Sedang Membaca
Sejarah Singkat Ulama dalam Merespon Wabah Virus
Saifuddin Dhuhri
Penulis Kolom

Dosen Fakultas Ushuluddin, Adab, dan Dakwah, IAIN Lhokseumawe-Aceh dan pengurus MAA Aceh Utara. Lahir di Pidie, Aceh tahun 1977. Jenjang S1 selesai di Universitas Al-Azhar Mesir, bidang Akidah dan Filsafat. Atas beasiswa dari UNESCO, ia melanjutkan S2 di Universitas qurawiyien, Tetouan-Maroko. Kini masih proses penyelesaian S3 dalam bidang Filsafat Hukum Islam.

Sejarah Singkat Ulama dalam Merespon Wabah Virus

1 A Cropp

Hari ini dunia dalam kepiluan yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Jangankan negara seperti Indonesia, India, ataupun Iran yang kena embargo, negara-negara adikuasa pun tersungkur karena serangan pandemi virus Corona yang mematikan ini.

Di tengah kegundahan yang tiada tara ini, sekolmpok tokoh agama (tidak hanya Islam) merespon terhadap protokol/kebijakan keselamatan dari wabah virus; physical distancing dan stay at home secara kontroversial. Mereka tetap ke masjid, tetap ke gereja ke pura, tetap menggelar acara keagamaan (tentu saja, sikap tidak disiplin terjadi di luar komunitas keagamaan).

Dalam esai pendek ini, saya akan mencoba menjelaskan bagaimana respon ulama terhadap wabah virus dalam beberapa fase sejarah Islam.

Wabah adalah istilah yang diambil dari bahasa Arab, al-waba`, yang maknanya sama dengan penyakit menular, baik endemi (daerah/iklim tertentu ataupun pandemi/global). Dalam bahasa Arab, selain wabah, ulama juga mengunakan istilah tha`un dengan makna yang sama. Secara bahasa, tha`un dikatakan kepada seseorang yang telah terjangkiti tha`in (pengidap). Ibnu Hajar al-Asqalani, seorang ahli hadis terkenal, mendefenisikan tha`un dengan:

“Suatu penyakit yang merusak lingkungan udara, merusak badan, dan menganggu ketenangan jiwa. Wabah ini adalah materi yang beracun, menyebabkan luka bengkak yang mematikan pada bagian-bagian yang lembut dari tubuh. Penyebabnya adalah darah yang kotor yang membuat pembusukan dan kematian.”

Ibnu Hajar juga menjelaskan wabah itu adalah al-mardh aamhadatsa fi waqtin waahid. Artinya, penyakit yang menyerang seluruh manusia dan terjadi di waktu yang sama dengan penyakit yang sama.

Jika dibaca defenisi ulama di atas, maka ternyata tidak jauh berbeda dengan defenisi WHO yang mendefenisikan Pandemi adalah kasus penyebaran penyakit tertentu yang menyerang seluruh penduduk dunia dalam waktu yang sama dan dengan penyakit yang sama. Bedanya, para ulama dahulu menghubungkan dengan kondisi udara lingkungan, kesehatan masyarakat dan kematian massal manusia dan mendadak.

Baca tulisan terkait:

Juhud Ulama dan Kitab-Kitab Tha`un

Bukan saja kita hari ini, pendahulu kita juga mengahadapi krisis karena pandemi wabah virus. Bukan sekali saja, tetapi hampir setiap abad mereka diserang wabah, bahkan pada abad pertama, Rasulullah dan sahabat menghadapi beberapa wabah.

Disebutkan dalam buku-buku sejarah ataupun kitab hadis, pada tahun 18 hijriah kira-kira 693 M, umat Islam dihadapkan dengan wabah Ammawas طاعون عمواس dan pada tahun 69 hijriah, umat Islam dilanda serangan Tha`un al-Jaarif, dan tahun 87 hijriah kembali dilanda wabah al-Fatayath dan wabah tha`un al-Ashraf. Dalam mengahadapi krisis kesehatan massal ini, ulama bekerja keras (juhud) dengan berbagai cara ditempuh baik itu melalui karsa budaya maupun tawajjuh kepada pencipta agar terselamatkan dari epidemi yang mematikan.

Dalam mengahadapi serangan wabah tersebut, banyak ulama terjun langsung mengatasi wabah dengan kapasitas mereka masing-masing. Sebagian ulama yang mampu dalam ilmu kedokteran, maka mereka mengabdikan keahliannya untuk mengobati orang yang tertimpa dan memberikan arahan kesehatan. Namun, mereka tidak menghalangai ulama yang tidak ahli dalam kedokteran ikut terlibat. Sebut saja Ibnu Hajar al-Asqalani misalnya, beliau ahli hadis, tiga anaknya meninggal karena wabah, dan mengabdikan diri menulis dua buku tentang wabah, salah satunya Bazlu al-Ma`un fi Fadhli al-Tha`un, yang sekarang kembali menjadi populer dan menjadi salah satu sumber informasi serangan wabah virus masa lalu, menjadi bagian dari literasi keislaman terkait wabah.

Baca juga:  Ngaji Rumi: Derita Corona yang Melahirkan Kesadaran

Tema wabah tidak asing dalam literasi keislaman. Karena memang mereka terlibat langsung, merasakan langsung, dari era Rasulullah, sahabat hingga abad pertengahan. Maka tidak heran ada sederet nama ulama menulis tema-tema wabah dan wafat karena wabah. Sebut saja Ibnu al-Wardi penulis Risalatun Naba’ ‘anil Waba’, Tajuddin as-Subki juga mengaranag Juz’un minat Tha’un, Syihabuddin Yahya at-Tilmisani yang menulis at-Thibb al-Masnun fî Daf’ ‘anith-Tha’un, dan Murtadla az-Zabidi. Mereka adalah sederatan ulama yang berjuang dengan wabah dan mencari solusi sesuai kemampuan mereka. Mungkin akan terkejut, ternyata buku buku tentang wabah juga didekati dengan berbagai disiplin ilmu, karena ulama demikian peduli dan memberi pehartian mereka dari berbagai keahlian yang mereka mampu.

Seiring dengan aksi nyata menangkal krisis dalam kenyataan, usaha menulis kitab-kitab yang kini dikenal dengan ilmu epidemologi terus menerus dilakukan, sehingga tidak ada fase dari krisis kesehatan menimpa tanpa hadir kitab-kitab ulama yang ditulis sebagai solusi dan ikhtiar dalam menghadapi krisis kesehatan massal. Mengagumkan bukan?

Pada abad pertama Hijriah, masa Rasulullah dan abad kedua masa para sahabat, saat itu kitab-kitab hadis Nabi menjadi sumber tertulis tentang bagaimana hakikat wabah dan cara pencegahannya. Selain itu, terdapat juga dalam buku-buku adab, sejarah, hadis dan  buku-buku lainnya. Misalnya dalam kitab al-Muwatha Imam Malik, Musnad Ahmat bin Hambal, dan Sunan at-Turmuzi. Salah satu contohnya dalam Musnad Imam Ahmad bin Hanbal no: 26139

…Dari ‘Aisyah bawasannya Ia bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terkait perihal wabah, kemudian beliau memberitahuku, “Wabah penyakit adalah sejenis siksa yang Allah kirim kepada siapa pun yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Allah menjadikan hal itu sebagai rahmat bagi orang-orang yang beriman. Tidak seorang pun yang terserang wabah, lalu dia bertahan di tempat tinggalnya dengan sabar dan mengharapkan pahala, juga mengetahui bahwa dia tidak terkena musibah melainkan karena Allah telah menakdirkannya kepadanya, maka dia mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mati syahid.” (HR. Ahmad)

Selanjutnya kitab tentang wabah, atau epidemiologi telah mandiri dan disusun secara ilmu sendiri. Di antara ulama yang berdikasi tinggi menulis tentang kitab-kitab tentang wabah, seperti Al-Kindi (260 H), Ibnu Kamal Basya (980 H), Imam al-Sayuthi (911 H), al-Badlusi (930 H), al-Ru`aini al-Hathab (954 H), masing-masing mereka menulis tiga kitab yang berbeda tentang tha`un. Sementara kelompok ulama lainnya menulis dua kitab seperti Fakhrur al-Razi (313 H), Al-Syaquri (776 H), Ibnu Hajar al-Asqalani (852 H), Ibnu Abi Hujlah (776 H), Mar`a al-Karami (1033 H) dan lainnya.

Baca juga:  Magnet Guru Sekumpul dan Islam Rahmatan Lil 'Alamin

Secara detail dapat kita telusuri lebih dalam lagi sejarah peradaban Islam, banyak sekali buku-buku yang ditulis untuk memahami tha`un atau wabah. Buku tertua pernah ditulis dalam peradaban Islam kebanyakan sudah hilang, dan diketahui keberadaannya dari buku-buku lainnya yang tersisa seperti; Fi al-Abkhirah al-Mashlahah lilujju min al Waba`, Risalah fi idhah al-illah fi alsamaim alqatilah al samaiyah wahuwa al-qaul al-Muthlak fi al-waba, Risalah fi al-adawiyah al-musfiyah min al rawaih al-mu`ziyah adalah tiga kitab tertua tentang wabah yang dikarang pada abad ketiga hijriah.

Tiga kitab tersebut membahas tentang tha`un secara lengkap dengan pendekatan kedokteran dan kesehatan lingkungan. Hakikatnya, tiga buku ini sangat penting karena buku-buku pertama sekali pembahasannya menyeluruh dan mandiri dari ilmu lainnya.

Sebelum tiga karya tersebut, penulisan tentang wabah belum mandiri, belum ditulis sebagi tema atau ilmu tersendiri. Semisal baru ditulis sebagai bagian dari penulisan pembahasan sejarah dan hadis saja. Selain tiga kitab itu, kitab at-Thawwaein, karangan Abi ad-dunya (281H) yang mendekati dengan pendekatan sufi dan ilmu jiwa, dan kitab fi al-i`eda’ karangan Qastaan bin Luqa (300 H) adalah dua kitab lain yang juga tertua.

Pada abad keempat beberapa wabah menyerang umat Islam. Saat itu umat Islam dilanda wabah tha`un, tepatnya tahun 301 hijriah, dan tha`un Ashbahan pada tahun 324 dan tahun 346 hijriah. Dalam merespon wabah tha`un tersebut, Imam Fakhrur Razi dan Ibnu al-Jazar dan lainnya menuslikan beberapa kitab misalnya: as-Sabab fi qathli rieh alsumum aktsar al-hayawan dan ar-Risalat al-Wabaiyah. Dua kitab ini karangan Imam ar-Raza.

Selain itu ada; Na`atul Asbab al-Mulidat lil Waba’ fi Misr Watariq alhilat fi Zalik Waeilaj ma Yatakhawaf minh, Ibnu al-Jazar (369H), Madah al-Baqa’ fi ‘Iislah Fasad al-Hawa’ wal Taharruz min Dharar al-‘Awba’ karangan Muhamad bin ‘ahmad at-Tamimii al-Maqdsyan dan kitab Khutbat fi Zikri Almawt wal Waba’. Saat ini, masalah penularan lewat udara dan lingkungan yang sehat menjadi pembahasan “pandemilogy Islam”.

Sementara pada abad kelima Hijrah, para ulama dihadapkan kepada wabah Basrah, tepatnya pada tahun 406 h. Kemudian wabah kolera tahun 426 hijriah, tha`un Syiraz tahun 425 H dan pada tahun 433 H Mausul dilanda tha`un, demikian juga Tha`un Hijaz 499, Mesir 455 dan Tha`un Iraq 478 H. Pada abad ini banyak buku dikarang mengenai Tha`un, seperti: Risalat fi Tahqiq ‘Amr al-Waba’ lil Hifaz ilaa Manhaj ‘Iidha Waqae  karangan Abu Sahl (401 H). Kitab ini kemudian diterbitkan ulang tahun 2005 dengan komentar oleh Lathfullah, diberikan judul baru; Risalah fi al-Jughrafia al-tibiyat watathir albiyat mae dirasat ean turathina aleilmii hawl almwdwe.

Daf`ul Madar al-Kuliyat ean al-‘Abdan al-Insaniat karangan uIbn Sina ​​(428 H), dan Dafu mudhar al-Abdan bi’ardh Misr ditulis oleh Ali bin ridwan ( 460H). Perkembangan penting pada abad ini adalah adanya pertimbangan lingkungan geografi dan lingkungan hidup sebagai pemicu wabah virus.

Baca juga:  Kitab Kecil Warisan Habib Utsman

Demikian juga ada abad-abad selanjutnya, seiring wabah terus datang dengan jenis dan karakternya yang terus berkembang dan berubah-ubah, ulama-ulama terus mencari solusi dan model pencegahan yang ideal tidak henti-hentinya dilakukan.

Dari hasil penelitian ekploratif Muhammad Ali Atha, beliau menemukan lebih dari 154 buku-buku tentang wabah dan ta`un dalam literatur Islam sepanjang sejarah, dari masa Rasulullah hingga zaman sekarang. Menurut beliau, abad 10 adalah fase terbanyak buku-buku tentang wabah dituliskan, beliau menemukan hingga 27 buku. Sementara itu, abad delapan hijriah jumlahnya 17 buku, tetapi abad keenam yang paling sedikit dengan dikarang hanya satu buku.

Baca tulisan menarik:

Hakikatnya lebih banyak kitab-kitab lain juga telah ditulis, namun sejarah yang panjang, akibat serangan wabah virus, pergolakan politik, dan perang dengan Tartar dan sesama telah menyebabkan buku-buku itu tidak tersampaikan kepada kita hari ini, baik hilang karena dibakar, dan sebab lainnya. Demikian juga sebagian besar dari 154 judul diketahui diatas hanya sebagian saja yang masih dapat dibaca secara menyeluruh.

Sungguh kita terkejut ternyata demikian banyaknya kitab-kitab ditulis tentang wabah. Lalu apa saja pendekatan yang digunakan dalam penulisan kitab-kitab tersebut?

Dari berbagai judul yang ia kumpulkan, saya menganalisa ada lebih sebelas kategori dapat ditemukankan. Ada kelompok buku-buku tentang wabah yang murni didekatkan dengan pendekatan ilmu kedokteran dan kesehatan, ada yang mengunakan pendekatan fikih dan hukum, ada juga seni dan adab, antropologi, ilmu jiwa, kesehatan lingkungan, ekonomi, sejarah, hadis, dan juga dengan pendekatan ibadah dan doa. Kategori terakhir kitab-kitab yang dikarang dengan pendekatan multidisiplin.

Buku-buku dengan pendekatan kedokteran adalah yang terbanyak seperti buku karangan al-Kindi, Fakhrur al-Razi, dan Ibnu Sina. Jumlah kedua terbanyak adalah buku-buku hukum tentang wabah. Ditemukan juga beberapa buku wabah ditulis dengan mengunakan syair dan puisi. Kemudian kategori dominan lainnya buku-buku yang mencoba memahami wabah dari sisi ilmu psikologi dan sufi.

Akhirulkalam

Melihat begitu banyak buku ditulis tentang wabah dan pencegahannya, dan pendekatan yang sangat bervariasi menunjukkan ulama telah berupaya maksimal mengrespon wabah virus yang menimpa mereka. Apalagi banyak dari mereka terjun langsung  melawan wabah di lapangan dan kemudian sebagian mereka wafat karena keganasannya, maka sungguh tidak tepat mengesankan bahwa ulama kurang peduli apalagi anti pati dengan protokol kesehatan dalam mengahadapi serangan wabah virus corona hari ini.

Bahkan mereka telah merintis ilmu wabah (epidemiology) yang dilihat dari berbagai pendekatan; kedokteran, kesehatan masyarakat, tasawuf, geografi dan iklim, antropologi, fikih, seni, ilmu jiwa dan ilmu-ilmu lainnya. Meskipun tidak dapat kita pungkiri, saat ini ada beberapa ulama terkesan melawan arus, harapannya mereka menyadari betapa ulama-ulama terdahulu mengobarkan segala kemampuan mereka melawan wabah, dan hendaknya ulama kini mengikuti qudwah pendahulu mereka.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
3
Ingin Tahu
2
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
2
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top