Di kota tua Marakesh, pada pertengahan abad 9 H, salah satu pekerjaan paling digandrungi dan menjanjikan adalah para pemintal sutra. Sutra ini dikirim ke berbagai wilayah negeri dan menjadi bahan dasar pakaian kehormatan para sultan dan keluarga kerajaan.
Salah satu keluarga yang berprofesi sebagai pemintal sutra adalah keluarga dari Imam Abdul Aziz At-Tubba’. Tak heran, jika kita membaca biografi dari Imam At-Tubba’, maka dari sinilah para ulama mendasarkan menjuluki sang imam dengan al-harrar atau tukang pemintal benang.
Imam At-Tubba’ bernama lengkap Abdul Aziz bin Abdul Haq At-Tubba’ Al-Harrar. Para ulama tidak menyebutkan secara eksplisit kapan ia dilahirkan. Dari referensi yang saya dapat, bahwa At-Tubba’ lahir dan besar di kota Marakesh pada pertengahan abad ke 9 H.
Selain itu, informasi mengenai nasab keluarganya pun sangat sedikit. Hal ini berdampak pula pada pemilihan At-Tubba’ sebagai salah satu dari Sab’atur Rijal, yang perlu digarisbawahi adalah beliau dipilih bukan karena nasab, tapi karena atsar dan pengaruhnya dalam perkembangan dunia tasawuf barat islam, khususnya tarekat Jazuliyah.
Pada awal mulanya, dikisahkan bahwa Imam At-Tuba muda adalah seorang yang ummi, alias tidak bisa baca dan tulis. Ia hanya dikenal sebagai seorang pemintal sutra mewarisi tradisi dan mata pencarian keluarganya. Hingga pada satu kesempatan Ia bertemu dengan guru utamanya, Imam Muhammad bin Sulaiman Al-Jazuli ketika singgah di Marakesh. Tidak disebutkan juga tahun bertemu, usia dan lama berguru kepada Imam Al-Jazuli. Satu-satunya data yang bisa dibaca bahwa Imam At-Tubba’ bertemu gurunya pada remaja.
Ditambah lagi data yang menyebutkan Imam At-Tubba’ meminta gurunya untuk menghadiri jamuan di rumah orang tuanya di distrik Al-Qushur, Darb Ibn Harib. Hubungan antara seorang mursyid dan murid yang kuat inilah membawa At-Tubba’ kepada sebab hidayah dan kecenderungan untuk bermulazalah dengan para arif billah.
Dalam satu riwayat, At-Tuba sempat mendatangan Imam Al-Jazuli di zawiyahnya yang berada di distrik Afghal, kota Asafi. Bermulazamah beberapa waktu dengan sang guru dan kembali lagi ke kota Marakesh. Meskipun tidak terlalu lama berguru dan bersuhbah dengan gurunya, Imam Al-Jazuli pun merasakan ada sirr yang besar dalam diri muridnya satu ini. Sebelum wafat, Imam Al-Jazuli sempat berkata kepada murid khoshnya yaitu Sidi Muhammad As-Shagir As-Sahli, “Wahai As-Shagir, Allah, Allah fi Abdil Aziz.”
Dr. Hasan Jallab dalam bukunya Harakat As-Sufiyyah bi Murakusy berpendapat bahwa seperti lazimnya para murid yang berguru dengan Imam Al-Jazuli, mereka pasti mengamalkan dan mendawamkan membaca Al-Qur’an dan kitab Dala’il Al-Khoirot serta dzikir. Karena merupakan aurad yang senantiasa diijazahkan dan diamalkan oleh Imam Al-Jazuli. Selain itu, Imam Al-Jazuli juga mengajarkan kepada muridnya berbagai qasidah dan nadhom bernafaskan tasawuf dan akidah. Dalam ilmu tauhid, beliau mengajarkan Qasidah fi ushul Ad-Din milik Imam Abil Hajjaj Ad-Dhorir.
Setelah wafatnya Imam Al-Jazuli pada tahun 870 H. At-Tubba’ memutuskan untuk melakukan rihlah ilmiah di kota ilmu, Fes. Di sana ia belajar di Madrasah Al-Atthorin. Madrasah ini didirikan oleh Sultan Abu Ya’kub Al-Marini pada tahun 723 H dan rampung pada tahun 725 H. Disinilah tempat Imam At-Tubba’ menimba ilmu dengan para ulama dan fukaha kota Fes.
Dia mulai bermulazamah dengan Sidi Muhammad as-Sahli di zawiyah miliknya yang berada di wilayah Khandaq Az-Zaitun. Selama 8 tahun ia berkhidmah, belajar dan bermulazamah dengan gurunya serta mengambil baiat tarekat Syadiliyyah Jazuliyah. Hingga ia mendapat izin untuk kembali ke kampung halamannya.
Diceritakan oleh Imam At-Tadili As-Shuma’i dalam kitabnya Al-Ma’za fi Manaqib Abi Ya’za. Bahwa setelah mendapat izin dari gurunya, Imam At-Tubba’ bermaksud untuk menziarahi petilasan Imam Abu Ya’za Yalnur. Setelah sampai dan ziarah, ia menginap dan beristirahat di sekitar makam. Dalam tidurnya ia bermimpi dadanya di belah dan dimasukkan Al-Qur’an di dalamnya. Setelah itu, setiap ia berbicara dan menjawab pertanyaan akan dijawab dengan Al-Qur’an. Seperti kisah muridnya Imam Ali Ad-Dir’i ketika hendak pulang ke kampung halamannya dan bertemu keluarganya, maka Imam At-Tubba’ menjawab dengan ayat,
“رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا “
Zawiya At-Tubbaiyah
Ketika sampai di Marakesh inilah ia mulai berdakwah di kalangan masyarakat dan mendirikan sebuah zawiyah dari tanah hasil hibah Ahmad Al-Amin Al-Qoshtolani kepada At-Tubba’. Zawiyah ini terletak di distrik Al-Qabbabin atau yang lebih dikenal dengan An-Najjarin. Sementara yang bertugas untuk melayani makan para santri dan muridin serta mengatur segala kebutuhan zawiyah adalah Abdul Karim Al-Fallah murid yang nantinya menjadi ulama besar di zamannya.
Di zawiyyah inilah Imam At-Tubba’ fokus mendidik murid dan melakukan ibadah kepada Tuhannya. Ia mulai membimbing muridnya dengan mendawamkan aurad dari gurunya Imam Al-Jazuli. Bersama para muridnya, mereka membaca kitab dala’il secara jahr dan bersama-sama.
Imam At-Tubba’ juga terkenal dengan kepakarannya dalam sastra sufi yaitu kasidah yang dikarang oleh para ulama sufi dalam bentuk nadhom ataupun nasr. Baik berupa ibtihal, pujian, munajat dan lainnya. Ia juga mengajar para muridnya Arjuzah Al-Mabahis Al-Ashliyyah karangan Ibn Al-Banna As-Sarqusti.
Menurut Al-Qassar, Imam At-Tubba’ juga melakukan talqin kalimat Lailaha Illa Allahu Muhammadun Rasulullah kepada para muridnya. Hal senada dengan apa yang dikatakan oleh Sidi Ridwan Al-Jinawi. Metode pembelajaran Imam At-Tubba’ mengkhususkan pembelajaran berbagai fan ilmu syariat pada pagi hingga siang hari dan malam harinya digunakan khusus untuk munajat serta membaca aurad milik Imam Al-Ghazali.
Beberapa muridnya yang terkenal mewarisi keilmuan Imam At-Tubba’ adalah Imam Al-Ghazwani (Merupakan salah satu dari Sabatur Rijal), Sidi Abdul Karim Al-Fallah, Sidi Rahhal Al-Kusy, Sidi Muhammad bin Isa yang dimakamkan di Meknes.
Di antara kasidah yang masyhur dinisbatkan kepada Imam Abdul Aziz At-Tubba’:
لله في الخلق مــا اختارت مشيئته مــــا الخير إلا الــــذي يختـــاره الله
إذا قضـــى الله فاستسلــم لقدرتــه مــــا للمرء حيلـــة فيمـا قضى الله
تجــري الأمـــور لأسبـــاب لهــا علل تجـــري الأمــــور على مــا قدر الله
إن الأمـــــور وإن ضـــاقت لهــــا فـرج كــــم مــــن أمــــور شداد فرج الله
يا صــــاحب الهـــم إن الهم منفــرج أبشــــر بخيــر فـــــإن الفـــارج الله
تــــا الله مـــا لك غيــــر الله من أحــــد ولا يصيبــــك إلا مــــا قضـــــى الله
اليــــأس يقطـــع أحيانــــا بصاحبــه لا تيــــأس فــــإن الصــــانـــع اللــه
الله لـــــي عــــدة فــي كــل نازلــة أقــــول في كل شيء حسبي الله
Imam At-Tubba’ tidak memiliki peninggalan karya berupa kitab. Ia dikenal sebagai mujaddid tarekat Jazuliyah. Penisbatan At-Tubba’ pada dirinya dikerenakan banyaknya pengikut dan murid yang dimiliki.
Pada tanggal 6 Rabiul Tsani tahun 914 H. Di distrik Tsalasah Fuhul. Tempat yang memisahkan antara Hay Al-Mawasin dan Makam As-Tubba’ dan di antara Hay Bab Dukalah dan Thoriq Suq. Tepat berada di zawiyahnya dan sekarang menjadi area pemakan. Banyak kalangan berziarah ke makam At-Tubba’ karena dipercaya dapat mengabulkan hajat dan menghilangkan keapesan pada diri seseorang. Tentunya semua kepercayaan ini tidak akan terjadi kecuali atas izin Allah bukan? (RM)
Casablanca, 2020