI)