Sedang Membaca
Ulama Banjar (121): KH. Badaruddin
Redaksi
Penulis Kolom

Redaksi Alif.ID - Berkeislaman dalam Kebudayaan

Ulama Banjar (121): KH. Badaruddin

Kh. Badaruddin

(L. 11 Februari 1937/ 29 Dzulkaidah 1355 H)

KH. Badaruddin merupakan anak keempat dari pasangan suami isteri KH. Ahmad Zaini dan Hj. Sanah, dan merupakan anak kedua bila dilihat dari saudara laki-laki, sebab beliau adalah adik dari KH. Husin Qadri, dan kakak dari KH. Muhammad Rasyad. Ketiga bersaudara ini semuanya dikenal sebagai tokoh ulama kota Serambi Mekkah, Martapura, yang sampai hari ini masih harum namanya.

KH. Badaruddin dilahirkan pada hari Sabtu tanggal 29 Dzulkaidah tahun 1355 H bertepatan dengan tanggal 11 Februari tahun 1937[1] M di desa Tunggul Irang, di mana kedua ayah dan ibunya berdomisili. Sebagai anak yang hidup dalam lingkungan keluarga ulama besar dari generasi ke generasi (turun temurun), maka sejak kecil beliau sudah dikenalkan dalam suasana kehidupan yang agamis. Dalam pergaulan kehidupan sehari-hari selalu saja diberi muatan-muatan ajaran agama Islam, baik secara langsung maupun tidak langsung.

KH. Badaruddin sejak masa kecilnya sudah terbiasa hidup dalam situasi dan kondisi pengamalan ajaran agama Islam. Paling tidak, lingkungan di mana beliau tinggal cukup mempengaruhi, sebab keluarga beliau sendiri sejak dari kakek hingga ayah, tidak pernah sepi dari pengajian agama. Pendek kata, KH. Badaruddin benar-benar hidup dan tinggal di tengah-tengah kehidupan keluarga muslim yang taat menjalankan ajaran agama.

Oleh sebab itulah sejak kecil KH. Badaruddin sudah belajar mengaji kitab suci Al Qur’an dan beberapa ilmu pengetahuan agama dasar lainnya, baik dengan ayah beliau sendiri, KH. Ahmad Zaini, maupun dengan kakek beliau, KH. Abdurrahman, yang populer dengan julukan Tuan Guru H. Adu Tunggul Irang.

Cara hidup, tinggal dan belajar memperdalam ilmu agama Islam semacam ini pulalah yang berlaku secara berkesinambungan bagi keluarga atau saudara beliau lainnya, dalam konteks ini khususnya kakak beliau sendiri, KH. Husin Qadri. Pendekatan ini tampakinya sudah mentradisi atau melembaga dalam kehidupan mereka, dan bisa berlangsung dari masa ke masa.

Setelah memiliki pengetahuan agama secara mendasar melalui pendidikan dalam keluarga itu, KH. Badaruddin memasuki pendidikan formal, yaitu pada Madrasah Iqdamul Ulum di kampung halaman sendiri, Tunggul Irang. Beliau belajar dengan rajin sekali dan sangat bersungguh-sungguh, hingga oleh kedua orang tuanya dimasukkan lagi ke Pondok Pesantren Darussalam Martapura.

Baca juga:  Ulama Banjar (107): KH. Abdul Aziz Syarbini

Dalam sehari KH. Badaruddin mengikuti pelajaran di sekolah selama dua kali, pagi dan sore hari, yaitu di lembaga pendidikan formal Madrasah Iqdamul Ulum, dan di lembaga pendidikan nonformal Pondok Pesantren Darussalam. Beliau menimba ilmu pengetahuan agama Islam di pesantren yang menjadi kebanggaan masyarakat Kalimantan Selatan ini, sampai tamat/selesai.

KH. Badaruddin belum merasa puas dengan menggali dan memperdalam ilmu agama Islam di tanah air sendiri, sehingga untuk memenuhi hasrat hati dalam menuntut ilmu tersebut, kemudian diperkuat dengan dukungan keluarga, beliau pun berangkat meninggalkan Indonesia menuju Mekkah, Saudi Arabia. Persis setelah tamat dari pondok pesantren Darussalam, Martapura, beliau pergi meneruskan pelajarannya di Madrasah Shalatiah di tanah suci umat Islam tersebut selama dua tahun.

Malah sekembalinya dari Mekkah tersebut, beliau masih tetap belajar lagi memperdalam ilmu pengetahuan agama secara khusus. Beliau sengaja menggalinya melalui beberapa ulama besar dan telah dikenal sangat luas ilmunya. Di antara para ulama yang menjadi guru khusus untuk memperdalam beberapa pengetahuan agama Islam tersebut adalah sebagai berikut:

  1. Husin Qadri, kakak beliau sendiri.
  2. Anang Sya’rani Arif, ulama ahli hadits.
  3. Muhammad Seman Mulia, dan
  4. Muhammad Salim Ma’ruf.

Keempat orang ulama sepuh dan tokoh yang besar sekali pengaruhnya itu, banyak sekali andilnya dalam membentuk karakter keulamaan KH. Badaruddin. Apalagi dalam hal memperdalam pengetahuan, wawasan dan pengalaman menuntut ilmu agama ini beliau tidak membatasi diri begitu saja. Melainkan selalu berupaya mencarinya ke luar kampung halaman, seperti ke Mekkah.

Selain menuntut ilmu di Mekkah, KH. Badaruddin juga secara khusus menyempatkan diri pergi ke pulau Jawa untuk tujuan yang sama. Di negeri Walisongo inilah beliau berhasil berguru dengan beberapa ulama terkenal serta para ulama keturunan Rasulullah SAW (habaib) terkemuka. Dalam hal ini antara lain dengan habaib di sekitar komplek Keramat Luar Batang, Jakarta.

Baca juga:  Noor Inayat Khan: Perempuan Berdaya Pejuang Kesetaraan Pertama di Eropa

Dari hasil muhibbah ke pulau Jawa inilah, beliau dikenal sebagai tokoh ulama yang pertama kali membawa dan mengembangkan pembacaan syair-syair Maulid Habsyi di Kalimantan Selatan dan sekitarnya. Hingga kini pembacaan syair-syair Maulid Habsyi tersebut terus berkembang. Bahkan perkembangannya semakin populer dan lebih pesat lagi setelah disosialisasikan oleh Guru Sekumpul, KH. Zaini Gani.

Sebagaimana keluarga KH. Badaruddin lainnya yang hidup sebelum beliau terkenal sebagai tokoh ulama pembimbing masyarakat dan penuntun umat. Maka jejak langkah mulia seperti ini pulalah yang terus diwarisi dan dilaksanakan oleh KH. Badaruddin. Sebagai seorang ulama yang punya kharisma tersendiri, beliau tanpa pamrih mengamalkan ilmu agamanya untuk kepentingan dan kemaslahatan orang banyak. Beliau aktif memberikan pengajian maupun ceramah agama di tempat-tempat ibadah seperti masjid, langgar maupun instansi dan lembaga atau organisasi yang membutuhkannya.

Sebagai seorang muballigh atau juru dakwah, nama KH. Badaruddin tidak asing lagi bahkan sangat kondang di hati masyarakat Kalimantan Selatan dan sekitarnya. Beliau sering diundang untuk menyampaikan pesan-pesan agama di berbagai tempat, termasuk ke luar pulau Kalimantan, baik sebagai khatib maupun da’i.

Ciri khas penyampaian ceramah agama beliau adalah mampu menggunakan bahasa yang sederhana namun indah dan menyentuh. Selain itu dihiasi dengan intonasi suara yang bagus, mimik muka yang serasi serta suara yang jelas, lantang dan tegas. Oleh karena itu mampu memukau siapa saja yang mendengarkannya, baik dari kalangan anak-anak, remaja, dewasa maupun orang tua.

Karena banyaknya kelebihan yang beliau miliki itu, tidak heran membuat banyak kalangan yang menarik beliau untuk bergabung, termasuk dari organisasi politik. Dalam karir beliau sebagai seorang ulama, KH. Badaruddin tercatat pernah menjadi petinggi Nahdlatul Ulama provinsi Kalimantan Selatan. Beliau pernah menjadi dewan penasihat Golongan Karya Kalimantan Selatan, dan malah pernah pula menjabat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung dan anggota Majlis Permusyawaratan Rakyat (MPR) di tingkat Pusat, Jakarta. Beliau menjabat sebagai wakil rakyat ini selama dua periode yaitu dari tahun 1977 – 1987.

Baca juga:  Ulama Banjar (192): Prof. Dr. H. M. Gazali, M.Ag

Popularitas KH. Badaruddin tidak cuma terdengar gaungnya di pondok-pondok pesantren, di lembaga-lembaga pendidikan maupun di organisasi yang berbasis keagamaan semata. Akan tetapi justru nyaring terdengar di organisasi sosial kemasyarakatan dan kepemudaan, termasuk yang bergerak di lapangan politik.

Pada zaman Orde Baru masih berkuasa, pada umumnya para pejabat tinggi dan kalangan keluarga presiden yang tinggal di Istana Negara, mengenal baik dengan beliau. Malah apabila ada kesempatan bertugas atau kunjungan resmi atau kunjungan kenegaraan, acara khusus dan lain sebagainya di Kalimantan Selatan; selalu menyempatkan diri untuk bersilaturrahmi, meski hanya sekedar sowan dengan beliau.

Buah karya beliau yang monumental dan dapat dinikmati hingga sekarang adalah ketika menjabat sebagai pimpinan Pondok Pesantren Darussalam. KH. Badaruddin diamanahi sebagai pimpinan periode ke-7 terhitung dari tahun 1976 sampai 1992. Dalam masa ini pondok pesantren Darussalam banyak diadakan peningkatan, baik di segi pendidikan maupun pembangunan fisik gedung. Pembangunan gedung misalnya, selain yang di lokasi lama, Pesayangan; juga dibangun gedung baru di lokasi baru jalan Perwira Tanjung Rema Darat.

Di komplek lokasi baru ini beberapa buah gedung pondok pesantren maupun perkantoran dan perumahan dan sarana pendukung lainnya, berdiri dengan kokoh di atas arela tanah seluas 10 hektar. Letak lokasi ini sangat strategis, terutama untuk pengembangan pengelolaan pendidikan ke depan, sesuai dengan tuntutan, seperti Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Darussalam. Tanah seluas ini merupakan sumbangan dari Pangdam X Lambung Mangkurat Provinsi Kalimantan Selatan, yang kala itu dijabat oleh Bapak H. Amir Machmud.

KH. Badaruddin berpulang ke rahmatullah pada tanggal 27 Jumadil Akhir tahun 1413 H dimakamkan di desa kelahiran sendiri, Tunggul Irang. Walaupun tidak berada pada satu komplek pemakaman, namun letaknya tidak jauh dari makam Kakek, Ayah dan Kakak beliau sendiri yang dipusatkan dalam satu bangunan kubah khusus.

Sumber Naskah: Tim Penulis LP2M UIN Antasari Banjarmasin dan MUI Provinsi Kalimantan Selatan.

[1] https://adrian.web.id/convert/ = 29 Dzulkaidah 1355 H /10 Februari 1937

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
1
Senang
1
Terhibur
1
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top