Maulana Nur Rohman
Penulis Kolom

Santri Ma'had Aly Marhalah Ula Situbondo. Pimpinan Redaksi Buletin GAMIS.

Menimbang Tiga Prinsip Ekonomi Al-Ghazali (4): Ekonomi Terpuji (Ihsan)

Whatsapp Image 2022 01 04 At 22.40.27

Perniagaan yang dilakukan dengan prinsip legal dan adil dianalogikan oleh al-Ghazali seperti perdagangan yang balik modal. Jika demikian maka sebenarnya tidak ada keuntungan yang didapatkan dalam transaksi. Prinsip terakhir yang ditekankan al-Ghazali adalah ekonomi terpuji (ihsan),

وقد أَمَرَ اللَّهُ تَعَالَى بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ جَمِيعًا وَالْعَدْلُ سَبَبُ النَّجَاةِ فَقَطْ وَهُوَ يَجْرِي مِنَ التِّجَارَةِ مجرى رَأْسِ الْمَالِ وَالْإِحْسَانُ سَبَبُ الْفَوْزِ وَنَيْلِ السَّعَادَةِ وَهُوَ يَجْرِي مِنَ التِّجَارَةِ مَجْرَى الرِّبْحِ وَلَا يعد من العقلاء مَنْ قَنَعَ فِي مُعَامَلَاتِ الدُّنْيَا بِرَأْسِ مَالِهِ فكذا في معاملات الآخرة فلا يَنْبَغِي لِلْمُتَدَيِّنِ أَنْ يَقْتَصِرَ عَلَى الْعَدْلِ وَاجْتِنَابِ الظُّلْمِ وَيَدَعَ أَبْوَابَ الْإِحْسَانِ

“Allah memerintahkan kita berbuat adil dan ihsan dalam semua aspek. Adil hanya menjadi sebab agar selamat. Ia dalam perniagaan tak ubahnya seperti kembali modal. Sedangkan ihsan adalah sebab kesuksesan dan kebahagiaan. Ia dalam perniagaan sama seperti keuntungan. Bukan terhitung orang yang berakal jika dalam perniagaan dunia asal kembali modal, begitu juga dalam perniagaan akhirat. Maka tidak seharusnya orang yang beragama mencukupkan berbuat adil dan menjauhi aniaya tanpa berbuat ihsan.” (Ihya Ulumuddin, hal 524)

Prinsip ihsan ini sama seperti mandapatkan keuntungan (ribh), yang dimaksud ihsan oleh al-Ghazali pada konteks ini adalah melakukan suatu hal yang menguntungkan manusia namun tidak wajib dan bersifat afdhaliyah. Sederhananya, setelah melakukan bagian-bagian yang wajib, kita dianjurkan memenuhi hal-hal sunnah.

Baca juga:  Mbah Shodiq Kiai Sat-set (7): Kiai Kampung, Santri Ngluthuk

Ekonomi terpuji dicontohkan al-Ghazali dengan 6 kegiatan, yaitu (1) tidak berlebihan mengambil keuntungan, (2) rela menanggung kerugian transaksi untuk orang miskin, (3) menghutangi orang lain yang kesulitan atau memberikan tempo pembayaran lebih lama kepada mereka, (4) bersegera membayarkan hutang, (5) membatalkan transaksi yang disesali si pembeli, (6) memudahkan transaksi dengan orang miskin papa.

Yang terakhir digambarkan oleh al-Ghazali jika suatu waktu terdapat orang miskin yang berkeinginan membeli makanan mahal yang kita jual namun ia tidak memiliki uang untuk membelinya.

“Silakan ambil dan bayarlah nanti ketika anda telah memiliki uang,” kata al-Ghazali mencontohkan bagaimana praktik ekonomi terpuji. Dengan catatan hal di atas tidak perlu dicatat dalam daftar hutang, tapi dibebaskan memilih, “Jika anda mampu membayarnya maka bayarlah, jika tidak maka itu tetap halal untuk anda,” menurut al-Ghazali sikap seperti ini adalah kebiasaan orang-orang terdahulu (salaf), siapa yang melakukannya ia sedang melestarikan kebiasaan baik ini.

Prinsip ekonomi terpuji memang tidak berhubungan dengan inflasi uang. Ia hanya berupa perlakuan santun untuk memudahkan menyenangkan hati orang-orang lemah. Namun jika diamati dalam jangka panjang, prinsip ekonomi terpuji akan berdampak baik terhadap daya beli perekonomian masyarakat bawah. Meski begitu, prinsip yang terakhir ini saya kira akan menghilangkan kesenjangan kelas dikotomis antara si kaya dan si miskin.

Prihananto Sulistyowarno ketika ditanya apakah kesejahteraan seluruh masyarakat akan membuat kebahagiaan, menjawab dengan sederhana: tidak. Dalam artikel berjudul Income Inequality Contributes to Happiness menyatakan bahwa sebenarnya yang membuat masyarakat bahagia adalah rendahnya tingkat income inequality. Maksudnya, ketika tidak lagi ada kesenjangan sosial antara dua kelas kaya-miskin, ketika itulah tingkat kebahagiaan masyarakat akan naik. (Artikel diterbitkan Jakarta Post, 25 Agustus 2018)

Baca juga:  Ulama Banjar (11): KH. Ahmad Zaini

Income inequality pernah dihadapi oleh Nabi Muhammad tatkala para sahabat “proletar” sowan kepada beliau menyampaikan kecemburuan mereka melihat para sahabat “borjuis”. Kecemburuan itu memiliki dasar, “Mereka salat sebagaimana kami salat, tapi mereka bisa bersedekah dengan harta lebih mereka (yang kami tidak bisa).” Untuk menghilangkan kecemburuan yang mengakibatkan kesenjangan sosial para sahabatnya tersebut, Nabi Muhammad bersabda,

أَوَلَيْسَ قَدْ جَعَلَ اللهُ لَكُمْ مَا تَصَدَّقُوْنَ؟ إِنَّ بِكُلِّ تَسْبِيْحَةٍ صَدَقَةٌ، وَكَلِّ تَكْبِيْرَةٍ صَدَقَةٌ، وَكُلِّ تَحْمِيْدَةٍ صَدَقَةٌ، وَكَلِّ تَهْلِيْلَةٍ صَدَقَةٌ، وَأَمْرُ بِمَعْرُوْفٍ صَدَقَةٌ، وَنَهْيٍ عَنْ مُنْكِرٍ صَدَقَةٌ، وَفِيْ بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ

“Bukankah Allah telah memberikan kalian sesuatu yang dapat kalian sedekahkan? Sesungguhnya setiap tasbih adalah sedekah. Setiap takbir adalah sedekah. Setiap tahmid adalah sedekah. Setiap tahlil adalah sedekah. Menyuruh kebaikan adalah sedekah. Melarang kemungkaran adalah sedekah. Dan memenuhi hak biologis istri kalian adalah sedekah.” (Lihat hadits ke-25 Arba’in Nawawi)

Tiga prinsip ekonomi yang dibangun oleh al-Ghazali tampaknya terinspirasi dari tiga prinsip dasar dalam Islam, yaitu islam, iman, ihsan. Trilogi ajaran ini didapat dari penghayatan hadits Jibril. Pada suatu ketika, Nabi Muhammad didatangi oleh Malaikat Jibril yang menyamar dalam rupa laki-laki berpakaian serba putih dengan rambut hitam legam. Malaikat Jibril menanyakan Nabi Muhammad perihal arti islam, iman, ihsan dan Hari Kiamat.

Baca juga:  Ulama Banjar (191): H. Ahmad Syaukani Arsyad

Tentang Islam nabi menjawab, “Islam adalah engkau bersaksi bahwa tiada tuhan kecuali Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah, engkau mendirikan salat, menunaikan zakat, berpuasa Ramadlan, dan berhaji jika mampu.”

Tentang Iman nabi menjawab, “Iman adalah engkau percaya keberadaan Allah,  para malaikat, kitab-kitab suci-Nya, para rasul-Nya, hari akhir, dan takdir baik dan buruk-Nya.”

Sedangkan tentang Ihsan nabi menjawab, “Engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihatnya, jika tidak bisa maka sesungguhnya Allah melihatmu.” (Lihat hadits ke-2 Kitab Arba’in Nawawiyah)

Oleh al-Ghazali trilogi ajaran ini dapat diterapkan juga dalam ekonomi. Transaksi yang islam adalah transaksi yang telah memenuhi syarat dan ketentuan yang berlaku, sebab itu adalah hal paling dasar dalam perniagaan, seperti juga dalam beragama. Iman dalam perdagangan berarti mempertanggungjawabkan semua transaksinya di hari kiamat kelak dengan tidak lalim dan aniaya kepada orang. Adapun ihsan adalah berlaku sebaik mungkin dalam melakukan perniagaan dengan sikap saling membantu, karena semua gerak-gerik kita sesungguhnya diawasi oleh Allah Swt. Wallahhu a’lam. 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
2
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top