Sedang Membaca
Dakwah Blek Rengginang Isi Khong Guan

Penulis adalah Petani, tinggal di Lamongan, dan mengelola emshol.wordpress.com.

Dakwah Blek Rengginang Isi Khong Guan

Blek

Waktu saya mulai belajar agama, guru-guru ngaji saya sesekali membahas pandangan Quraish Shihab dan Nurcholish Madjid. Mereka menyebut kedua orang ini sebagai “orientalis”. Quraish Shihab dianggap bukan ulama, Nurcholish Madjid bukan cendekiawan muslim. Saya sendiri waktu itu belum pernah membaca buku mereka.

Baru di awal kuliah saya mulai membaca buku-buku mereka. Perkenalan ini membuat saya berubah pandangan. Saya menganggap Quraish Shihab ulama dan Cak Nur cendekiawan.

Apa yang saya alami ini mungkin juga dialami banyak orang dan bisa menjadi gambaran umum dakwah di masyarakat kita. Pengajian agama sering sekali disampaikan dengan kebencian kepada orang lain yang berbeda pandangan. Isi pengajian tidak bisa sekadar “menurut  pendapat Si Ini begini, menurut  pendapat Si Itu begitu”. Beda pendapat soal fikih kerudung saja bisa sampai berujung dengan vonis sesat, apalagi soal-soal akidah seperti ahmadiyah, syiah, dan sejenisnya. Pembahasan tentang orang syiah biasanya diberi embel-embel “laknatullah alaihi”.

Saya sendiri tidak punya kompetensi mengenai pemikiran sunni-syiah tapi menurut saya urusan laknat biar Tuhan saja yang berkehendak. Kita tak usah ikut memberi rekomendasi. Pengetahuan agama saya cuma level awam. Saya melihat agama hanya sebagai gambar besar. Agama harusnya menjadi solusi bagi manusia, bukan sumber masalah. Kalau agama cuma dipelihara sebagai pembenaran untuk mewariskan kebencian turun-temurun sampai berabad-abad, menurut saya pengetahuan sains yang sekuler lebih menarik daripada agama seperti itu.

Dalam pandangan saya, agama yang diajarkan oleh Nabi Muhammad ini (semoga Allah memuliakannya) indah sekali. Ia mengajarkan hal-ihwal adiluhung seperti melakukan kebaikan dengan ikhlas, mengajak kebaikan dengan cara ahsan, peduli sosial seolah semua orang bersaudara, berikhtiar sekuat tenaga seperti jihad, lalu berserah diri apa pun hasilnya dengan penuh tawakal, bersyukur ketika menerima hasil yang baik, bersabar ketika menerima hasil yang tidak diinginkan. Adakah yang lebih efektif mengajarkan konsep-konsep ini daripada agama?

Baca juga:  Bunga-Bunga yang Berguguran: Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun

Lebih dari itu, agama menawarkan jawaban indah dari pertanyaan yang tidak terjawab oleh sains, yaitu kenapa kita hadir di kehidupan ini. Seandainya pun Tuhan itu hanya imajinasi para nabi, menurut saya agama adalah penemuan paling ajaib sepanjang sejarah peradaban manusia.

Dengan bekal ajaran agama, kita tidak memerlukan kata-kata mutiara dari motivator. Iman saja sudah cukup. Kalau kita sedang menghadapi masalah hidup yang pelik, lalu kita membaca dengan penuh penghayatan “hasbunallah wa nikmal wakil”, bukankah itu nikmat sekali? Allah saja sudah cukup. Dia sebaik-baiknya tempat curhat.

Tidak perlu minum pil penenang apalagi sampai bunuh diri. Cukup menghibur diri dengan senandung shalawat asyghil atau menikmati lagu-lagu Ai Khodijah. Walaupun kita penuh dosa, Tuhan yang rahman rahim itu selalu membuka pintu kapan pun kita datang mengetuknya. Seperti seorang ibu mendekap anaknya yang hilang dan baru saja pulang. Bukankah itu mahamesra?

Tapi hari-hari ini agama lebih sering tampil sebagai dalih untuk mengejek keburukan ketimbang dalil untuk mengajak kebaikan. Lewat grup wasap, fesbuk, tuiter, yutub, kita mudah sekali tertular ajakan kebencian berdalil ayat suci. Yang kubu sana menyebut sini sesat. Yang sini menyebut sana tidak punya otak. Sialnya, mereka yang menyebarkan kebencian ini mudah sekali punya pengikut di media sosial.

Baca juga:  Humor Gus Dur: Gus Dur versus Naga Hijau

Sialnya lagi, mereka menyebarkan kebencian itu secara sadar karena menganggap itu sebagai dakwah. Padahal logikanya, berdakwah itu seperti sikap belas kasihan melihat seseorang yang tersesat di hutan. Cukup kita tunjukkan saja jalan yang benar. Kalau dia ngeyel, masak kita harus marah-marah dan memakinya. Toh kalau nanti orang itu kecebur jurang atau diterkam macan, kita tidak bersalah.

Dakwah yang baik harusnya seperti lagu Ari Lasso, “Sentuhlah dia tepat di hatinya.” Kalau kita menganggap sebuah pemikiran agama perlu diluruskan, harusnya kita menggunakan cara dakwah yang billaty hiya ahsan. Bukan dengan mencela mereka sesat tapi dengan argumentasi yang sahih dan empatik. Sahih saja tidak cukup, argumen juga harus empatik karena tujuan dari dakwah adalah agar orang yang didakwahi mengikuti pandangan kita. Iman tak bisa dipaksakan dengan cara marah-marah apalagi ejekan. Bagaimana mungkin seseorang mau menerima ajakan kita kalau kita mencela dia?

Tanpa empati, apa yang kita niatkan sebagai dakwah itu pada akhirnya hanya berupa ejekan. Esensi dakwahnya akan hilang. Soal khilafah, misalnya. Kalau kita hendak mendakwahkan ide khilafah, harusnya kita membangun persaudaraan, bukannya memperuncing perpecahan. Sebaliknya, kalau kita menganggap ide khilafah tidak relevan, cukup debat saja idenya, tidak perlu mengejek orangnya. Karena siapapun orangnya punya kesempatan untuk meraih derajat takwa. Kalau kita membalas cacian dengan cacian serupa, itu jelas bukan dakwah.

Baca juga:  Humor Gus Dur Ini Agak Membela Muhammadiyah

Kita mungkin bisa belajar dari Ibnu Katsir. Di kitabnya al-Bidayah wan Nihayah, saat membahas perang antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah, ia bisa bersikap adil tanpa kehilangan pandangan kritisnya. Walaupun ia lebih berpihak kepada Ali, ia tetap menghormati Muawiyah dan menganggapnya tetap memperoleh satu pahala karena kesalahan ijtihad memerangi Ali. Pendapat ini ditutup dengan kesimpulan yang arif: seandainya keduanya tidak berperang, itu lebih baik.

Perselisihan umat Islam saat ini mungkin tidak bisa dianalogikan dengan perselisihan di generasi sahabat Nabi. Pandangan agama kita mungkin banyak dipengaruhi hawa nafsu atau pengetahuan sains yang sekuler. Tapi justru di sinilah masalahnya. Kalau kita gampang menuduh orang lain mengikuti hawa nafsu, kenapa kita tidak curiga kita juga mengikuti hawa nafsu?

Kalau kita membiasakan introspeksi, kita tidak akan mudah melabeli orang lain sesat, ahli neraka, kadrun, kaum bumi datar, “warung padang tengah malam” (otaknya tidak ada hehe) dan sejenisnya. Menyampaikan yang baik harus dengan cara yang baik. Ibaratnya, menyuguhkan biskuit Khong Guan dengan wadah blek Khong Guan. Kalau bleknya sudah karatan, walaupun isinya biskuit sungguhan, tetamu mungkin menyangka isinya rengginang.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
1
Terinspirasi
0
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top