Sedang Membaca
Tentang Kitab Suci Berbahasa Minang
Sarjoko S
Penulis Kolom

Alumni Pesantren Kajen, Pati. Aktif di Gusdurian, Jogjakarta. Selain menulis, juga suka fotografi dan desain.

Tentang Kitab Suci Berbahasa Minang

Mengapa Cara Baca Alquran

Baru-baru ini ada polemik tentang kitab Injil berbahasa Minang. Ada yang memantik diskusi yang konstruktif, ada yang sebatas mencibir tanpa pernah mengulik apa maksud di baliknya.

Sejauh saya membaca, kebanyakan menggunakan sudut pandang identitas dirinya, tanpa sekali pun mencoba untuk memahami dari perspektif yang berbeda.

“Injil saja ada yang bahasa Arab, masak bahasa Minang tidak boleh?” (Beberapa tahun lalu, di Malaysia, umat Nashrani dilarang memakai lafaz Allah)

Jika ada yang membandingkan bahasa Minang dengan bahasa Arab, agaknya kurang tepat. Pertama, bahasa Arab itu bahasa universal. Arab bukanlah suku karena di Jazirah Arab terdapat banyak suku atau klan yang memiliki adat istiadat dan pilihan agama masing-masing.

Meski sebagian besar warga di jazirah Arab itu muslim, tapi masih banyak pula yang menganut agama lain. Mereka masih berbahasa Arab. Ha njuk kalau tidak ada kitab suci agamanya berbahasa Arab, lalu mau membaca kitab seperti apa?

Sementara Minang adalah satu suku dan ketika kita menyebut bahasa Minang, berarti terikat dengan satu suku yang memiliki adat istiadat tertentu.

Kedua, ada satu adagium terkenal di masyarakat Minang, yaitu “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”. Maksudnya, adat yang didasarkan oleh syariat agama Islam yang syariat tersebut berdasarkan pula pada kitabullah (Al-Quran).

Baca juga:  Gerakan Islam di Tanah Banjar: Tuan Guru, Media Sosial, dan Pergumulan Paham Keagamaan

Ini memiliki sejarah panjang, terkait pula dengan perang Paderi (1803-1838) yang sejarahnya pernah kita baca saat berada di sekolah dasar. Perang Paderi dikenal sebagai perang antara kaum religius melawan kaum adat yang didukung Belanda. Untuk mengakhiri perang yang berkepanjangan, maka tiga penopang adat Minang, yaitu niniak mamak (pemuka adat), alim ulama, dan cadiak pandai (cendekiawan), melakukan sebuah kesepakatan.

Adagium tersebut kemudian muncul dan jadi pedoman hidup masyarakat Minang.

Sebelum Islam masuk, sama seperti kebanyakan suku-suku di Tanah Air, suku Minang hidup dengan menjadikan alam sebagai pedomannya. Pun, sama dengan suku-suku lain di Tanah Air, ketika Islam masuk, masyarakat setempat dengan sangat mudah bisa membaur. Islam sebagai agama bisa mengakomodasi berbagai kepentingan adat istiadat, termasuk di masyarakat Minang yang matriarkis. Al-‘addah muhakkamah, adat bisa dijadikan hukum.

Bagaimana dengan orang Minang yang beragama lain? Untuk sekarang, ya tidak ada. Secara adat, apabila ada yang keluar dari Islam, sudah tidak diakui sebagai bagian suku Minang. Artinya, ia dieksklusi dari adat istiadat yang menaunginya.

Lha bukannya di Padang ada rumah ibadah agama lain? Inilah letak kesalahpahamannya. Padang dan Minang adalah dua entitas yang berbeda. Seseorang bisa saja tinggal di Padang tapi bukan merupakan suku Minang. Meski ia bisa berbahasa Minang, bukan berarti ia otomatis masuk dalam suku tersebut.

Baca juga:  Tips Nyaleg ala Kitab Alfiyah Ibnu Malik

Makanya, kita bisa menemukan banyak rumah makan Padang yang dimiliki orang Jawa, Sunda dll tapi tidak akan pernah menemukan rumah makan berlabel Minang yang dimiliki oleh orang di luar suku Minang.

Bagi orang bersuku Jawa seperti saya, ketatnya aturan adat memang sudah tidak bisa dirasakan. Kalau pun ada, hanya bersifat opsional. Misalnya, dalam pernikahan, ada hitungan weton. Kalau ada orang Jawa yang tidak percaya, ya sudah. Pun, ‘aturan’ tidak diperbolehkannya menikah anak pertama dan ketiga (lusan), kalau tetap ngotot, ya sudah. Lagi pula hal-hal semacam ini sudah mulai banyak dilupakan.

Namun beberapa suku di Indonesia masih memegang teguh aturan-aturan tersebut. Selain Minang ada Batak, Toraja, Melayu, dan sebagian Aceh. Menilai mereka tentu tidak bisa menggunakan sudut pandang kita.

Apakah diskriminatif? Memangnya adat mana yang tidak diskriminatif bagi orang di luar adatnya? Adat adalah rumah besar. Jika Anda memiliki rumah, apakah aturan yang Anda berlakukan di rumah Anda itu bisa disalahkan? Jawabannya bisa iya, bisa tidak. Tergantung rumah seperti apa yang ingin Anda bangun.

Ada rumah yang open house bagi siapa saja. Ada rumah yang harus dikunci mulai jam 9 malam. Ada rumah yang memperbolehkan siapa saja makan di dapurnya. Ada rumah yang tertutup bagi orang lain. Semuanya adalah sah dan ingat pepatah ‘di mana bumi dipijak, di situ pulalah langit dijunjung’.

Baca juga:  Membaca untuk Bersenang-senang

Kembali ke poin awal, bagaimana dengan injil berbahasa Minang? Bagi saya, sebagai orang luar, hal tersebut baik karena menambah khazanah literatur tanah air. Namun secara adat, saya bisa memaklumi penolakan tersebut dengan melihat konteks sejarah, adat istiadat, dan kondisi sosial yang berlaku di sana.

Wallahua’lam.

Tanah Melayu, 07 Juni 2020

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top