Kalau ada ibadah yang paling dirayakan secara seremonial dalam Islam, maka ibadah haji-lah yang paling berhak menyandang gelar tersebut. Bagaimana tidak, perjalanannya dianggap sebagai perjalanan suci dan pelakunya mendapatkan gelar yang prestisius; haajj, haji, alias orang yang sudah haji. Berapa pun jumlah salat atau pun zakat kita, tak akan ada orang yang memberi julukan kita mushalli (orang yang salat) atau muzakki (orang yang zakat). Demikianlah fenomena antropologis yang tak terelakkan di tengah kita.
Prestis yang berkembang di tengah masyarakat ini cukup kontras dengan hikmah, maqashid, atau tujuan dasar dari haji. Coba kita tengok ihram, yang secara bahasa berarti melarang (orang sering tertukar antara mahram dan muhrim). Ihram adalah langkah pertama dalam haji. Para ulama mendefinisikan ihram sebagai niat memasuki ibadah haji. Dalam salat ia sepadan dengan takbir. Bedanya ihram dilakukan di waktu dan tempat tertentu.
Dalam ihram banyak terkandung nilai-nilai kesederhanaan. Ketika seseorang sudah berihram, maka ia harus siap meninggalkan syahwat-syahwat duniawi. Fala rafats, wala fusuq, wala jidal, tak boleh ada ucapan kotor, perbuatan buruk, atau pun perdebatan. Demikian tuntunan mulia al-Qur’an.
Jika salat dan zakat lebih dominan unsur perbuatan (fi’l) sementara puasa lebih dominan unsur meninggalkan (tark), maka haji datang untuk menggabungkan dua unsur tersebut. Salat, misalnya. Ibadah satu ini didominasi unsur-unsur “perbuatan” seperti sujud, rukuk, dan lain-lain. Sebaliknya, puasa lebih didominasi unsur-unsur “tidak melakukan”, seperti tidak makan, tidak minum, tidak bersetubuh, dan lain-lain. Nah, haji menggabungkan dua unsur ini. Di dalam haji ada unsur perbuatan (banyak malah). Namun juga ada unsur “meninggalkan”.
Ihram inilah “gerbang masuk” kedua unsur tersebut. Dengan ihram, seorang yang berhaji memasuki dimensi “meninggalkan” yang unik; ia harus meninggalkan wewangian, meninggalkan pakaian berjahit. Dua unsur duniawi inilah yang paling mencolok dalam tubuh seseorang. Ketika seorang jemaah haji melakukan ihram di tempat yang telah ditentukan, maka sejak itulah ia harus mengenakan kain ihram yang sederhana. Hal ini berlangsung selama ia melakukan ritual haji hingga ia mencukur rambutnya.
Selain itu, selama ihram ia juga harus meninggalkan berburu dan memotong pohon. Dua hal ini merupakan simbol komunikasi terhadap alam. Dan yang terpenting, ia juga dilarang berjimak; sebuah bentuk perlawanan terhadap nafsu anak manusia yang paling hina.
Sedangkan unsur “perbuatan” dalam haji ada cukup banyak (dalam rangkaian tulisan ini akan disebutkan hikmah masing-masing rukun). Ada thawaf, wukuf, sa’i, dan lain-lain. Semua unsur ini adalah rangkaian rukun ibadah haji. Melihat rangkaian ibadah yang demikian “keramat” dan “simbolik”, maka tak heran jika banyak tokoh yang mendapat pencerahan ketika ibadah haji. Al-Ghazali, misalnya. Ia sembuh dari krisis eksistensialnya pada saat berhaji. Rangkaian perjalanan ibadah haji inilah yang menjadi pencerahan baginya dalam mengarang Ihya’ Ulumiddin.
Selain beliau, Ibnu ‘Arabi adalah di antara ulama yang mendapat pencerahan ketika berhaji. “Ketika aku sampai di Makkah,” tulis beliau di Futuhat, “Allah meletakkan ilham-ilham di dalam benakku. Dan aku tulislah lembaran-lembaran ini.” Kitab tersebut adalah al-Futuhat al-Makkiyyah, pencerahan-pencerahan Makkah. Kitab tersebut menjadi traktat para wali. Di kitab tersebut tersimpan rahasia-rahasia yang sulit dipahami oleh orang awam.
Selain beliau berdua, ulama yang masyhur mendapat pencerahan ketika berhaji adalah Ibnu Taymiyyah. Dalam rihlah hajinya, ia menyaksikan hal-hal yang ia anggap penyimpangan dalam tubuh umat Islam: tabarruk, mengambil berkah, jamaah antar mazhab di depan Kabah, serta hal-hal lain. Sejak itu, “pembaharuan-pembaharuan” mulai beliau gemakan–terlepas kita setujui atau tidak, yang jelas gagasan pembaharuan itu muncul sejak beliau berhaji.
Masih banyak lagi tokoh-tokoh–baik yang tercatat ataupun tidak–yang mendapat pencerahan ketika berhaji. Demikianlah daya magis haji yang luar biasa. Maka perjalanan haji bukanlah menjadi sekadar ritual yang tak kasat mata maknanya, melainkan haji adalah ritual pencarian jati diri. Dan itu semua diawali dengan ihram.