Sedang Membaca
Ekologi dalam Islam (4): Limbah Medis Covid-19 dan Pencemaran Lingkungan
Wildan Fatoni Yusuf
Penulis Kolom

Santri Ma'had Aly Lirboyo. Juaran Tiga Lomba Esais Muda Pesantren.

Ekologi dalam Islam (4): Limbah Medis Covid-19 dan Pencemaran Lingkungan

Whatsapp Image 2022 09 27 At 17.55.53

Jumlah Pasien Covid yang meningkat menutut penanganan kesehatan yang lebih ekstra. Dampaknya limbah medis meningkat saat pandemi. Kini, semua dituntut memilih diantara dua pilihan yang sama-sama mengancam, penanganan covid-19 atau menjaga lingkungan. Turats (kitab kuning) dengan keluasan kajianya telah membahas tentang limbah dan pengelolaannya. Begitu pula ia telah membahas sikap yang harus diambil ketika dihadapkan pada dua pilihan mafsadah (bahaya-kerusakan) yang saling mengancam.

Covid 19 menimbulkan masalah bagi kehidupan manusia dalam segala bidang. Pendidikan tatap muka urung dilaksanakan, ekonomi nasional mengalami resesi, kegiatan keagamaan yang menghadirkan masa terhambat, juga lingkungan hidup pun menjadi korban.

Jumlah pasien Covid 19 yang terus meningkat tentu membutuhkan penanganan ekstra. Penggunaan obat dan fasilitas kesehatan lainya pasti meningkat. Efeknya, sampah medis semakin banyak. Menurut data yang dirilis KLHK, setidaknya ada peningkatan 30-50 % limbah medis saat pandemi[1]. Sampai 15 oktober 2020, dari 34 propinsi tercatat ada 1.662,75 ton limbah Covid-19.

Selain itu, Covid-19 juga merubah gaya hidup masyarakat. Peraturan pemerintah yang mewajibkan pemakaian masker saat keluar rumah tentu juga menyebabkan meningkatnya sampah bekas masker sekali pakai. Hal ini jelas menambah masalah. Padahal sampah di Indonesia juga masih menjadi masalah yang perlu mendapat perhatian serius.

Limbah medis merupakan sesuatu yang berbahaya jika tidak ditangani secara baik dan benar. Apalagi di Indonesia belum banyak fasilitas layanan kesehatan yang memiliki sistem pengolahan limbah medis yang baik. Kalaupun memiliki, pengolahan limbah medis melalui insinerator juga bisa menghasilkan polutan berbahaya.[2]

Baca juga:  Kyai Musikan, Pejuang NU Jember

Seakan kita dihadapkan pada dua pilihan yang sama-sama buruk, memilih mengobati ratusan ribu pasien Covid-19, namun dengan resiko jumlah limbah fasilitas kesehatan akan meningkat. Atau menjaga lingkungan, namun bagaimana dengan kesehatan masyarakat yang terpapar Covid-19 ?

Pandangan Fikih

Fikih menjelaskan segala hal yang menyebabkan bahaya bagi manusia dan lingkungan harus dihilangkan. Berdasar pada hadits Nabi ;

لَاضَرَرَ وَلَاضِرَارَ ( رواه ابن ماجه )

tidak diperbolehkan membahayakan diri sendiri dan menimbulkan bahaya bagi orang lain” HR. Ibnu Majah[3]

Khazanah Turats bahkan dengan tegas melarang membuang sampah sembarangan, karena bisa membahayakan orang lain. Setiap orang yang membuang sampah sembaranagan diharuskan bertanggung jawab atas dampak yang timbul jika sampai membahayakan lingkungan dan orang lain.[4]

Fikih juga telah membahas soal penanganan sampah. Secara umum, Sampah dalam bentuk apapun harus dicarikan tempat sebagai lokasi pembuangan. Hanya saja tempat tersebut harus tempat yang layak atau lazim (‘urfi).[5] Karena standar yang diterapkan adalah kelaziman masyarakat, penanganan sampah dengan model apapun dapat dibenarkan, asalkan tidak membahayakan manusia dan lingkungan.[6]

Namun kini yang menjadi masalah, bagaimana jika penanganan kesehatan pasien Covid-19 yang merupakan usaha daf’u al dloror (menghilangkan bahaya), yakni sakit yang bisa mengakibatkan kematian, juga menimbulkan masalah baru berupa pencemaran lingkungan. Memandang meningkatnya jumlah limbah medis saat masa pandemi yang pasti berdampak negatif  bagi lingkungan dan kesehatan masyarakat secara tidak langsung.

Kehidupan manusia terkadang memang dihadapkan pada dua pilihan yang kedua-duanya mengandung mafsadah. Maka mau tidak mau salah satu harus dipilih. Mafsadah yang paling ringanlah yang harus dipilih. Dalam kasus seperti ini berlaku kaidah fikih

Baca juga:  Mengenal Imam Al-Ghazali sebagai Mufasir

إِذَا تَعَارَضَ مَفْسَدَتَانِ رُعِيَ أَعْظَمُهُمَا ضَرَرًا بِارْتِكَابِ أَخَفِّهُمَا

“ ketika dua bahaya saling berbenturan, maka bahaya yang berat dihindari, dengan memilih bahaya yang paling ringan” [7]

Menyelamatkan kesehatan dan nyawa tentu harus didahulukan dari bahaya pencemaran lingkungan yang bersifat tidak langsung (mafsadah ‘ajilah). Karena menjaga nyawa merupakan maqosid al-syar’iah yang paling besar dan harus mendapat perhatian utama. Serta dampak yang ditimbulkan Covid-19 terasa secara langsung (Mafsadah aajilah).[8]

Namun demikian, meskipun fokus utama saat pandemi berlangsung adalah menyelamatklan pasien Covid-19, akan lebih bijak jika masalah limbah medis juga tetap diperhatikan. Tentu jika penanganan tidak dilakukan dengan benar, mafsadah yang lebih besar akan muncul dikemudian hari, dan pastinya lebih mengancam kehidupan manusia. Satu masalah hilang akan muncul masalah lain.  kaidah fikih menjelaskan

الضَرَرُ لَا يُزَالُ بِالضَّرَرِ

“bahaya tidak boleh dihilangkan dengan bahaya yang lain[9]

Maka langkah Kemenkes dengan mengeluarkan surat edaran tentang prioritas pengolahan limbah medis / B3 pada masa pandemi Covid-19 sudah tepat. Tinggal praktek lapangan oleh fasilitas layanan kesehatan dalam menjalankan edaran tersebut,  yang harus sesuai prosedur agar sejalan pula dengan Permenkes Nomor 18 Tahun 2020 tentang pengelolaan limbah medis.

Dari sini kita dapat menyimpulkan, bahwa selayaknya dalam penanggulangan pandemi Covid-19, sektor lain juga tetap harus diperhatikan. Sektor lingkungan nampaknya sedikit iri dengan sektor ekonomi yang tetap dipaksakan hidup saat pandemi, namun sektor lingkungan seakan diabaikan.

Baca juga:  Pengalaman Spiritual Ibramsyah Amandit

Masyarakat juga punya peran besar, yakni dengan mengurangi penggunaan masker sekali pakai. Masker sakali pakai tentu akan menyebabkan penumpukan sampah baru. Karena dalam fikih, semua masyarakat wajib berpartisipasi mencegah masalah yang berdampak negatif secara global, diantaranya masalah sampah![10]

Kesimpulan

Wal hasil memilih menyelamatkan pasien Covid-19 dengan resiko bertambah banyaknya timbunan sampah merupakan pilihan yang harus didahulukan diantara dua pilihan yang buruk. Namun dengan tanpa meninggalkan upaya mencegah dampak buruk dari pilihan yang lain. Falyata’amal!.

[1] https://www.kemkes.go.id/article/view/20111500006/kemenkes-ajak-k-l-bersinergi-dalam-akselerasi-penanganan-limbah-medis.html. Diakses pada 03 desember 2020.

[2] https://www.mongabay.co.id/2020/10/05/dampak-limbah-medis-saat-pandemi/ Diakses pada 03 desember 2020.

[3] Abu Abdillah Muhammad bin Yazid Al Quzwaini, Sunan Ibnu Majah No. 2353

[4] Syaikhul Islam Zariya Al Anshari, Asna Al-Mathalib Syarh Raudl Al Thalib, Juz 4 hal. 73-74 ( Beirut : Dar Al Kutub Al Ilmiyah 2000)

[5] ibid

[6] KH. An’im Falahuddin Mahrus, Islam dalam Fenomena Lingkungan Hidup dalam buku Fikih Lingkungan, Hal 42 ( Jakarta : Conservation International Indonesia  2006)

[7] ‘Abdurrahman bin al-Kamal Abu Bakr al-Suyuthi, Al-Asybah Wa al-nadzair, Hal. 87 ( Beirut : Dar Al Kutub Al Ilmiyah )

[8] ‘izzu al din ibn ‘abdi al Salam, Qowa’idul Ahkam fi Mashalih Al Anam

[9] ‘Abdurrahman bin al-Kamal Abu Bakr al-Suyuthi, Al-Asybah Wa al-nadzair, Hal. 86 ( Beirut : Dar Al Kutub Al Ilmiyah )

[10] Muhammad bin Ahmad Arramli, Nihayah Al Muhtaj Ila Syarh Al Minhaj, Juz 8 Hal. 49 (Beirut : Dal Al-fikr 1984)

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top