Oman Fathurahman
Penulis Kolom

Guru Besar Filologi FAH UIN Jakarta, Pengasuh Pesantren Al-Hamidiyah Depok Pengampu Ngariksa.

Sang Kakbah

Jumat, 6 September 2019 adalah closing date pelayanan haji di Mekkah. Rangkaian layanan haji di bulan Dzulhijjah 1440 H telah berlalu, ia niscaya kembali tahun depan, begitulah siklus haji berlaku. Kutinggalkan Kakbah, pamitan dengan harap kembali.

Bangunan berbentuk kubus hitam di tengah Masjidil Haram itu tidak sedikit pun berubah, sama seperti ketika dua belas tahun lalu aku pertama kali memandang dan mengaguminya. Thawaf juga tetap melawan arah jarum jam, dengan jumlah tujuh kali putaran.

Tapi, cara pandangku yang mungkin berubah. Bukan, bukan karena tahun ini aku datang berseragam Petugas Haji untuk melayani jemaah, tapi karena pengalaman haji di tahun 2007 lalu masih membuncah.

Saat itu, aku sangat terpesona memandang jutaan jemaah haji tak henti thawaf memutari Kakbah. Di belakang Maqam Ibrahim banyak tubuh ringkih sujud bersimpuh. Aku menyaksikan manusia datang berbondong dari setiap penjuru negeri, ingin mendekat pada Tuhannya.”…ya’tina min kulli fajjin ‘amiq…,” demikian Surat al-Hajj, ayat 28.

Siapa tak mau dekat dengan Kakbah? Kubus berselimut sutra hitam itu berdiri tegak begitu berwibawa. Nabi Ibrahim dan anaknya, Ismail, membangunnya ribuan tahun lalu, Nabi Muhammad menyempurnakannya. Hajar Aswad yang diyakini turun dari surga bersama Adam dan Hawa terselip di salah satu sudutnya. Di dekatnya ada dinding Multazam tempat aneka doa didengar dan dikabulkan.

Siapapun Muslim beriman pasti ingin merapat mendekat dinding Kakbah, untuk sekadar ‘bersalaman’ dengan-Nya, menangis meratapi khilaf dan dosa, seraya tak lupa menumpahkan segala titipan doa. Ka’bah bukan untuk disembah, tapi Dia dan Rasul-Nya memerintahkan memuliakannya, maka kita pun mematuhi Titah-Nya.

Mendekati Tuhan
Pada haji musim dingin saat itu, aku beruntung bisa menyapa Kakbah bersama istri dan ketiga bocah kecil kami yang berusia masing-masing 10, 7, dan 3 tahun. Kami berangkat ke Tanah Suci dari Kota Bonn, Jerman karena sedang fellowship di sana. Saat pertama kali masuk Masjidil Haram, kami diantar masuk melalui pintu “Babus Salam”, pintu yang diyakini dulu paling sering dilalui Rasul Saw.

Baca juga:  Rohani Manusia Haji

Seperti jutaan jemaah haji lain, kami memulai thawaf dengan mengucap “bismillahi Allahu Akbar.” Kuajarkan anak-anak melafalkannya, sambil melambaikan dan mencium tangan dari jauh ke arah Hajar Aswad, membayangkan seolah kami sudah begitu dekat dengan-Nya. Di setiap putaran, kucoba merapat semakin ke tengah.

Baru tiga putaran thawaf, si bungsu merengek minta digendong, kuletakkan ia di pundak, kedua kakaknya pun mulai kelelahan. Meski ikut mengenakan baju ihram, mereka belum paham makna spiritual berhaji.

Kalau begitu, buat apa aku terus membawa mereka thawaf? menyulitkan mendekat ke Hajar Aswad, toh mereka belum wajib haji. Aku ajak mereka menepi. Aku minta agar mereka menunggu di dekat salah satu tiang Masjidil Haram saja, tak usah ikut melanjutkan thawaf karena menyulitkan kami merapat “mendekat” pada Tuhan. Si Sulung menurut saja, dia sudah terbiasa membantu menjaga kedua adiknya kalau bermain di Spielplatz.

Ah, akhirnya kami bisa melanjutkan putaran thawaf, berlomba “menyalami” Tuhan, berjihad di antara badan-badan besar, sekali-sekali menyikut jemaah lain yang mendorong. Aku yakin, Tuhan pasti maklum, bahkan bangga karena kami menunjukkan semangat beribadah yang menggelora.

Masuk putaran terakhir, nyatanya kami tak mampu mendekat Batu Hitam. Kuputuskan merogoh kamera yang sejak tadi kusembunyikan dari sapuan Askar. Kujepret Kakbah buat kenangan. Sayang, kamera ini belum menyediakan fitur untuk selfie. Ah, kami gagal menyapa Tuhan dari dekat. Tapi paling tidak kami sudah punya “bukti”.

Aku yakin Tuhan bahagia menyaksikan semangat kami beribadah, berjihad atas nama-Nya. Kami kembali menuju tiang Masjidil Haram tempat “kutitipkan” anak-anak kami pada-Nya.
Mereka tidak ada! Celaka, kemana? hilang? bagaimana mencari ketiga anak kecil di tengah jutaan jemaah yang berdesakan? Kami panik. Istriku mulai menangis. Kami jemaah mandiri, tak ada tanda pengenal apapun yang melekat untuk dikenali. Mungkin mereka terdorong jemaah berbadan besar.
Aku tak berani beranjak dari tiang, tak tahu mencari kemana. Aku berbalik menghadap Kakbah, memelas kepada Sang Tuan Rumah. Seolah Dia Memandang dan Menunjuk wajah kami yang bersimbah basah. Seolah Dia bertanya pula mengapa kami tinggalkan anak-anak demi mendekati-Nya. Seolah aku mendengar Tuhan menegur. Aku tak mampu lagi menatap Kakbah.

Baca juga:  Tafsir Surah Al-Humazah (Bagian 1)

Aku mencoba membela. Toh kami ingin mengikuti jejak dan Sunnah Nabi-Mu, mencium Hajar Aswad. Aku tak ragu Engkau ada di sana, seperti yang sering dikisahkan para ustadz, yang menceritakan kesucian Kakbah beserta Hajar Aswad.

Esensi Agama
Kini aku menyadari bahwa saat itu aku hanya membaca agama, tapi tidak memahami. Aku hanya mendengar, tapi tidak meresapi. Aku hanya belajar, tapi tidak sampai pada esensi. Tuhan tidak mungkin ada pada perbuatan yang mencelakakan sesama, menyikut dan mendorong, menelantarkan kemanusiaan, apalagi mengabaikan anak dan keluarga.

Aku mawas diri, setelah Tuhan saat itu menunjukkan Kebesaran-Nya menjaga malaikat-malaikat kecil kami. Mereka terlihat berdiri di ujung lain, istriku lebih dahulu memeluk menciuminya. Seorang lelaki misterius mengantarkan ketiganya tanpa banyak kata. Mereka tercecer dan terdorong desakan jemaah Masjidil Haram, gumamnya. Entah bagaimana ia menemukan dan mencurigai kami sebagai orang tuanya. Mereka tidak menangis, nampak bahagia, tapi sejenak aku tak mampu memandang wajah-wajah polosnya yang terasa memojokkan kenaifan sebagai orang tua.

Haji tahun itu memberi pelajaran bahwa dalam kemanusiaan sesungguhnya Tuhan ada, apalagi pada keluarga. Haji membawa aku merasa dekat dengan-Nya yang Penuh Kasih. Dia lebih Dekat dari urat leher. Dia Maha Penyayang. Aku bahagia kalau ini tanda-tanda mabrur, meski aku tahu hanya Dia yang mengetahui rahasia menggapainya. Kami hanya harus bersyukur.

Baca juga:  Tafsir Sosial dalam Kisah Nabi Isa

Aku pernah keliru memahami teks agama, dan mungkin terlalu emosional mendengarkan ceramah di Mushalla. Mencium Hajar Aswad memang dicontohkan Rasul, dan kita sebagai umatnya disunnahkan mengikuti. Tapi itu bukan inti ajaran Nabi, apalagi melakukannya dengan cara menyakiti. Sayyidina Umar bin Khattab sendiri sesungguhnya enggan mencium Hajar Aswad. Ia berkata saat akhirnya menciumnya: “Sekiranya aku tidak melihat Rasulullah menciummu, niscaya aku tidak akan melakukannya.”

Kakbah dan para peziarahnya adalah simbol yang menggambarkan bahwa semakin kita menemukan esensi agama, semakin relatif hukum syariat yang selama ini kita maknai tunggal kebenarannya. Kita, misalnya, meyakini bahwa makmum harus berdiri satu jejak di belakang imam, ritual di Kakbah meniadakannya, makmum di sisi rukun Yamani malah berhadap-hadapan dengan imam. Selalu ada kebenaran lain selain milik kita.

Tahun ini, 1440 H/2019 M, saat bertugas, kepada jemaah haji selalu aku sampaikan hakikat beragama; mabrur berarti mulai merasai isi, tidak berhenti pada kulit agama. Tuhan ada di mana saja, tidak bersemayam pada sang Ka’bah, tidak juga pada bentuk dan banyaknya ritual ibadah. Untuk menjumpai-Nya, kita perlu menemukan esensi ibadah yang hakiki, ibadah yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, bukan sifat egois, benci, dan caci maki atas nama-Nya. Khilaf dan beda pandangan itu biasa, Tuhan memang mencipta dan mencinta keragaman, mengapa kita harus mengutuknya?
Saatnya mengubah cara pandang. Mencari Tuhan tidak selalu harus jauh. Dia sering ada di dekat kita, hanya kita alfa. Mungkin inilah maksud puisi penyair besar Melayu, Hamzah Fansuri, yang ditulis hampir 500 tahun lalu:

Hamzah Fansuri di dalam Mekkah
Mencari Tuhan di Bait al-Kakbah
Di Barus ke Kudus terlalu payah
Akhirnya dapat di dalam rumah

Kubisikkan di dinding multazam, sampai berjumpa lagi, sang Kakbah!

(RM)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top