
Jumlah kedai kopi di kota-kota besar di Indonesia mungkin ribuan. Namun tak banyak yang memperkerjakan kelompok difabel. Maka, menyeruput kopi di “Sunyi House of Coffee and Hope” di Jalan Barito, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, memberikan suasana yang berbeda dari kedai-kedai kopi pada umumnya.

Berbalik dengan namanya, siang itu suasana di “Sunyi Coffee” justru ingar bingar karena kehadiran puluhan jurnalis yang biasa meliput isu-isu kemanusiaan di bawah koordinasi kantor urusan informasi Perserikatan Bangsa-Bangsa atau United Nations Information Center (UNIC).
Jika biasanya awak media berkumpul di kantor UNIC atau restoran formal, maka usai Lebaran mereka sengaja memilih tempat ngopi kekinian di selatan Jakarta, yakni ‘Sunyi Coffee’. Para pekerja di kedai kopi ini adalah tuna rungu.

Sederet barista andal dan pelayan terampil begitu sigap melayani puluhan tamu. Saking sibuknya, terkadang mereka terpaksa bersenggolan dengan pengunjung. Beberapa tamu ada yang mencoba memesan dengan menggunakan bahasa isyarat, seperti yang tertera pada dua banner di dekat meja kasir.
“Untuk (isu) disabilitas, Indonesia termasuk satu dari sepuluh negara percontohan yang ditunjuk oleh PBB untuk program yang namanya “Diversity Inclusion” (penyertaan dalam keberagaman), di dalamnya termasuk kelompok disabilitas,” tutur Siska Widyawati selaku National Information Officer UNIC.
Maknanya, kelompok disabilitas itu bukanlah yang harus menyesuaikan diri dengan masyarakat non-disabilitas. Akan tetapi, lingkungan yang justru menyesuaikan diri dengan mereka.

Menurut Siska, pendekatan kemanusiaan semacam ini sangat penting diterapkan di berbagai layanan publik. Tidak sekedar “memanusiakan” kaum disabilitas, tetapi juga menegakkan hak asasi manusia.
“Semua orang berhak mendapatkan pendidikan dan pekerjaan yang layak, dan kita semua beradaptasi dengan dua hal itu,” tambah Siska.
Tiga pendiri ‘Sunyi Coffee’ adalah Mario Gultom, Almaz Nizar, dan Vanaldo. Namun Mario dan Almaz siang itu tidak hadir di lokasi.
Vanaldo, yang akrab disapa Aldo, bercerita pada Alif ketika mereka membangun kedai kopi khas ini pada 2019. Ia mengakui media sangat antusias menanggapi keberadaan ‘Sunyi Coffee’.

Saat itu ada sekitar 70 media yang meliput dan tentu membuatnya begitu optimistis. Tapi tidak lama wabah COVID-19 melanda dunia dan berdampak pada dunia usaha kuliner.
“Begitu ada COVID mulai menurunlah omset kami. Cabang pertama dulu di Jalan Fatmawati (Jakarta Selatan) kemudian pindah ke sini (Jalan Barito I). Cabang lain ada di ruko Grand Galaxy Bekasi, dan ada juga yang berada di lokasi perkantoran. Kami bekerja sama dengan Bank BTN, jadi kami membuka gerai di Menara BTN di Rasuna Said dan juga dengan Kitabisa. Kami menyediakan layanan katering,” kata Aldo.
Jembatan Tuli dan Non Tuli
Sang pemilik ingin betul menjadikan ‘Sunyi Coffee’ menjadi jembatan antara teman tuli dan non-tuli, maka dia memasang dua banner yang berisikan kode dalam bahasa isyarat.
“Saya ingin mereka yang datang ke sini bisa saling berinteraksi dengan teman-teman disabilitas yang bekerja di sini. Alhamdulillah semua orang bisa menerima dan kami semua ikut bergembira,” kata Aldo.
Selain kedai kopi, Aldo juga mendirikan ‘Sunyi Academy’, yang berbentuk sebuah yayasan untuk menyediakan fasilitas belajar bagi kelompok disabilitas dan tuli.
Di sini mereka diajarkan cara meracik kopi hingga bagaimana membuat resume atau CV yang bagus dan menarik. ‘Sunyi Academy’ berlokasi di lantai dasar ‘Sunyi Coffee’ cabang utama di Barito.

Menariknya, ‘Sunyi Coffee’ tidak khawatir bersaing dengan kedai-kedai kopi kekinian yang muncul di sepanjang jalan dan pojok-pojok kota Jakarta.
Mereka aktif mempromosikan diri dan kegiatan melalui Tiktok dan Instagram, bahkan menggandeng musisi Gen Z, idgitaf, untuk ikut berpromosi.
“Lagu-lagunya idgitaf itu sekarang sedang populer di Tiktok, suatu hari dia tiba-tiba datang dan mengatakan kalau dia ingin berkenalan dengan teman-teman tuli di sini. Akhirnya kami bikin proyek bersama,” kisah Tami, Manajer Proyek di ‘Sunyi Coffee’.
Program Prioritas Kemensos
Mengutip data dari Badan Statistik Nasional pada 2020, Kementerian Sosial RI menyebutkan jumlah penyandang disabilitas di Indonesia mencapai lima persen dari total jumlah penduduk, atau sekitar 22,5 juta orang.
Dari jumlah itu, 11 persen di antaranya adalah disabilitas netra. Sayangnya, kuota kerja mereka masih sangat rendah, hanya dua persen.
Saat peringatan Hari Disabilitas Internasional pada Januari lalu, Menteri Sosial, Syaifullah Yusuf atau Gus Ipul menyatakan ada lima program prioritas pemerintah untuk penyandang disabilitas.
Lima program tersebut adalah:
1..Validitas data (upaya mewujudkan Data Tunggal Terpadu, termasuk Data Nasional Penyandang Disabilitas).
2. Penerbitan Kartu Penyandang Disabilitas untuk memudahkan para penyandang disabilitas mendapatkan hak-hak mereka.
3. Pengembangan platform digital agar memudahkan para penyandang disabilitas bertemu dengan para pencari kerja untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai (link and match).
4. Kolaborasi dan sinergi antarlembaga dan pemerintah pusat dan daerah.
5. Mempercepat penerbitan PP Konsesi dan Insentif bagi penyandang disabilitas.