Sedang Membaca
Tradisi Malam Lailatul Qadr di Ternate: Harmonisasi Raja dan Rakyat

Dosen Psikologi IAIN Ambon.

Tradisi Malam Lailatul Qadr di Ternate: Harmonisasi Raja dan Rakyat

  • Penghormatan kepada raja ini wajib, serta pemberian kasih-sayang dari raja ke rakyat juga menjadi hal yang wajib.

Kolano uci sabea (sultan turun salat) ialah tradisi yang sering dilakukan oleh masyarakat Ternate Maluku Utara menjelang malam lailatul qadr. Masyarakat ternate menyebut malam lailatul qadr sebagai “malam qunut”. 

kolano uci sabea ini sudah berlangsung beratus-ratus abad lalu semenjak kesultanan ini didirikan.

Pada “malam qunut”, biasanya sultan Ternate akan ditandu oleh masyarakat adat setempat dari kedaton (keraton) menuju masjid besar kesultanan (sigi lamo).

Sepanjang perjalanan dari kedaton ke sigi lamo, iring-iringan musik seperti gamelan dan disertai 12 anak berpakaian tradisional berjalan di depan sultan.

Peneliti Tayeb, Asriany, dan Ridwan dari Universitas Khairun Maluku Utara mengatakan bahwa alat musik gamelan tersebut berasal dari Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik). Ke-12 anak yang berjalan di depan sultan menandakan 12 bulan dalam satu tahun.

Sebelum salat Tarawih, di dalam sigi lamo akan ada azan oleh empat orang muazin. Empat muazin ini menandakan empat kesultanan Islam yang ada di Maluku Utara yakni Ternate, Tidore, Bacan, dan Jailolo.

Setelah melaksanakan Tarawih, sultan akan ditandu lagi untuk kembali ke kedaton dan diikuti oleh seluruh masyarakat setempat.

Sesampainya sultan di kedaton, beliau akan naik ke balkon dan dibawahnya sudah ada masyarakat yang bersiap memberikan penghormatan kepada sultan disertai doa kepada Yang Maha Kuasa supaya mendapat keberkahan dunia-akhirat.

Masyarakat akan bersama-sama meneriakkan kalimat subo jou yang berarti sembah Tuhan.

Setelah itu, sultan masuk ke dalam kedaton dan langsung menuju kamar khusus untuk memanjatkan doa. Setelah berdoa, sultan bersama permaisuri akan menerima orang-orang yang ingin bertemu dengan beliau. Masyarakat setempat yang ingin bertemu sultan, akan berjabat tangan dengan beliau, dan ada juga yang mencium kaki sultan sebagai bentuk kesetiaan.

Baca juga:  Pesantren, Ilmu Hikmah, dan Perdukunan (2): Tradisi Ijazahan Wirid di Lingkungan Pesantren Tradisional

Jika mencermati ulasan singkat diatas, begitu terlihat adanya keharmonisan antara raja (sultan) dan rakyat. Penghormatan kepada raja ini wajib, serta pemberian kasih-sayang dari raja ke rakyat juga menjadi hal yang wajib. Hal ini terlihat jelas ketika rakyat mencium kaki sultan, dan sebaliknya sultan dengan penuh tanggungjawabnya memanjatkan doa untuk kebaikan rakyatnya.

Semoga tradisi ini memberikan pelajaran bagi kita semua, terutama berkaitan dengan harmonisasi antara pemimpin dengan rakyatnya. Di samping itu, semoga tradisi ini tetap bertahan sampai anak-cucu kelak. Aamiin.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top