Habibussalam
Penulis Kolom

Ketua Badan Ekonomi Pesantren Al Anwar 3 Sarang Rembang dan Dewan Pengurus Himpunan Ekonomi dan Bisnis Pesantren/HEBITREN Wilayah Jawa Tengah.

Kisah dan Hikmah Keislaman Para Sahabat Rasul (1): Di Balik Hidayah dan Hikmah Perjalanan Islamnya Umar bin Khattab

umar

Seorang bijak pernah mengatakan, “Life is the most difficult exam. Many people fail because they try to copy others, not realizing that everyone has a different question paper.” Ini semacam nasihat untuk kita agar tidak berusaha menjadi orang lain dalam hal apapun, termasuk dalam beragama.

Tentu harus saya tegaskan sedari awal bahwa ‘menjadi’ dan ‘meneladani’ adalah dua hal yang berbeda, agar tidak ada yang salah paham dan mengatakan bahwa saya mengajak untuk tidak meneladani ulama dan bahkan baginda Nabi Muhammad Saw.

Nah, menjadi diri sendiri dalam beragama merupakan hal yang sangat penting untuk disadari. Bukan sekedar untuk membangun pemahaman bahwa setiap orang kelak akan mempertanggungjawabkan amalnya seorang diri di hadapan Allah, tetapi juga untuk  memahami bahwa hubungan hamba dengan Khaliq-nya sejak dilahirkan ke dunia sampai ajal menjemput, adalah hubungan yang sangat personal.

Ungkapan Syekh Abdul Qadir al-Jailani dalam manaqibnya mungkin adalah penggambaran yang paling radikal dan tepat untuk ini:

يا عزيز أنت واحد في السماء وأنا واحد في الأرض

(Wahai Dzat Yang Maha Perkasa, Engkau lah satu-satunya yang di langit, dan aku lah satu-satunya yang di bumi).

Mungkin masih akan ada yang mengartikan ini sebagai kesombongan; Bagaimana mungkin? Bukankah alam dan seisinya ini adalah milik Allah, dan sejatinya manusia berasal dari tiada dan akan ditiadakan?

Saya justru melihat ungkapan ini sebagai penggambaran yang paling jujur, bahwa setiap orang memiliki hubungannya masing-masing dengan Allah, bahwa tak peduli seberapa banyak Abdul Qadir di muka bumi ini, seberapa sama persis ibadah dan amalnya, mereka tetap orang yang berbeda di hadapan Allah dengan derajat yang berbeda pula.

Baca juga:  Hikmah: Ajalmu Pendek Namun Angan-Anganmu Panjang

Kebencian Umar yang Berubah jadi Cinta

Kita tidak pernah tahu bagaimana hubungan seorang hamba dengan Tuhannya terjalin, dengan cara apa mereka menemukan hubungan itu, dan bagaimana mereka mengakhirinya. Tidak semua orang diberi nikmat untuk beriman sedari kecil seperti sayyidah ‘Aisyah, atau keyakinan bulat seperti Sahabat Abu Bakar yang langsung mengimani apa yang dibawa oleh Baginda Nabi Muhammad Saw.

Bukankah juga ada Sahabat ‘Umar yang harus terlebih dahulu menjadi pembenci, bahkan yang paling berani menghunus pedangnya untuk membunuh Nabi?

Kisah islamnya ‘Umar ini tentu sudah sangat masyhur bagi kita. Bagaimana beliau dulu merupakan sosok yang sangat keras dan paling membenci Nabi, hingga Allah membukakan jalan baginya untuk menjalin hubunggannya dengan Allah lewat surat Thaha ayat 14 yang diam-diam ia dengar tengah dilantunkan oleh saudara perempuannya sendiri.

Lalu ia berubah menjadi salah seorang yang paling tegas dan pemberani untuk menegakkan risalah yang dibawa Baginda Nabi Muhammad Saw. dan menjadi salah satu dari Khulafa’ al-Rasyidin yang meneruskan panji kepemimpinan Rasulullah.

Bahkan ‘hijrahnya’ Umar kemudian sempat menggegerkan bumi Mekah. Bagaimana tidak? Ia dikenal sebagai sosok yang menentang dakwah Islam yang dijalankan Rasul, ia pun tak segan-segan berencana untuk menghabisi nyawa Nabi Muhammad SAW karena dianggap telah merusak tatanan sosial masyarakat Quraisy waktu itu. Namun nyatanya, mudah saja Allah membalikkan hatinya untuk kemudian dengan lapang menerima cahaya Islam.

Baca juga:  Hijrahnya Para Kekasih Allah (1): Bisyr Al-Hafi, Insaf Setelah Foya-Foya

Pelajaran Penting dari Sosok Umar

Salah satu pelajaran paling penting yang menjadikan kisah masyhur ini selalu harus diingat adalah tentang bagaimana semestinya kita menyikapi cara dan jalan orang lain dalam beragama. Bahwa setiap orang memiliki cara dan jalannya masing-masing untuk berhubungan dengan Allah. Kendati cara dan jalan itu jelas salah, kita tidak pernah tahu bagaimana Allah akan mengubahnya.

Lagi-lagi hidup ini memang seperti ujian sekolah, bagaimana bisa kita bisa memberi penilaian, sedangkan mereka bahkan belum selesai mengisi lembar jawaban. Bagaimana bisa kita menghakimi orang lain sesat, sedangkan kita tahu bahwa Allah maha menerima taubat. Selama kita msih bernafas, selama itu pula Tuhan belum selesai dengan hidup kita.

Oleh karenanya, jangan sekali-kali kita berani menghakimi orang lain yang kita anggap lalai dan ingkar dari Allah, karena kita tidak pernah tahu kapan pintu hidayah di hati mereka akan terbuka lebar dan justru bisa jadi mereka akan jauh lebih taat dan beriman kepadaNya dibanding kita semua.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
1
Senang
1
Terhibur
1
Terinspirasi
1
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top