Konsep sangkan-paran sebagai jantung kebudayaan Jawa tradisional yang sejauh ini menjadi fokus utama tulisan ini, ternyata sama sekali tak mempertentangkan konsep tasawuf-filsafati atau wujudiyah dengan penafsiran wihdatul wujud-nya dengan tasawuf-akhlaqi atau ahlus sunnah dengan penafsiran wihdatus syuhud-nya. Hal ini dapat diketahui dari kepustakaan lain yang konon merupakan saripati dari ajaran Kyai Wusman, seorang “kyai desa” dari Ngadiluwih, Kediri.
Kyai Wusman sendiri tercatat sebagai salah satu guru dari seorang sufi-pujangga Jawa yang dianggap beraliran wujudiyah terakbar, R.Ng. Ranggawarsita. Tapi saya menemukan bahwa Serat Sabdajati yang merupakan karya terakhir sang pujangga, dimana ia pamit mati, cukup kental dipengaruhi oleh tasawuf Kyai Wusman yang bercorak akhlaqi.
Punika pipingitanipun Kyai Wusman, guru kawruh Jawi ing jaman kino, manggen ing Dhusun Ngadiluwih, Kedhiri. Kawartos kyai Wusman wau gurunipun Mas Burham, inggih punika Raden Ngabei Ronggawarsita, nalika lelana dhateng laladan Kedhiri, temah puruhita dhateng kyai Wusman, prakawis pipingitaning ngelmi sejati.
Naskah Serat Kawruh Rasuk yang berada di tangan saya sendiri memiliki sengkalan “Hanata Wisikan Murtining Ngurip,” 1877 J atau 1925 M. Serat Kawruh Rasuk terdiri dari 3 bagian: Kawruh Lalacakan, Kawruh Rasuk, dan Kawruh Kasuksman. Kawruh Lalacakan (pengetahuan pelacakan) merupakan bagian yang memuat wejangan tentang ulah tanggaping panggrahita. Panggrahita merupakan pemahaman yang lebih dari sekedar pemahaman nalar (pamikir) dan perasaan (pangrasa), melainkan kombinasi dari keduanya dimana dalam kosakata filsafat Barat dikenal sebagai pengetahuan eksperiental, tak melulu kognitif (rasionalisme) maupun eksperimental (empirisme).
Kyai Wusman beranjak dari pertanyaan-pertanyaan reflektif dalam ulah tanggaping panggrahita: (1) Kenapa aku bergerak? (2) Kenapa aku memiliki keinginan? (3) Kenapa aku marah? (4) Kenapa aku menerima? (5) Kenapa aku menggerutu? (6) Kenapa aku sabar? (7) Kenapa aku berbudi buruk? (8) Kenapa aku berbudi baik? (9) Kenapa aku jujur? (10) Kenapa aku bohong? (11) Kenapa aku suka? (12) Kenapa aku benci? (13) Kenapa aku bahagia? (14) Kenapa aku susah? (15) Kenapa aku suntuk? (16) Kenapa aku bersemangat? (17) Kenapa aku tidur? (18) Kenapa aku terjaga? (19) Kenapa aku lupa? (20) Kenapa aku ingat? (21) Kenapa aku sakit? (22) Kenapa aku sehat? (23) Kenapa aku hidup? (24) Kenapa aku mati?
Secara sekilas pertanyaan-pertanyaan tersebut seperti sebuah metode dalam psikologi klinis modern untuk memecahkan masalah yang tengah merundung. Seorang psikolog dalam hal ini hanya berperan sebagai perangsang dan pengarah para pasien dan kliennya untuk menemukan apa yang terbaik bagi dirinya, atau katakanlah untuk menemukan kembali makna hidupnya. Tapi, dalam Kawruh Rasuk Kyai Wusman, semua pertanyaan reflektif tersebut berlaku bagi siapa pun yang menginginkan ngelmu kasampurnan yang erat kaitannya pula dengan kawruh sangkan-paraning dumadi dimana ketika orang telah menemukannya tak akan ada lagi kekhawatiran atau keragu-raguan dalam hidupnya.
Setiap langkah yang ia ambil akan selalu penuh dengan kepastian yang pada akhirnya berpengaruh pada kemantapan hati serta ketenangan batin. Dalam bidang psikologi hal ini disebut sebagai makna hidup dimana orang-orang yang sedang stres ataupun depresi tengah mengalami disorientasi diri sehingga hidupnya terasa tak lagi bermakna.
Berbeda pula dengan psikologi modern, kawruh rasuk Kyai Wusman memandang bahwa manusia, entah dalam kondisi apapun, secara innate pada dasarnya tengah mencari makna hidup. Tapi makna hidup dalam kawruh rasuk Kyai Wusman tak sebagaimana dalam psikologi humanisme, seumpamanya ketika seseorang dapat mengaktualisasikan dirinya, dengan menjadi orang yang sukses secara material, menjadi professor ataupun politisi dan bahkan negarawan. Makna hidup dalam kawruh rasuk adalah ketika seorang manusia dapat memahami kenapa dan darimana serta akan ke mana hidup ini. Inilah pertanyaan besar yang sebenarnya menjadi dasar dari keberadaan filsafat, agama, spiritualitas, dan sains. Dalam kebudayaan Jawa hal ini disebut sebagai ngelmu kasampurnan.
Dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar yang berkaitan dengan makna hidup tersebut, Kyai Wusman menggunakan dirinya sendiri sebagai obyek pemeriksaan. Karena sifatnya yang mendasar, yang sudah pasti universal pula, maka semua pertanyaan sekaligus keterangannya akan berlaku sama bagi semua orang. Perlu diketahui bahwa makna hidup pun adalah berjenjang, mulai dari yang permukaan hingga yang mendasar dan berlaku umum.
Seumpamanya, makna hidup bagi seorang Bapak adalah ketika ia dapat melindungi, membimbing dan membahagiakan anak-anaknya. Sedangkan pada seorang seniman makna hidupnya adalah ketika ia mampu mengaktualisasikan segala potensi yang dimiliki pada karya-karyanya dan kemudian mendapatkan apresiasi yang layak. Dan ketika semua predikat semacam Bapak, seniman, dst. itu hilang, maka yang tertinggal hanyalah statusnya sebagai manusia. Kyai Wusman berbicara pada tataran demikian, manusia pada umumnya, terlepas dari apakah ia seorang Bapak atau seniman.
Pandemi corona yang pernah dan masih terjadi tidak urung menyingkapkan siapakah kita sebenarnya kecuali seorang manusia. Ketika keadaan di masa pandemi ini memaksa siapa pun untuk tak berfungsi sebagaimana mestinya, membahagiakan anak dengan memfasilitasi semua kebutuhannya, ataupun berkarya dan merilis karya-karyanya sebagaimana dahulu kala, maka pertanyaan yang muncul adalah pertanyaan mendasar yang tak sekedar bagaimana aku mencukupi segala kebutuhan anak-anakku, bagaimana aku berkarya dan merilisnya kembali, tapi adalah kenapa aku harus melakukan itu semua, mencukupi segala kebutuhan anak-anakku, berkarya dan merilisnya ke publik? Dengan kata lain, kenapa aku hidup?