Tugas mursyid
- Mursyid sebagai Pemandu Jalan
Mursyid dalam tarekat adalah seorang wali yang layak diikuti sebagai imam dalam perjalanan menuju Tuhan. Ia adalah wali Allâh Swt yang ciri khasnya sebagaimana disebutkan di atas. Jalan menuju Tuhan bukan jalan yang mulus melainkan jalan yang berliku-liku dan penuh dengan rintangan-rintangan berupa ranjau-ranjau iblis sehingga diperlukan pemandu yang arif untuk bisa selamat dari semua rintangan itu. Seorang salik, orang yang menempuh perjalanan (menuju Tuhan) atau yang biasa disebut dengan murid, yang telah membulatkan kehendaknya untuk menempuh perjalanan (menuju Tuhan) tidak boleh tidak harus didampingi mursyid sebagai pemandu jalan yang menuntun dan sekaligus memperingatkannya apabila ada bahaya yang mengancam. Keberadaan seorang mursyid dengan fungsi ini sangat mutlak.
Barangsiapa berjalan tanpa pemandu, ia memerlukan dua ratus tahun untuk perjalanan dua hari, kata Jalaluddin Rumi dalam Matsnawi yang dikutip oleh Annemarie Schimmel (Dimensi Mistik dalam Islam, halaman:106), untuk menggambarkan betapa sulitnya perjalanan itu dan betapa pentingnya keberadaan seorang pemandu (mursyid).
Di antara syarat tarekat mu’tabarah adalah tarekat tersebut bersambung sampai Rasulullah dan diakui keberadaannya. Hal ini disebabkan karena jika seorang yang sanadnya terputus, atau tidak diberi izin untuk membaiat para murid tarekat, maka bagi seorang salik tidak boleh untuk mengambil sanad atau mempelajari tarekat dari guru tersebut. Bahkan, lebih berbahaya lagi jika seorang salik belajar tarekat hanya melalui bacaan atau buku-buku tanpa melalui baiat dan bimbingan seorang mursyid yang telah memiliki wewenang untuk mengajarkan tarekat tersebut. Karena jika sudah demikian, maka yang menjadi pembimbingnya adalah setan.
Syaikh Amîn al-Qurdhi mengatakan, “Wajib bagi orang yang menempuh thâriqah yang sempurna perjalanannya kepada Allâh dan suluknya atas kuasa seorang mursyid yang sampai pada maqam-maqam yang luhur itu, yang bersambung sampai Rasulullah SAW, juga mendapatkan izin (wewenang) dari gurunya untuk memberi arahan dan petunjuk kepada Allâh, bukan didasarkan pada ketidaktahuan atau berdasarkan nafsu. Oleh karena itu, guru yang arif yang telah sampai (pada maqam-maqam itu) menjadi perantara bagi murid menuju Allâh, yang menjadi pintu bagi murid untuk masuk menuju Allâh. Barangsiapa tidak mempunyai guru yang menunjukkannya, maka yang menjadi penunjuknya adalah setan.” (Tanwîr al-Qulûb, halaman:524-525)
Posisi mursyid atau syaikh sufi menurut Ibn Taimiyah tidak ubahnya seperti imam dalam shalat dan pemandu haji (dalil-al-hajj); imam shalat diikuti oleh makmum, mereka shalat sesuai dengan shalatnya imam (yushalluna bi shalatihi), sedangkan pemandu haji menunjukan kepada jamaah jalan menuju baitullah (yadullu al-wafd ala thariq al-bait), (Minhaj Sunnah al-Nabawiyyah, juz 8, halaman: 38).