Redaksi
Penulis Kolom

Redaksi Alif.ID - Berkeislaman dalam Kebudayaan

Ulama Banjar (39): KH. Gurdan Hadi

Kh. Gurdan Hadi

(L. 1912)

Mungkin sebagian dari masyarakat Hulu Sungai Utara tidak banyak mengenal KH. Gurdan Hadi, baik sebagai seorang ulama mauupun sebagai tokoh pejuang. Dimasa penjajahan anak banua ini dengan gigih ikut berjuang merebut kemerdekaan. Beliau telah merasakan hidup di pedalaman dan dikejar-kejar tentara Belanda.

KH. Gurdan Hadi lahir pada tahun 1912 disaat bangsa Indonesia masih dalam cengkeraman Belanda. Di usia kanak-kanak, beliau belajar di Sekolah Rakyat Amuntai. Pendidikan formalnya berhenti hingga disitu saja. Keadaan yang demikian itu tidak mematahkan semangat beliau untuk mengajar pengetahuan dengan cara mengaji balapak, berguru pada Tuan Guru yang masyhur ilmu agamanya. Beliau mempelajari kitab-kitab agama Islam yang diajarkan oleh para Tuan Guru. Dimasa muda, beliau sempat mengaji pada Tuan Guru Ahmad Sungai Banar, H. Abdullah Masri, H. Abd. Hamid dan banyak lagi Tuan Guru yang menjadi pembimbingnya.

Pada masa revolusi, KH. Gurdan Hadi ikut berjuang membela tanah air. Bersama dengan rekan seperjuangannya beliau berperang melawan tentara Belanda saat itu. Dengan menggunakan strategi perang gerilya, KH. Gurdan Hadi mampu mengecoh musuh sehingga membuat tentara Belanda kalang kabut. Usai melakukan penyerangan beliau sering kali bersembunyi di hutan-hutan karena dikejar oleh tentara Belanda. Setelah penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Indonesia, beliau menetap di Lampihong dan menikah dengan Hj. Biduri.

Baca juga:  Hikayat Walisongo (2): Sunan Ampel, Penyemai Moderasi Beragama di Bumi Majapahit

KH. Gurdan yang juga adalah paman dari H. Anang Adenansi itu kemudian hijrah ke Banjarmasin. Di tempat tinggalnya di Pakapuran beliau mendirikan Majelis Ta’lim yang selalu ramai dikunjungi jamaah yang ingin mendapatkan pelajaran agama Islam dari beliau. Kegiatan itu beliau lakoni hingga memasuki usia lanjut.

Karena sakit yang dideritanya cukup lama, KH. Gurdan Hadi meninggal dunia pada tanggal 17 Mei 1992 di usia delapan puluh tahun. Jamaahnya sangat merasa kehilangan atas kepergian beliau. Karena selama hayatnya, beliau selalu memberikan kehangatan dan kesejukan dalam kehidupan masyarakat. Dari Banjarmasin, berbondong-bondong para kerabat, jamaah maupun warga masyarakat ikut mengantarkan jenazah alhamarhum menuju peristirahatan beliau yang terakhir di kampung halamannya di desa Kota Raden, Amuntai.

Sumber Naskah: Tim Penulis LP2M UIN Antasari Banjarmasin dan MUI Provinsi Kalimantan Selatan.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
2
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top