Sedang Membaca
Sutan Takdir Alisjahbana dan Kecerdasan Buatan
Joko Priyono
Penulis Kolom

Menempuh Studi di Jurusan Fisika Universitas Sebelas Maret Surakarta sejak 2014. Menulis Buku Manifesto Cinta (2017) dan Bola Fisika (2018).

Sutan Takdir Alisjahbana dan Kecerdasan Buatan

Sutan Takdir Alisjahbana Kesusastraan Modern Indonesia P6

Sutan Takdir Alisjahbana (STA) telah mangkat pada 17 Juli 1994. Pada abad XXI, STA masih berhak mendapat porsi dalam menyigi diskursus ilmu, sastra, budaya, dan kemanusiaan. Hal itu tak terlepas akan kiprah STA dengan upaya menulis, mendirikan penerbitan, bahkan membangun perguruan tinggi. Apalagi bila menilik tahun 1935, STA adalah sosok penting sebagai pemantik kehadiran polemik kebudayaan.

Pada 1937, STA menulis novel Layar Terkembang. Novel berlatar zaman kolonial dengan imajinasi perempuan dalam menggapai cita. STA memberikan babak dalam cerita dengan sederet pengisahan untuk memberi gambaran perkembangan zaman. STA menaruh pendidikan, nasionalisme, kemasyarakatan, hingga ilmu dan pengetahuan.

Yang menarik adalah tautan pengisahan novel terhadap ilmu dan pengetahuan. Di novel, kita mudah mendapatkan cerita dengan pelibatan kereta api, sepeda, mobil, dan motor. Ini membuktikan kaum pribumi dalam asuhan kolonialisme mulai terpantik akan imajinasi dan pengalaman dalam berteknologi. Selain itu, kita juga menemukan bagaimana novel berkisah keberadaan mesin cerdas.

Sebuah percakapan dari tokoh bernama Partadihardja: “Anak-anak muda sekarang sangat memudahkan segala sesuatu. Seratus dua puluh rupiah sebulan. Tjoba pikirkan bagaimana senangnja penghidupan anak muda jang baru dua puluh dua tahun dengan pendapatan sebesar itu. Tetapi dibuangnja sadja dengan utjapan jang bukan-bukan: hendak bekerdja sebagai manusia bebas, hendak mentjahari pekerdjaan jang sesuai kata hatinja; pekerjaan kantor jang senang itu dikatakannja pekerdjaan mesin jang mematikan semangat…”

Percakapan yang menggugah ingatan. Masa lalu, bayang-bayang keberadaan mesin sebagaimana yang populer saat ini disebut dengan kecerdasan buatan telah menjadi pengisahan dalam sastra. Ini menegaskan pendapat Nirwan Ahmad Arsuka (2008): “Ketika sains belum berkembang menjadi sistem pengetahuan yang tertata secara metodologis dan teruji secara empiris, sastra sungguh lebih dominan dalam menyajikan model-model kenyataan yang kukuh.”

Baca juga:  Sajian Khusus: Esais Muda Pesantren; Kiprah dan Jejak Ulama Nusantara

Lantas, apa hal yang perlu direnungkan? Tiada lain adalah percakapan panjang dalam perubahan ilmu dan pengetahuan yang ligat-melesat ini. Kecenderungan yang mudah terjadi tatkala merebaknya pendiskursusan kecerdasan buatan adalah terfokus pada perkara teknis. Di mana pada riuh terbangunnya narasi publik kerap memunculkan kekhawatiran dan kecemasan dalam tindakan. Yang sering kali tidak menjadi arus utama adalah percakapan manusia terhadap ilmu dan pengetahuan itu sendiri.

Dalam edisi ulang tahun ke-58 tahun, Harian Kompas (28/06/2023) memuat liputan “AI Butuh Sains, Teknologi, Rekayasa, dan Matematika”. Kita mendapat pengertian penting dalam tugas terus membangun percakapan terhadap kemanusiaan: “Keberadaan AI juga menggarisbawahi pentingnya tenaga kerja dengan spesialisasi di ilmu sosial dan humaniora, terlebih yang terkait dengan interaksi manusia. Sebab, AI tidak bisa menggantikan hal ini.”

Teknologi juga menjadi sarana bagi manifestasi kreativitas manusia, yaitu cara bagi manusia untuk mengembangkan dirinya. Akan tetapi, perkembangan teknologi dibatasi dan didasari oleh tubuh (Francis Lim: 2008, 185). Persoalan tubuh menjadi hal penting dalam upaya bercakap dengan ilmu dan pengetahuan—bahwa kemudian yang perlu menjadi paradigma bersama adalah kolaborasi. Ini dilandasi kerja sama antara manusia dengan mesin, tanpa menghilangkan semangat humanisme.

Revolusi yang terjadi dalam ilmu dan pengetahuan yang melahirkan kemunculan teknologi, manusia tetap menaruh kesadaran kritis dalam menjalani kehidupan. Pada perubahan yang terjadi dalam konsep sistem negara, ini tak terlepas dari skema pemerintah dalam membuat perencanaan dalam jangka panjang akan membentuk sumber daya manusia. Pertanyaannya, skema apa yang kemudian dipilih?

Baca juga:  Ulama Banjar (109): Guru Dachlan Cantung

Pada 1979, dalam esai “Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Manusia dan Kebudayaan Modern”, STA membagi kebudayaan menjadi dua hal: kebudayaan ekspresif dan kebudayaan progresif. Kebudayaan ekspresif bertumpu pada seni dan agama, sementara kebudayaan progresif bertumpu pada ilmu dan agama. Gagasan beberapa rektor dari sekian nama perguruan tinggi pada edisi ulang tahun Harian Kompas menjadi penting dalam menilik sedikit gambaran kebudayaan dari para akademisi.

Mereka mengetengahkan posisi kampus dan peranan pengembangan ilmu dan pengetahuan. Rektor Institut Teknologi Bandung, Reini Wirahadikusumah melalui esai “Budaya Ilmiah Unggul untuk Daya Saing SDM” menulis: “Untuk memiliki daya saing, dibutuhkan kemampuan untuk beradaptasi terhadap perubahan serta kemampuan untuk mengantisipasi tantangan dan peluang. Ini dapat dicapai dengan terus-menerus belajar hal-hal baru dan menyintesiskan yang baru dengan yang sudah ada. Kuncinya di sini adalah kemampuan untuk berpikir multidisiplin dan menghasilkan sintesis dalam kompleksitas permasalahan.”

Mengacu apa yang diungkap oleh STA, tentu pikiran dan gagasan itu memberikan bayangan masa depan akan kebudayaan progresif. Menariknya, di sisi lain, kita harus jujur akan kenyataan dalam warga akademis dengan segenap masalah yang lahir dalam belakangan ini. Mulai dari maraknya joki kampus, menurunnya semangat budaya ilmiah, hingga kelenggangan kampus sebagai perpanjangan industrialisasi.

Baca juga:  Kiai Wahab Chasbullah dan Julukan En Boeiend Spreker Bekende

Itu mungkin relevan dari penafsiran fisikawan Liek Wilardjo (1986) terhadap gagasan STA mengenai kebudayaan progresif. Liek memberi catatan bahwa di negara-negara maju yang telah mengembangkan kebudayaan progresif teknostruktur menjadi kompleks industri militer dengan gurita kapitalismenya. Kenyataan itu sebenarnya membawa permenungan mendalam akan identitas bangsa Indonesia dalam membaca perkembangan ilmu dan pengetahuan.

Kendati itu, kita terbetik untuk mengingat pikiran STA dalam membaca perkembangan abad XXI. Sebagaimana catatan matematikawan Iwan Pranoto dalam esai “Memahami Takdir” (Kompas, 18/07/2022): “Keyakinan STA akan intelektualisme relevan dengan kehidupan sekarang yang dihela sains dan teknologi. Oleh karena itu, pendidikan harus terus menggelorakan intelektualisme, yakni kemampuan bernalar dan memahami secara obyektif. STA memercayai peran intelektualisme sampai sanubarinya.”

Pada kesempatan lain, kita diingatkan oleh astronom Bambang Hidayat tatkala menyampaikan ceramah ilmiah berjudul “Sutan Takdir Alisjahbana Sang Pujangga” di Akademi Jakarta pada 19 Desember 2016. Di kesempatan itu, Bambang mencatat salah satu keresahan STA: “Ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni kerajinan lebih banyak berkembang di kalangan bangsawan dan pusat pemerintah kerajaan, bukan lingkungan rakyat banyak.” Jerit STA tetap relevan di kala selain dehumanisasi, saat ini kita menghadapi ancaman kesenjangan dalam ilmu dan pengetahuan.[]

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top